Rabu, 10 Agustus 2016

Azyumardi: Demokrasi Menurun



Demokrasi Menurun
Oleh: Azyumardi Azra

Pertumbuhan dan konsolidasi demokrasi Indonesia terbukti belum seperti yang diharapkan. Hal ini terlihat, misalnya, dari Indeks Demokrasi Indonesia 2015 yang diumumkan hari Rabu (3/8). Badan Pusat Statistik menyatakan, IDI 2015 untuk level nasional berada pada 72,82 dalam skala 0-100. Angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan IDI 2014 yang mencapai 73,04.

Menurunnya IDI pada 2015 disebabkan penurunan dua aspek. Pertama, aspek kebe- basan sipil yang menurun dari 86,62 menjadi 80,30; aspek lembaga demokrasi dari 75,81 menjadi 66,87. Sementara aspek hak-hak politik naik dari 63,72 menjadi 70,63.

Penting dicatat, dalam dua aspek IDI 2015 yang menurun dibandingkan 2014, ada beberapa variabel penting yang memburuk. Di antara variabel yang merosot itu: kebebasan beragama dan berkeyakinan yang termasuk ke dalam aspek kebebasan sipil; kemudian peran DPRD dan partai politik yang tercakup dalam aspek lembaga demokrasi.

Penurunan IDI tidak mengejutkan. Meski demokrasi Indonesia berkembang relatif stabil dalam satu setengah dasawarsa terakhir, sejumlah lembaga internasional juga belum memberi penilaian menyenangkan.

Dalam perspektif perkembangan demokrasi internasional, terdapat gejala kecende- rungan menurunnya demokrasi di banyak negara. Berbagai survei dan kajian bernada pesimis terhadap penguatan demokrasi karena ancaman terorisme, kemerosotan penghargaan hak-hal sipil, kebangkitan otoritarianisme, dan kemerosotan ekonomi.

Lihatlah judul laporan bernada pesimis itu. "The Economist Democracy Index 2015: Democracy in an Age of Anxiety" (London: 2016) menempatkan demokrasi Indonesia pada peringkat ke-49 dari 167 negara yang disurvei. Keadaan ini juga terlihat dalam laporan bernada pesimis "Freedom House, Freedom in the World 2015: Discarding Democracy, Return to the Iron Fist". Freedom House mengategorikan Indonesia sebagai hanya partly free, tidak free atau sepenuhnya "bebas" atau sepenuhnya "demokrasi".

Senada dengan itu, demokrasi Indonesia menurut The Economist termasuk dalam kategori flawed democracy (demokrasi cacat), belum kategori full democracy. Indonesia selamat tidak masuk ke dalam dua kategori lain yang jelas bukan demokrasi, yaitu hybrid regimes dan authoritarian regimes.

Demokrasi Indonesia dikategorikan flawed democracy, karena walau telah dapat menyelenggarakan pemilu bebas, tetapi saat sama mengandung "cacat". Cacatnya demokrasi Indonesia disebabkan kelemahan tata kelola pemerintahan yang berkombinasi dengan budaya politik yang masih terbelakang.

Dengan "cacat" tersebut, tidak heran jika lembaga-lembaga pemantau demokrasi secara internasional tidak mencatat adanya kemajuan (gain) perkembangan demokrasi di negeri ini. Karena itu, tepat sekali catatan Tajuk Rencana Kompas (2/8), demokrasi Indonesia menjadi beku (frozen democracy).

Lebih jauh, menurut Tajuk Rencana Kompas, demokrasi beku ketika kondisi ekonomi tidak membaik; pembentukan [penguatan] masyarakat sipil tidak terjadi; konsolidasi sosial politik tidak kunjung tuntas; dan [berbagai] kasus hukum juga tak selesai.

Penguatan kultur politik demokratis jelas adalah agenda yang terabaikan. Proses politik yang terjadi memang kian demokratis bahkan sebagian orang menyebutnya "terlalu banyak demokrasi", tetapi budaya politik demokrasi tak kunjung menguat.

Terbelakangnya budaya politik demokratis Indonesia terlihat dalam parpol dan lembaga perwakilan politik semacam DPR pada berbagai levelnya. Budaya parpol bukan kian demokratis, sebaliknya makin terjerumus ke dalam oligarki keluarga dan kelompok. Perbedaan dan pertikaian internal bukan diselesaikan secara demokratis, melainkan sering berujung pada perpecahan dan pembentukan partai baru.

Keadaan ini meruyak dan membiak sampai ke DPR dan DPRD. Faksionalisme lebih jauh lagi mengakibatkan kontestasi politik yang tidak berujung.

Kondisi tidak kondusif ini kemudian mengimbas pada eksekutif. Pemerintah sejak dari tingkat nasional dan daerah sering terbentuk dari koalisi parpol yang rentan friksi dan konflik politik. Akibatnya, pemerintah tidak bisa efektif melaksanakan program. Tak heran kalau anggaran belanja ngendon di bank dalam jumlah sangat besar.

Tidak efektifnya pemerintah juga mengakibatkan lemahnya penegakan hukum. Lembaga dan aparat hukum sering tidak mampu atau tidak serius mencegah atau menindak orang-orang atau kelompok warga yang intoleran. Bahkan, polisi sering disebut sebagai melakukan "pembiaran" terhadap mereka yang melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Penguatan budaya politik demokratis jelas tidak mudah dan juga tidak bisa instan, tetapi bukan tidak bisa diusahakan. Pimpinan parpol dan aktivis politik lain memiliki kewajiban dan tanggung jawab khusus membangun budaya politik demokratis.

Dalam jangka panjang, penumbuhan budaya politik demokratis dapat dimulai sejak usia dini melalui pendidikan lewat mata pelajaran atau mata kuliah terkait demokrasi. Subyek ini, misalnya, berupa pendidikan kewargaan atau pendidikan kewarganegaraan atau pendidikan demokrasi. []

KOMPAS, 9 Agustus 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Mantan Anggota Dewan Penasihat International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) Stockholm dan United Nations Democracy Fund (Undef) New York.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar