“Aja
Kagetan, Aja Gumunan, lan Aja Dumeh”
Oleh:
Kwik Kian Gie
HARIAN
Kompas edisi 4 Februari 2014 memuat tulisan Ahmad Syafii Maarif (Buya) dengan
judul ”Waktu dan Masalah Kedaulatan”. Artikel itu sangat menarik dan lain dari
yang biasa dibicarakan orang. Di tengah hiruk pikuk sanjungan terhadap
segelintir orang yang dianggap dapat diandalkan memimpin bangsa yang sedang
dalam kegelapan ini, Buya mengingatkan jangan takabur, terutama jika sanjungan
dan dukungan datang dari para cukong. Maksud tulisan ini bukan hanya
menggarisbawahi Buya, melainkan juga melengkapinya dengan aspek lebih licin,
lebih lihai, dan lebih berbahaya. Jika Buya mengingatkan jangan terjerembap
godaan uang dari para cukong, yang tak kalah penting adalah sanjungan, tepukan
pundak, dan acungan jempol terhadap mangsa yang ia incar.
Menguasai
media
Para
cukong itu menguasai media massa. Agar jualan mereka laku, sanjungan terhadap
orang yang dijadikan target bisa dilakukan dalam bentuk semacam kampanye oleh
media massanya. Dengan menyanjung secara gegap gempita setiap hari, televisi
atau korannya diminati banyak orang. Ini saja sudah memberi keuntungan bagi
sang cukong. Namun, dengan menyanjung orang yang berpotensi jadi penguasa
melalui media yang dimilikinya, sang cukong menanam budi pada yang bersangkutan
tanpa mengeluarkan uang yang, pada waktunya nanti, akan dimanfaatkan.
Dalam
kaitan ini, tepat waktu penampilan Megawati Soekarnoputri dalam acara Mata
Najwa di MetroTV, belum lama berselang, yang juga mengingatkan sanjungan dengan
istilah jangan mongkok yang artinya ’jangan membengkakkan dada’. Soeharto
sering mengatakan agar biso rumongso, jangan hanya rumongso biso. Artinya,
supaya bisa tahu diri tentang batas-batas kemampuannya, jangan sebaliknya,
merasa bisa segala.
Megawati
memang berhak mengatakan segala yang ia kemukakan dalam Mata Najwa. Bicara
tentang blusukan, dalam era Soeharto yang represif—terutama terhadap partainya,
terlebih terhadap keluarga Bung Karno—Megawati sudah blusukan ke seantero
Indonesia dengan cara yang sangat berat. Dia mengunjungi sekitar 300 cabang
partainya sampai ke pelosok Tanah Air yang hanya dapat dicapai dua hari dengan
kapal kecil.
Pembicaraan
dengan para kader yang dikunjunginya hanya dapat dimulai sekitar pukul 23.30 ke
atas (acara sebelumnya dalam bentuk hajatan keluarga). Kalau tidak, pasti
pertemuan dalam bentuk rapat atau diskusi dibubarkan aparat.
Dalam
kongres di Surabaya untuk memilih ketua umum partainya, Megawati tak mau diajak
menginap di hotel yang nyaman. Dia memilih tidur di Asrama Haji bersama sekitar
1.000 anggota delegasi di dalam kamar sangat sederhana tanpa AC dan penuh
nyamuk. Saya menyaksikan sendiri betapa sekujur badannya berbintik-bintik bekas
gigitan nyamuk.
Ketika
dalam pemungutan suara Megawati memperoleh lebih dari 90 persen suara, Kasospol
ABRI minta kepada saya menyampaikan pesan kepadanya apakah mau berunding dengan
sang jenderal. Bersusah payah saya menemukannya karena dia duduk di atas lantai
di tengah-tengah lebih dari 1.000 peserta kongres yang semuanya duduk di lantai
berimpit-impitan. Sangat sulit tiba padanya.
Ketika
saya sampaikan pesan tersebut, dia menjawab supaya saya menyampaikan kepada Kasospol,
”Siapakah saya yang rakyat jelata seperti ini harus berunding dengan seorang
jenderal?”
Mau tidak
mau Megawati harus diakui sebagai ketua umum karena kongres dihadiri seluruh
pers. Terjadilah peristiwa 27 Juli yang berdarah. Ketika pagi-pagi sekali dia
diberi tahu tentang sudah dimulainya lempar-lemparan batu di depan Kantor DPP
di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, dia bergegas ingin pergi ke DPP. Untung ada
kader yang memerintahkan para anggota mengepung rumahnya di Kebagusan supaya
dia tetap tinggal di rumah.
Menjelang
konferensi pers, sekitar pukul 18.00 di rumahnya, dia menyatakan ingin
menanggung semua beban dan risiko seorang diri. Kepada seorang kader yang
anggota DPP, dia mempersilakan supaya mengkritik partainya dan menyatakan
mengundurkan diri dari partainya agar, dengan demikian, bebas dari risiko
penangkapan, penculikan, pemenjaraan, dan entah apa lagi dalam situasi yang
semrawut dan simpang siur seperti itu.
Stop
menghujat
Namun,
ketika siapa saja yang namanya terkenal sedikit berkumpul menduduki Gedung DPR
menghujat Soeharto, Megawati tidak mau hadir di Gedung DPR meski massa di sana
sudah meneriakkan yel-yel yang bersahut-sahutan antara ”Mana Mega” dan ”Mega
Mendung”. Kemudian yel-yel yang bersahutan menggunakan kata-kata yang jorok.
Ketika
itu seorang anggota DPP mengajaknya ke DPR yang oleh Megawati dijawab, ”Saya
tidak mau ambil bagian dalam penghinaan terhadap Presiden Soeharto yang
patungnya dibakar sambil diseret-seret.”Dua hari kemudian, dalam rangka
memperingati Hari Lahir Pancasila, 1 Juni, Megawati didaulat berpidato di
Pejambon. Secara mengejutkan Megawati berseru, ”Stop menghujat Presiden
Soeharto”yang, oleh Kompas, dimuat di halaman satu dengan fotonya dan foto Bung
Karno di belakangnya.
Cukup ini
saja walaupun masih sangat banyak yang dapat diceritakan. Lantas hasil-hasil
survei yang disebarkan demikian luas mengatakan bahwa Megawati sangat jauh di
bawah rating-nya? Gejala apakah ini? Apakah rakyat lupa sejarah dalam waktu
begitu singkat atau lembaga survei yang bermain politik ?
Tepat
lagilah yang dikatakan Megawati, ”Jadilah pemimpin terlebih dahulu, maka
jabatan presiden dengan sendirinya merupakan formalitas dari pengakuan rakyat.”
Tepat pulalah yang dikatakan Buya bahwa kita harus ”waspada dengan mata rajawali,
bukan mata kelelawar yang redup pada siang hari, terutama dalam menghadapi
godaan dari semua penjuru, di semua lini, termasuk dari lingkungan pengusaha
hitam, jika tidak waspada”. Berbeda dengan ketika saya bermimpi menjadi
konglomerat, para konglomerat sekarang sudah bergurita di mancanegara.
Walhasil,
rayuan dalam bentuk pujian dan sanjungan bisa lebih dahsyat kerugiannya
dibandingkan dengan suap dalam bentuk uang. Tak banyak yang kuat menahan
ketenaran. Orang Belanda mengatakan, Het zijn alleen de sterke benen die de
weelde kunnen dragen. Artinya, hanya kaki-kaki yang kuatlah yang dapat
mengemban pujian, sanjungan, dan ketenaran. Soeharto sering mengutip kata-kata
mutiara Jawa yang menjadi judul tulisan ini: aja kagetan, aja gumunan, lan aja
dumeh (jangan sedikit-sedikit terkejut, terheran-heran, dan lantas sok). []
Kwik Kian
Gie ; Ekonom
KOMPAS, 10 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar