Sinkretisme Islam
Nusantara, Terbentuk atau Dibentuk?
Oleh: Fathoni
Para pengamat Barat melihat Islam di
Indonesia, atau di wilayah Nusantara pada umumnya, sebagai bentuk sinkretisme,
bukan Islam yang sebenarnya sebagaimana yang mereka lihat di Timur Tengah;
sebuah penampakan Islam yang seragam dengan "jubah dan warna hitam
putih"; bukan Islam dengan berbagai "corak warna dan batik", dan
Indonesia memang tidak pernah diproklamirkan sebagai sebuah negara Islam.
Adalah dua postulat yang dikemukakan oleh A.
Khoirul Anam dalam rubrik Risalah Redaksi NU Online pada tanggal 19 September
2013 lalu: Mengapa Muslim di Nusantara atau Indonesia ini kurang diperhitungkan
dalam dinamika sejarah perkembangan Islam, baik secara historis maupun
geopolitik?
Persoalan ini penting untuk kembali diangkat
ke permukaan karena faktanya Islam Nusantara secara genealogi, etnografi,
historiografi, maupun secara antropologi banyak dimunculkan oleh
ilmuwan-ilmuwan barat melalui penelitiannya. Sebut saja salah satunya ialah
Clifford Geertz, Antropolog Amerika dengan triloginya yaitu santri, abangan, dan
priyayi dalam agama Jawa.
Secara historis, wacana yang berkembang
ialah, ada tiga teori masuknya Islam di Nusantara yaitu teori Gujarat, Persia,
dan Arab. Lantas, mana teori yang mendekati kebenaran untuk kemudian bisa
dijadikan rujukan secara historis? Tentu di sini kita tidak bermaksud mengurai
sejarah tersebut. Artinya, Islam yang berkembang di Nusantara memang berasal
dari luar namun penuh dengan nuansa lokalitas.
Bahkan agama Hindu-Buddha yang konon dianggap
sebagai agama pertama yang diyakini oleh para leluhur tidak sepenuhnya benar,
sebab keyakinan dan kepercayaan yang muncul pertama kali ialah kepercayaan
kepada roh para leluhur yang lazim kita sebut animisme dan dinamisme. Keyakinan
tersebut oleh orang-orang Nusantara terdahulu disimbolkan dengan mantera,
keris, semedi di bawah pohon besar yang dikemas dalam laku (mirip ibadah)
sehingga inilah yang kemudian menurut Clifford Geertz, menjadi sebuah sistem
budaya (cultural system).
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah,
mengapa para antropolog Barat menganggap bahwa Islam di Indonesia penuh dengan
sinkretis?
Perlu diketahui bahwa, kepercayaan
orang-orang Nusantara terdahulu seperti yang dikemukakan oleh Prof. Nur Syam
membentuk sebuah nilai sehingga orang berbondong-bondong mengikuti ritual-ritual
pemujaan, pembacaan mantera, semedi (meditasi), sebab dengan laku tersebut,
para penghayat keyakinan memperoleh sebuah nilai yaitu ketenangan batin,
sehingga membentuk sebuah makna dari ritualnya tersebut, dan sistem demikian
berjalan terus-menerus jika ada kepercayaan baru yang masuk ke Nusantara.
Dari hal ini, kita bisa memahami bahwa
orang-orang Nusantara dahulu sudah mempunyai sifat toleran dalam menerima
kepercayaan baru yang masuk. Termasuk dalam menerima ajaran agama monoteisme
seperti Hindu, Buddha, Nasrani ataupun Islam. Hal demikian juga bukan hanya
karena tolerannya orang-orang Nusantara dalam menerima ajaran baru yang masuk,
tetapi juga agama atau kepercayaan baru yang masuk mampu menyesuaikan dengan
tradisi yang dibawa sejak zaman dahulu terutama Islam sehingga agama baru yang
dianut oleh orang-orang nusantara tidak lepas dari tradisi lokal yang dibawa
oleh agama atau kepercayaan terdahulunya.
Misal Islam di Sasak, Lombok yang diteliti
oleh Dr. Erni Budiwanti. Dia mengemukakan bahwa Islam Sasak adalah Islam juga,
hanya saja Islam yang bernuansa lokal. Dalam agama wetu telu yang paling
menonjol dan sentral adalah pengetahuan tentang lokal, tentang adat, bukan
pengetahuan tentang Islam sama sekali, misalnya doa-doa, tempat peribadatan
masjid dan tempat lain yang mengintroduksi keislaman mereka.
Hal inilah yang kemudian disimpulkan oleh
para antropolog Barat bahwa Islam di Nusantara berbau sinkretisme. Namun,
kemudian Budiwanti mengemukakan lagi bahwa sebenarnya peran negara dalam bentuk
Islam waktu limo, yaitu Islam puritan yang ada di Lombok menjadi sangat
menonjol di tengah suasana pribumisasi Islam yang mestinya berperan akomodatif
bukan penetratif. Mengapa? Karena hal demikian akan banyak merugikan tradisi
keagamaan lokal, dan ini tidak sesuai dengan karakter Islam sendiri yang ramah.
Lain Sasak, lain pula Jawa dengan kejawennya.
Sampai saat ini, sebagian muslim di Jawa masih menampakkan ritual-ritual
kepercayaan terdahulunya seperti disimbolkan dengan sesajen dan slametan.
Dengan trikotominya, santri, priyayi, dan abangan seperti yang telah
dijelaskan, Clifford Geertz mengemukakan bahwa paradigma kehidupan kejawen
relatif masih sangat dominan sehingga pola ritual slametan juga dominan,
seirama dengan dominannya ideologi abangan dalam kehidupan keagamaan dan sosial
politik di Jawa. Dari hal inilah Geertz melihat elemen-elemen yang sinkretik
dan animistik dalam pola slametan di Jawa. Meskipun pada zaman sekarang lebih
pada akulturasi budaya, sebab slametan diisi dengan bacaan-bacaan Al-Quran.
Demikian kita bisa memahami bahwa Clifford
Geertz adalah satu dari antropolog Barat yang ‘menghukumi’ bahwa Islam di
Indonesia penuh dengan sinkretisme. Geertz adalah seorang antropolog yang
mengkonsentrasikan diri dalam antropologi budaya. Perspektif antropologinya
seperti yang dikemukakan oleh Nur Syam ialah antropologi
simbolik-interpretatif. Aliran antropologi yang memperoleh perhatian luas dan
menjadi perbincangan hingga akhir-akhir ini. Aliran ini dikembangkan oleh
Geertz melalui berbagai kajiannya, terutama di Indonesia.
Lebih dari 40 tahun Geertz memperkenalkan
antropologi Indonesia ke dunia luar. Bahkan karena kajian antropologinya
tersebut, Geertz memperoleh Bintang Tanda Jasa Utama dari Pemerintah Indonesia.
Ironis! Ketika Geertz merupakan seorang
antropolog yang memahami Islam Indonesia penuh dengan sinkretisme. Dengan
demikian, selama 40 tahun pula Geertz memahamkan pada dunia bahwa Islam yang
berkembang di Indonesia adalah salah satu bentuk sinkretisme sehingga tesis A.
Khoirul Anam di atas telah menemui klimaksnya ketika muslim Indonesia tidak
diperhitungkan di dunia.
Geertz, selama 40 tahun malang melintang
memahamkan budaya Islam Nusantara yang dalam mainstream-nya bersifat sinkretik
memunculkan hipotesis dalam pikiran penulis bahwa paham sinkretisme
sesungguhnya terbentuk dengan sendirinya atau justru dibentuk dan didesain oleh
pengamat Barat sendiri?
Penulis mempunyai pemahaman bahwa hakikat
Islamlah yang mesti menjadi perhatian bersama dalam memahami Islam wetu telu
atau Islam kejawen, misalnya. Sebab dari hakikat itulah kita dapat memahami
keotentikan Islam dengan berbagai praktik keagamaan berbasis lokal menuju
Tuhannya; bukan Islam yang dipahami secara simbolistik berupa jubah dan jenggot
seperti yang nampak di Arab. []
Fathoni, mahasiswa Pascasarjana Kajian Islam
Nusantara STAINU Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar