Keberanian Entong
Gendut Betawi Melawan Abtenar Belanda
Pada momentum ulang
tahun kota Jakarta yang ke 489 ini, ada baiknya rubrik fragmen kali ini
mengangkat salah satu pahlawan Betawi bernama Entong Gendut (tidak diketahui
nama aslinya) yang barangkali nama ini tidak setenar pahlawan Betawi lainnya
seperti si Pitung misalnya yang begitu terkenalnya hingga menjadi semacam
cerita rakyat. Tokoh kita kali ini benar-benar nyata, bukan sekadar cerita
rakyat apalagi dongeng. Cerita ini telah ditulis oleh ahli sejarahwan kondang
Sartono Kartodirjo dalam bukunya Protest Movements in Rural Java sebagaimana
dikisahkan kembali oleh Goenawan Mohammad dalam catatan pinnggirnya edisi 24
Februari 1979.
Dahulu di Condet,
Betawi, terkenal seorang laki-laki pemberani yang dikenal dengan nama Entong
Gendut. Dialah yang memimpin rakyat Condet melawan kesewenang-wenangan wedana
dan mantri polisi kala itu. Sikapnya ini dilatari karena Entong Gendut trenyuh
dan prihatin ketika suatu ketika menyaksikan salah satu rumah petani dibakar
habis oleh tuan tanah.
Diceritakan pada
zaman itu, yaitu di dasawarsa pertama abad ke-20, tuan tanah begitu serakahnya.
Oleh sebuah peraturan gebernemen di tahun 1912, tuan tanah sering mengadukan ke
landrad para petani yang gagal membayar cukai kepadanya. Dan tuan tanah di desa
Condet di sub-distrik Pasar Rebo ini sangat getol dalam membikin perkara.
Akibatnya banyak petani yang bangkrut, rumahnya dijual, atau tak jarang
dibakar. Beberapa insiden dan konflikpun terjadi pada waktu itu antara lain:
Insiden pertama
terjadi di Bulan Februari 1916. Menurut keputusan landrad di Meester Cornelis
14 Mei 1914, pak tani Taba dari Batu Ampar harus membayar 7.20 gulden ditambah
ongkos perkara. Tanggal 15 bulan itu pak tani Taba diperingatkan, kalau tidak
bisa bayar, yang berwajib akan menyita miliknya.
Rakyat dan para
tetangga pak Taba marah atas perlakuan demikian. Mereka berkumpul di kebon
Jaimin di sebelah utara, ketika para yang berwajib datang untuk melaksanakan
hukuman. Maksud kerumunan itu taka laian ialah untuk mencegah nasib buruk yang
sudah dijatuhkan kepada pak Taba. Dan Entong Gendut juga hadir di situ. Tapi
walaupun mereka telah berteriak-teriak, memaki-maki dan berdoa, tetap saja tak
berhasil menggagalkan eksekusi hukuman yang menimpa pak Taba.
Insiden kedua terjadi
di depan Villa Nova, rumah nyonya besar Rollinson yang memiliki tanah di
Cililitan Besar. Saat itu malam tanggal 15 April, sedang ada pertunjukan
topeng. Tapi suasana sudah panas. Ketika sore tadi tuan tanah dari tanjung
Oost, Ament, naik mobilnya lewat jembatan, ia dilempari batu. Dan ternyata
ketika pertunjukan topeng menuju jam 11 malam, terdengar teriakan teriakan yang
meminta acara supaya dihentikan. Perintah atau inisiatif penghentian
pertunjukan topeng tersebut datang dari Entong genudut. Rakyat patuh dan
akhirnya mereka bubaran dengan tenang.
Mengetahui
pertunjukan topeng distop, wedana menjadi marah. Dia kemudian menyuruh orang
memanggil Entong Gendut supaya menghadapnya di Meester Cornelis. Ketika mantri
polisi dan demang datang ke Batu Ampar, mereka dapatkan Entong Gendut di
rumahnya dikelilingi kawan-kawannya. Ketika Entong Gendut ditanya kenapa ia
berani menghentikan pertunjukan topeng, laki-laki itu menjawab: "Demi
agama". Ia hendak mencegah perjudian. Selain itu, Ia menjelaskan betapa
selama ini rakyat dibebani utang dan rumah mereka dijual atau dibakar,
sementara polisi Cuma membantu tuan tanah dan orang Belanda.
Mendengar penuturan
Entong Gendut di atas, Mantri polisi dan demang merasa bahwa Entong Gendut
sudah kurang ajar, tapi pada saat itu juga mereka tak berani, sebab Entong
sudah siap nampaknya.
Tanggal 9 April 1916,
ada info yang memberitahu para pejabat di Pasar Rebo dan Meester Cornelis,
bahwa banyak orang berkumpul di rumah Entong Gendut. Sepucuk surat rupanya
telah dikirim Entong Gendut kepada demang agar demang menghapap "si Raja
Muda" yaitu tidak lain Entong Gendut sendiri.
Hari Ahad dan
Seninnya wedana menjadi sibuk. Ia sendiri kemudian yang memimpin patroli.
Dengan diiringi sepasukan polisi, ia menuju ke rumah Entong Gendut. Rumah itu
pun lalu dikepung. Wedana berteriak supaya entong keluar. Entong menjawab ia
akan keluar setelah selesai shalat. Dan ketika ia keluar membawa tombak serta
kerisnya, ia mengatakan bahwa dirinya raja. Ia tak tunduk pada hukum apa pun
dan termasuk tak tunduk pada hukum Belanda. Para pengikutnya pun berteriak
menyatakan mereka tidak takut. Akhirnya Pertempuranpun terjadi. Wedana berhasil
ditangkap rakyat. Tapi tak lama kemudian bantuan datang dan akhirnya Entong
Gendut mati.
Demikian kisah Entong
Gendut, seorang warga yang tidak tega menyaksikan rakyat tertindas oleh
kebijakan pemerintah kolonial waktu itu dan hingga dirinya mati dalam rangka
aksi protes dan menentang peraturan tidak manusiawi oleh penjajah kolonial
beserta segenap pegawai pribumi yang mengabdi pada pemerintah kolonial Belanda.
Artikel ini kami
sadur dari buku kumpulan catatan pinggir Goenawan Moehammad, Grafiti Pres,
Jakarta: 2006.
(M. Haromain)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar