Nasib 5-3-2 untuk Mengoreksi
“Zaman Saya”
Senin, 17 Februari 2014
Mereka belum tahu harus berbuat
apa. Ke-180 pengusaha kecil yang bergerak di bidang pembuatan pupuk organik ini
lagi gundah. Awalnya dari surat seorang dirjen yang dilayangkan ke PT
Petrokimia Gresik, yang selama ini mengelola subsidi pupuk organik untuk
petani.
Dalam
surat itu disebutkan Komisi IV DPR memutuskan untuk menghapus subsidi pupuk
organik. Itu berarti PT Petrokimia Gresik yang selama ini menjadi pembeli
tunggal pupuk organik hasil dari pabrik-pabrik kecil itu akan menghentikan
pembeliannya. Sama saja dengan menyuruh pabrik-pabrik tersebut menghentikan
kegiatannya. Ada 180 pabrik yang harus tutup. Dan, minggu lalu sudah
benar-benar tutup.
Selama
ini PT Petrokimia Gresik membeli pupuk organik dari mereka dengan harga Rp
1.200 per kilogram. Pupuk itu diolah kembali dengan teknologi modern dan dibuat
standar. Misalnya, ditambah mixtro (produk petrokimia) agar bisa sekalian
menjadi booster untuk padi.
Juga
harus dipanaskan dengan suhu 350 derajat Celsius untuk mematikan gulma,
bakteri, dan jamur yang merugikan tanaman padi. Setelah itu pupuk tersebut
dijual ke petani dengan harga Rp 500 per kg. Dengan demikian, pemerintah
memberikan subsidi Rp 700 per kg.
Petrokimia
Gresik selama ini juga melakukan kampanye besar-besaran dengan
menyosialisasikan rumus “5-3-2″. Sukses. Para petani sudah hafal dengan kode
itu. Tanpa melakukan itu berarti cara mereka bertani dianggap tidak benar.
Sosialisasi ini sangat berhasil.
Suatu
saat saya diundang temu wicara di tengah sawah di Sumedang. Tidak hanya yang
laki-laki, ibu-ibu pun bisa menjelaskan apa itu rumus “5-3-2″. Demikian juga
saat saya menghadiri acara yang sama di Sragen. Di Klaten. Di Bantul. Di Cianjur.
Rumus “5-3-2″ sudah hafal di luar kepala: 500 kg organik (Petroganik), 300 kg
NPK (Ponska), dan 200 kg urea untuk setiap hektarenya.
Itulah
pemupukan padi yang benar. Dulu petani mengira tanaman itu kian terlihat hijau
kian baik. Bahkan, kalau perlu, hijaunya sampai kebiru-biruan. Akibatnya,
banyak petani yang berlomba memperbanyak urea. Padahal, itu hanya “tipuan”. Dan
mahal.
Memang,
dengan memperbanyak urea warna tanaman jauh lebih hijau. Tapi, ini tidak ada
hubungannya dengan upaya memperbanyak buliran padi.
Di awal
“zaman saya dulu” (maksudnya di zaman Pak Harto, hehe…) memang pupuk kimia
seperti urea, digalakkan segalak-galaknya. Waktu itu memang zaman kekurangan
pangan. Produksi beras harus digenjot: sebanyak mungkin dan secepat kilat. Pupuk
kimia adalah jalan pintas mengatasi persoalan. Indonesia swasembada beras.
Namun,
kemudian disadari bahwa penggunaan pupuk kimia yang terus-menerus itu telah
merusak tanah. Kesuburan tanah berkurang drastis. “Masih enak zaman saya” telah
membuat “tidak enak di zaman Facebook dan Twitter”.
Mau tidak
mau tanah yang mati akibat pupuk kimia itu harus dihidupkan kembali. Harus
disuburkan. Caranya: memberikan pupuk organik di sawah-sawah itu.
Sudah
lima tahun di zaman Pak SBY ini program menyuburkan kembali sawah dilakukan.
Tiap tahun pupuk organik disubsidi. Agar terjangkau. Agar petani mau menebarkan
pupuk organik. Agar tanah subur kembali.
Para
petani juga mulai sadar akan pentingnya pupuk organik. Sangat bangga melihat
petani mulai fanatik dengan pupuk organik. Rumus “5-3-2″ sudah di luar kepala.
Haruskah
kini petani kembali ke “zaman saya dulu”? Mengapa di saat seperti itu subsidi
pupuk organik justru dihentikan? Haruskah petani lagi yang dikecewakan? Mengapa
kelangsungan program Pak SBY ini harus terputus?
Ketika
berkumpul dengan 180 produsen pupuk organik itu, Kamis minggu lalu di Gramedia
Expo, Surabaya, masih belum ditemukan solusi. Mereka hanya bisa kecewa,
mengeluh, dan marah.
Hadi
Mustofa, anak muda Tulungagung yang juga produsen pupuk organik, akhirnya
angkat bicara: kalau memang subsidi pupuk organik tetap dihapus, bagaimana
kalau harga pupuk nonorganik dinaikkan? Dengan demikian, subsidi untuk
nonorganik berkurang. Ini bisa dialihkan menjadi subsidi pupuk organik.
Sekalian mengurangi pemakaian pupuk kimia.
Ini
berbeda dengan tanaman tebu. Seluruh kepala petani tebu juga berkumpul di
tempat yang sama Kamis lalu. Membicarakan upaya peningkatan produksi tebu. Ini
sesuai dengan prinsip “gula itu dibuat di kebun, bukan di pabrik gula”.
Artinya, untuk meningkatkan produksi gula mau-tidak-mau tebunya harus baik.
Mereka
juga sepakat penggunaan pupuk organik di tanaman tebu sangat vital. Tebu yang
dipupuk organik jauh lebih subur dibanding yang tidak.
Hanya,
untuk tanaman tebu pabrik gula punya sumber pupuk organik yang murah. Pabrik
gula menghasilkan limbah organik yang sangat besar. Blotong. Cukup untuk
mengorganiki tanaman tebu di wilayahnya.
Untuk
sawah sumbernya tidak tersedia di semua lokasi. Kecuali, kelak, setiap petani
punya ternak sapi sendiri.
Tapi, di
saat jumlah sapi terus merosot belakangan ini, subsidi pupuk organik harus kita
perjuangkan. Apalagi, sebetulnya, nilai subsidi untuk pupuk organik bagi petani
ini tidak besar-besar amat. “Hanya” Rp 800 miliar per tahun. Tidak ada artinya
dibanding, misalnya, yang “satu itu”: k-o-r-u-p-s-i. (*)
Dahlan
Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar