Senin, 15 Agustus 2016

(Buku of the Day) Berguru Ke Sang Kiai, Pemikiran Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari



Berguru ke Mbah Hasyim, "Luru Ilmu Kanthi Lelaku"


Judul                : Berguru Ke Sang Kiai, Pemikiran Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari
Penulis             : Mukani
Prolog              : Prof. Dr. Nur Ahid, M.Ag.
ISBN                 : 978-602-6827-08-1
Cetakan            : I, Mei 2016                                         
Tebal                : 271 + xvi                                                                             
Penerbit            : Kalimedia, Yogyakarta
Peresensi          : Jumari, Dosen Fakultas Tarbiyah, Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.

Nama Hadratussyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim) di kalangan nahdliyyin tidak asing lagi. Di samping sebagai pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926, Mbah Hasyim juga didaulat sebagai Ra’is Akbar NU hingga wafat di tahun 1947. Sebuah posisi tertinggi dalam organisasi NU. 

Buku baru berjudul Berguru Ke Sang Kiai; Pemikiran Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari yang ditulis Mukani ini sebagai sebuah bentuk pengakuan terhadap kehebatan sosok Mbah Hasyim. Buku ini pada awalnya adalah hasil penelitian tesis di IAIN/UIN Sunan Ampel Surabaya. Karya ini menjadikan 23 tulisan Mbah Hasyim sebagai sumber primer. Baik dalam bentuk kitab ataupun risalah.

Sebagai sosok asli Jombang, nama Mbah Hasyim sudah ditulis dengan tinta emas dalam sejarah perjuangan Indonesia meraih kemerdekaan. Tidak hanya mampu mendirikan NU, juga mendirikan Pesantren Tebuireng. Kedua “warisan” ini sampai sekarang masih eksis dalam berkontribusi demi pembangunan Indonesia. 

Tidak heran jika sudah puluhan buku ditulis untuk mengkaji sosok kakek Gus Dur ini. Termasuk juga puluhan penelitian. Baik skripsi, tesis ataupun disertasi. Itu semua membuat nama Mbah Hasyim semakin dikenal luas di masyarakat. Tidak hanya Indonesia, tapi juga dunia internasional. 

Hal ini tidak berlebihan. James J. Fox, guru besar antropologi di Australian National University (ANU), adalah orang yang pertama kali menyebut bahwa Mbah Hasyim layak diberi gelar waliyullah. Jadi, gelar itu bukan warga NU yang pertama kali memberikan. 

Begitu juga dengan “tuduhan” bahwa Mbah Hasyim seorang tradisionalis. Pendapat ini sangat tidak tepat. Karena menurut Howard M. Federspiel, guru besar di McGill University Kanada, Mbah Hasyim termasuk orang yang tidak menolak modernisasi. Tetapi, agaknya, sebagai seorang yang tertarik kepada modernisasi, meski dalam sistem di komunitasnya sendiri (hal. 14).

Pembelajaran Aplikatif
Di samping berhasil menjadi pendidik yang perlu diteladani, Mbah Hasyim juga menulis puluhan kitab dan risalah. Karya-karya itu hingga sekarang masih dijadikan referensi dalam berbagai pengajian-pengajian kitab kuning di dunia pesantren seluruh Nusantara. Karya kelima Mukani ini mampu merekam dengan baik butiran-butiran pemikiran Mbah Hasyim dalam bidang pendidikan.

Dalam khazanah pengembangan dunia intelektual, buku ini mampu hadir sebagai salah satu referensi utama bagi pengelola, pengambil kebijakan, pendidik, peserta didik dan stakeholders di Indonesia dalam memajukan pendidikan. Terutama pendidikan yang berorientasi pada aspek religius-etis dan afinitas ilmiah dengan kajian Islam. 

Dalam buku ini dipaparkan kunci sukses Mbah Hasyim dalam mengkonsep pendidikan Indonesia adalah model luru ilmu kanthi lelaku. Berdasar pendekatan ini, seorang pendidik dan peserta didik tidak sekedar berteori. Namun langsung belajar secara aplikatif di masyarakat. Itu semua harus dimulai dari diri sendiri (hal. 52).

Sebagai contoh adalah dalam menanamkan nilai nasionalisme dalam jiwa peserta didik. Tidak sekedar melalui penataran, seminar, workshop ataupun acara formal lainnya. Fatwa jihad untuk mengadakan perlawanan kepada bangsa penjajah sebagai aksi nyatanya. Bahwa, umat Islam dalam radius 60 kilometer wajib hukumnya untuk mengangkat senjata melawan kolonialisme Belanda yang hendak merebut kemerdekaan Indonesia. Jika gugur di medan perang, dihukumi mati syahid.

Fatwa ini kemudian yang mengilhami Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Justru dari resolusi yang dikeluarkan para ulama NU inilah meletus pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang sangat heroik itu. Meski, banyak sejarah belum menulisnya secara proporsional. 

Dalam membentengi keimanan umat Islam di Indonesia sebagai contoh kedua. Mbah Hasyim tidak sekedar menulis teori dalam kitab yang tebal. Ketegasan Mbah Hasyim dalam menolak saikere kolonialisme Jepang sebagai bukti nyatanya. Meski Mbah Hasyim harus menerima siksaan fisik di penjara Jombang, Mojokerto dan lalu dipindah ke Kalisosok Surabaya. 

Melalui buku ini, sebenarnya Mbah Hasyim memberikan kerangka konsepsional yang fundamental bagi pendidikan Indonesia. Langkah lebih teknis operasional memang harus tetap dikaji ulang untuk mengimplementasikan pemikiran pendidikan Mbah Hasyim ini. 

Mbah Hasyim, dalam buku ini, digambarkan sebagai sosok yang menghargai keberagaman. Pendidikan tidak boleh melakukan diskriminasi. Motivasi peserta didik dalam mencari ilmu juga harus bersih dari unsur materialisme. Karena mencari ilmu adalah perintah agama (hal. 127).

Sebagai seorang pendidik, guru dan dosen dituntut untuk selalu mengembangkan kompetensi yang dimiliki. Terutama dalam tradisi literer. Artinya, guru dan dosen dituntut mampu menulis materi pembelajaran. Karya ini yang akan dijadikan pedoman bagi peserta didik dalam pembelajaran (hal. 138). 

Pada tataran kurikulum, Mbah Hasyim menekankan tidak sekedar kecerdasan intelektual (IQ). Namun juga sikap baik dan keterampilan dibenahi dari diri peserta didik. Keseimbangan IQ, EQ dan SQ menjadi sebuah keniscayaan. Materi yang dibelajarkan tidak sekedar ilmu agama, namun juga ilmu-ilmu umum. 
Lingkungan pendidikan juga harus dikelola dengan baik. Keluarga, sekolah dan masyarakat merupakan tiga lingkungan pendidikan yang sangat berpengaruh bagi keberhasilan peserta didik. Namun, ketiganya tetap berpangkal kepada proses pendidikan dalam keluarga. Terutama pentingnya sosok ibu dalam mendidik anak-anaknya (hal. 155). 

Melalui buku ini, sebenarnya Mbah Hasyim memberikan kerangka konsepsional yang fundamental bagi pendidikan Indonesia. Langkah lebih teknis operasional memang harus tetap dikaji ulang untuk mengimplementasikan pemikiran pendidikan Mbah Hasyim ini. 

Sosok pendiri NU ini pada titik tertentu hendak melakukan balancing terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Tidak sekedar aspek formalitas, tetapi juga subtansi dari makna pendidikan harus diinternalisasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan peserta didik. Pada ujungnya, diharapkan pendidikan Indonesia mampu melahirkan “produk” yang tidak hanya memiliki intelektual (pinter), tetapi juga memiliki integritas moral yang baik (bener). []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar