Memasukkan Aspirasi Islam dalam Pendidikan
Nasional
Sebelum Indonesia merdeka, para tokoh
perjuangan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan yang diketuai oleh Bung
Karno Sendiri. Panitia berusaha untuk merumuskan Undang Undang Dasar (UUD)
secara lengkap.
Namun kehendak itu ditentang keras oleh Jepang, karena ini berarti membuang konstutusi kolonial Jepang yang sedang berlaku. Tetapi Bung karno gigih melakukan desakan sehingga akhirnya pimpinan di Toyo menyetujui usulan itu, tetapi dipesan itu sifatnya hanya penjajahan.
Memang sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) itu diawasi dengan ketat oleh tentara Jelang, namun tidak berarti UUD itu buatan Jepang, seperti yang dituduhkan kelompok liberal, yang berusaha meliberalisasi UUD dengan dalih menghilangkan unsur fasisme Jepang. Ini alasan yang dibuat-buat.
BPUPKI dilaksanakan dalam berbagai komisi antara lain komisi pendidikan yang anggotanaya terdiri dari Ki Hajar Dewantara (Taman Siswa), KH Masykur (NU), Ki Bagus Hadikusumo, Prof Husen Djajadiningrat dan sebagainya, yang semuanya kelompok nasionalis. Sementara kelompok westernis seperti Sutan Takdir Alisyahbana yang suaranya lantang dalam polemik kebudayaan beberapa tahun lalu tidak dimasukkan dalam tim ini.
Hasilnya sangat nyata, telah berhasil dirumuskan filsafat pendidikan nasional dengan prinsip bahwa pandidikan nasional bersendi pada agama dan kebudayaan nasional, yang semuanya dijadikan sebagai sarana menuju keselamatan dan kesejahteraan masyarakat. Ini berbneda dengan Takdir yang mendasarkan pendidikan dengan filsafat Barat yang rasionil dan progresif bahkan agresif.
Dalam panitia itu Kiai Masykur sebagai orang pesantren berhasil mendesakkan nilai keagamaan dalam pendidikan. Karena dengan moralitas agama itulah pendidkan moral dah pembentukan karakter (character building) bisa dilakukan. Dan ini yang menjaadi salah satu tujuan pendidikan nasional.
Semua prinsip yang dikembangkan dalam komisi pendidikan yang dijiwai oleh semangat keagamaan, kepesantrenan dan keindonesiaan itu akhirnya dirumuskan dalam beberapa ayat dalam UUD 1945 yang asli, sehingga pendidikan nasional tidak hanya cocok bagi bangsa Indonesia, tetapi juga terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Karena undang-undang ini murni dari aspirasi rakyat, bukan buatan Belanda atau Jepang.
UUD 1945 yang bersifat religius, nasionalis dan populis itu yang dituduh tidak demokratis, lalu diganti dengan UUD 2002 yang sudah diacak-acak sehingga UUD baru ini tidak hanya tidak memiliki jiwa agama, tetapi juga tidak nasionalis dan tidak populis.
UUD 1945 selain dijiwai oleh pesantren yang memang menyediakan pendidikan murah juga diinspirasi oleh kesederhanaan Taman Siswa. Langkah itu yang kemudian berhasil mencerdaskan bangsa ini secara massal. Tidak hanya menyelenggarakan pendidikan murah, tetapi memberikan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan bangsa sendiri. []
(Abdul Mun’im DZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar