Mudahnya Menuai “Hakekat”
Oleh: Muhamad Kurtubi
ADA kesan bahwa mendapatkan hakekat dari
suatu perjalanan si hamba menuju Tuhan, merupakan pekerjaan yang sulit. Bahkan
melelahkan. Apakah benar sarinya ibadah adalah hakekat itu sendiri. Dalam
bahasa lain, apakah dengan menjalani ajaran syariat yang diwariskan dan
diajarkan para Nabi otomatis memperoleh hakekat sekaligus?
Itulah hal yang mengganjal pikiran aneh saya
yang selama ini mengedepankan cara beribadah sebagai bagian dari ritual
(tarekat). Sebagai hamba yang doif (lemah) tentunya ingin memperoleh suatu
hakekat sebagai bagian dari upaya menuju padaNya. Namun kendala di sana-sini
banyak yang menggelayuti dan memberati langkah itu. Lantas pikiran aneh itu
berterori bahwa hakekat itu semudah menikmati es krim!
Kira-kira itulah yang ingin saya posting di
sini, bahwa mendapatkan hakekat itu semudah memakan eskrim, makan pisang,
bahkan jeruk sekalipun. Sehingga mengapa susah-susah mencari hakekat padahal
hakekat yang tersembunyi itu merupakan kausalitas dari apa yang ada di hadapan
kita, tanpa harus mengerti makna dan ideologi hakekat itu sendiri.
Saat
kita makan es krim, apakah kita harus mengetahui hakekat dari es krim itu
sendiri? saya kira tidak! Karena ada sejuta bahkan milyaran pertanyaan dari es
krim itu sendiri: misalnya siapa pembuatnya, berapa orang yang terlibat dalam
pembuatan, apa bahan-bahannya, bagaimana bahan itu diperoleh, berapa jumlah
bahan dan bagaimana nilai kimiawinya, jam berapa membuat, bagaimana kondisi di
pembuat itu, apa ideologi pembuatnya, di mana mereka masing-masing tinggal, jam
berapa mulai proses dan selesainya, di mana bahan pembuat es krim itu
dijualnya, siapa penjualnya, berapa dibelinya; apa kandungan kimiawi dari es
krim itu, dst. Yang kita nikmati adalah padahal sebuah es krim dan itu sangat
menyegarkan. Di dalamnya ada vitamin dan gizi yang menyegarkan dan menyehatkan
badan kita.
Demikian
juga jika kita makan pisang atau jeruk. Kita tidak perlu mengerti hakekat
buah pisang/jeruk itu sendiri: siapa penanam buah pisang itu, dimana
tinggalnya, jam berapa ditanam dan jam berapa ditunai, berapa luas kebun itu,
berapa jumlah jeruk/pisang saat di panen, bagaimana kehidupan si penanam
pisang, apa yang dilakukan selama merawat buah pisang itu, berapa lama ia
menanam, dan apakah isi dan gizi kandungan dari pisang itu. Dan masih jutaan
pertanyaan dibuat untuk memahami hakekat sebuah pisang yang akan di
lahap di tangan kita.
Saya
kira, percuma dan bikin capek memahami hakekat buah pisang yang akan kita makan
itu.
Kecuali bagi yang nekad menghabiskan umurnya. Karenanya, secara singkat dapat
di katakan bahwa, hakekat itu telah masuk ke dalam syareat itu
sendiri. Sama halnya, vitamin C sudah include dalam buah pisang dan Jeruk itu
sendiri. Tinggal kita makan (syariat) maka otomatis hakekat (kandungan manfaat)
itu akan dirasakan dan dicerna secara otomatis ke dalam siklus makanan yang ada
dalam tubuh.
Sama halnya, kita pun tidak perlu mengetahui
bagaiaman proses vitaminosis dalam tubuh itu diketahui. Si
tubuh secara otomatis memproses hakekat (sari makanan) itu dan tiba-tiba tubuh
kita sehat walafiat, segar bugar dan bertambah besar, sehat cantik dan ganteng.
Demikian
itu sama sama halnya dengan ibadah. Shalat, misalnya. Dengan
mengerjakannya, ia sudah mengandung makna hakekat shalat. Karena ada milyaran
pertanyaan misteri di seputar shalat itu sendiri. Silahkan bagi para filosof
membahasnya. Zakat, puasa, haji dan syariat lainnya. Saya kira Tuhan sudah
menginkludkan hakekat ibadah itu yang saya kira sama persis dengan Tuhan
menciptakan pisang.
Tinggal dimakan dan rasakan manfaatnya: segar
menyegarkan. Demikian pula degnan seremonial (ibadah) tinggal dilaksanakan, dan
manfaatnya akan dirasakan sendiri.
Jika kemudian tidak merasakan manfaatnya,
barangkali buah pisang yang dimakan atau jeruk itu sendiri beracun, mengandung
kuman, terkontaminasi atau apalah istilahnya. Atau memang kita tidak suka
memakan jeruk atau pisang karena sakit gigi, sakit tenggorokan atau memang
alergi dengan pisang yang nikmat itu. Bahkan boleh jadi, ada yang beranggapan
mengapa tidak suka pisang dan jeruk juga es krim karena dianggap makanan ikan
teri yang bikin alergi.
Bagi
para pencari hakekat yang belum dapat-dapat, maka saya kira
dengan gambaran logika di atas, umur kita tidak akan cukup untuk memahami semua
hakekat
bahkan dari sebuah pisang di tangan kita sekalipun. Jadi, masihkah tertarik
mengejar hakikat tanpa syariat?? Ah itu mah terserah masing-masing bae lah.
Wallahu a’lam. []
Muhamad Kurtubi,
Santri Pondok
Pesantren Buntet – Cirebon, lulusan MANU 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar