Threshold
dan Pemilu Serentak
Oleh: Moh
Mahfud MD
Penantian
yang lama itu akhirnya selesai. Kamis, 23 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi
(MK) mengucapkan vonis atas uji materi Undang-Undang (UU) Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) terhadap UUD 1945.
MK mengabulkan permohonan Effendi Gazali dan Aliansi Masyarakat Sipil itu degan vonis, pemilu serentak antara pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden/wakil presiden (pilpres) adalah pemilu yang konstitusional, tetapi baru dilaksanakan mulai Pemilu 2019. Secara substantif, menurut saya, permohonan Yusril Ihza Mahendra (YIM) tentang peniadaan threshold dalam pilpres sudah dijawab oleh MK.
Dengan pemilu serentak, sesuai dengan UUD 1945, yang mengajukan pasangan calon presiden/wapres adalah parpol atau gabungan parpol peserta pemilu. Karena pemilunya serentak, setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan pasangan calon presiden/wapres tanpa syarat punya sejumlah kursi tertentu di DPR. Tapi bisa saja lembaga legislatif nanti mencari akal lain untuk tetap menggunakan threshold.
Tentang threshold itu, menurut YIM, Pasal 6A UUD 1945 tidak menentukan adanya threshold dalam pilpres. Yang ada hanya ketentuan, ”pasangan capres/ cawapres diajukan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu”. Jika sebuah parpol secara hukum menjadi peserta pemilu berarti berhak mengajukan pasangan capres/cawapres, tanpa syarat threshold.
Di dalam risalah perdebatan tentang perumusan Pasal 6A itu di MPR memang ada kecenderungan kuat, pileg dan pilpres diselenggarakan serentak, tetapi perumusan akhirnya MPR mendelegasikan kepada lembaga legislatif untuk mengaturnya di dalam undang-undang. Banyak yang bertanya kepada saya, apakah dalil-dalil yang dikemukakan YIM itu benar dan apakah mungkin pileg dan pilpres dilaksanakan serentak.
Itu sepenuhnya adalah wewenang majelis hakim MK yang, demi etika, tak boleh saya jawab sebelum vonis diucapkan karena saya termasuk hakim yang ikut membuat vonis itu. Sekarang saya sudah bisa menjawab melalui cerita masa lalu terkait masalah tersebut saat saya menjadi ketua MK. Permintaan yang substansinya sama dengan yang diajukan oleh YIM, menyoal adanya threshold dalam pilpres, sudah berkali-kali disidangkan di MK.
Pada tahun 2008, aktivis Fadjroel Rachman mengajukan perkara ke MK yang meminta dibukanya pengajuan calon perseorangan atau calon independen dengan, tentunya, tidak perlu ada threshold berdasar hasil pileg. Setelah perkara Fadjroel ditolak masih ada pemohon-pemohon lain yang menyusul ke MK, termasuk permohonan agar capres/cawapres diajukan oleh ormas-ormas, organisasi profesi, dan masyarakat adat. Semua permohonan itu ditolak atau tidak diterima oleh MK.
Terakhir, sebelum saya meninggalkan MK, masih ada lagi perkara yang substansinya sama yang diajukan oleh Effendi Gazali bersama Aliansi Masyarakat Sipil. Atas perkara Effendi Gazali ini, hakim-hakim MK bersepakat untuk cepat memutus karena dua hal. Pertama, permohonan Effendi ini menggunakan alasan dan formulasi petitum yang berbeda dengan permohonan- permohonan sebelumnya sebab Effendi dkk meminta pileg dan pilpres serentak.
Kedua, permohonan ini harus segera diputus agar segera ada kepastian bagi semua stakeholders. Permohonan-permohonan yang diajukan sebelum Effendi Gazali dan YIM tidak dikabulkan oleh MK karena alasan konstitusi. Alasan utamanya, MK tidak boleh membatalkan isi UU yang tidak disukai banyak orang atau, bahkan mungkin, tidak disukai oleh hakim-hakim MK sendiri kalau isi UU itu tidak bertentangan dengan konstitusi.
Memang banyak isi UU yang tak disukai banyak orang tetapi tak bertentangan dengan konstitusi karena merupakan opened legal policy (pilihan politik hukum yang terbuka), yakni pengaturan yang isinya ditentukan sebagai pilihan bebas politik hukum oleh lembaga legislatif. Contohnya, pilkada langsung atau melalui DPRD adalah sama konstitusionalnya asal ditentukan oleh lembaga legislatif di dalam UU.
MK tak boleh membatalkan pilihan politik hukum terbuka oleh lembaga legislatif itu. Kalau lembaga legislatif menetapkan jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang atau sebanyak 500 orang adalah sama sahnya karena pilihan yang manapun tak ada yang bertentangan dengan konstitusi. MK berpendirian, threshold pileg dan pilpres merupakan pilihan politik hukum terbuka sesuai dengan delegasi pengaturan yang ditentukan oleh UUD 1945.
Dalam perkara-perkara terdahulu ketentuan pengajuan capres/cawapres harus menggunakan threshold atau tidak, serta perlu serentak atau terpisahnya pileg dengan pilpres menurut MK merupakan opened legal policy, terserah pada pilihan hukum lembaga legislatif yang tidak bisa dibatalkan oleh MK.
Sebab meskipun perdebatan di MPR saat merumuskan UUD dulu tak ada ketentuan pasti tentang threshold dan meskipun pernah ada kecenderungan agar pileg dan pilpres dilakukan serentak, tetapi tak ada keputusan final di MPR tentang itu.
Perdebatannya memang seperti itu, tetapi rumusan yang kemudian disepakati secara resmi adalah mendelegasikan kepada lembaga legislatif untuk mengaturnya di dalam undang-undang. Itulah pendirian MK pada perkara-perkara terdahulu terkait threshold. Pendirian ini berubah dengan putusan atas perkara yang diajukan Effendi Gazali kemarin.
Berdasarkan undang-undang perubahan, pendirian MK memang bisa diambil jika ada dalil-dalil dan fakta baru yang diajukan oleh pemohon baru meski objeknya sama. Dalam hal ini, permohonan Effendi Gazali dkk berhasil mengubah pendirian MK. []
KORAN
SINDO, 25 Januari 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar