Demokrasi
Menurun
Oleh:
Azyumardi Azra
Pertumbuhan
dan konsolidasi demokrasi Indonesia terbukti belum seperti yang diharapkan. Hal
ini terlihat, misalnya, dari Indeks Demokrasi Indonesia 2015 yang diumumkan
hari Rabu (3/8). Badan Pusat Statistik menyatakan, IDI 2015 untuk level
nasional berada pada 72,82 dalam skala 0-100. Angka ini menunjukkan penurunan
dibandingkan IDI 2014 yang mencapai 73,04.
Menurunnya
IDI pada 2015 disebabkan penurunan dua aspek. Pertama, aspek kebe- basan sipil
yang menurun dari 86,62 menjadi 80,30; aspek lembaga demokrasi dari 75,81
menjadi 66,87. Sementara aspek hak-hak politik naik dari 63,72 menjadi 70,63.
Penting
dicatat, dalam dua aspek IDI 2015 yang menurun dibandingkan 2014, ada beberapa
variabel penting yang memburuk. Di antara variabel yang merosot itu: kebebasan
beragama dan berkeyakinan yang termasuk ke dalam aspek kebebasan sipil;
kemudian peran DPRD dan partai politik yang tercakup dalam aspek lembaga
demokrasi.
Penurunan
IDI tidak mengejutkan. Meski demokrasi Indonesia berkembang relatif stabil
dalam satu setengah dasawarsa terakhir, sejumlah lembaga internasional juga
belum memberi penilaian menyenangkan.
Dalam
perspektif perkembangan demokrasi internasional, terdapat gejala kecende-
rungan menurunnya demokrasi di banyak negara. Berbagai survei dan kajian
bernada pesimis terhadap penguatan demokrasi karena ancaman terorisme,
kemerosotan penghargaan hak-hal sipil, kebangkitan otoritarianisme, dan
kemerosotan ekonomi.
Lihatlah
judul laporan bernada pesimis itu. "The Economist Democracy Index 2015:
Democracy in an Age of Anxiety" (London: 2016) menempatkan demokrasi
Indonesia pada peringkat ke-49 dari 167 negara yang disurvei. Keadaan ini juga
terlihat dalam laporan bernada pesimis "Freedom House, Freedom in the
World 2015: Discarding Democracy, Return to the Iron Fist". Freedom House
mengategorikan Indonesia sebagai hanya partly free, tidak free atau sepenuhnya
"bebas" atau sepenuhnya "demokrasi".
Senada
dengan itu, demokrasi Indonesia menurut The Economist termasuk dalam kategori
flawed democracy (demokrasi cacat), belum kategori full democracy. Indonesia
selamat tidak masuk ke dalam dua kategori lain yang jelas bukan demokrasi,
yaitu hybrid regimes dan authoritarian regimes.
Demokrasi
Indonesia dikategorikan flawed democracy, karena walau telah dapat
menyelenggarakan pemilu bebas, tetapi saat sama mengandung "cacat".
Cacatnya demokrasi Indonesia disebabkan kelemahan tata kelola pemerintahan yang
berkombinasi dengan budaya politik yang masih terbelakang.
Dengan
"cacat" tersebut, tidak heran jika lembaga-lembaga pemantau demokrasi
secara internasional tidak mencatat adanya kemajuan (gain) perkembangan demokrasi
di negeri ini. Karena itu, tepat sekali catatan Tajuk Rencana Kompas (2/8),
demokrasi Indonesia menjadi beku (frozen democracy).
Lebih
jauh, menurut Tajuk Rencana Kompas, demokrasi beku ketika kondisi ekonomi tidak
membaik; pembentukan [penguatan] masyarakat sipil tidak terjadi; konsolidasi
sosial politik tidak kunjung tuntas; dan [berbagai] kasus hukum juga tak
selesai.
Penguatan
kultur politik demokratis jelas adalah agenda yang terabaikan. Proses politik
yang terjadi memang kian demokratis bahkan sebagian orang menyebutnya
"terlalu banyak demokrasi", tetapi budaya politik demokrasi tak
kunjung menguat.
Terbelakangnya
budaya politik demokratis Indonesia terlihat dalam parpol dan lembaga
perwakilan politik semacam DPR pada berbagai levelnya. Budaya parpol bukan kian
demokratis, sebaliknya makin terjerumus ke dalam oligarki keluarga dan
kelompok. Perbedaan dan pertikaian internal bukan diselesaikan secara
demokratis, melainkan sering berujung pada perpecahan dan pembentukan partai
baru.
Keadaan
ini meruyak dan membiak sampai ke DPR dan DPRD. Faksionalisme lebih jauh lagi
mengakibatkan kontestasi politik yang tidak berujung.
Kondisi
tidak kondusif ini kemudian mengimbas pada eksekutif. Pemerintah sejak dari
tingkat nasional dan daerah sering terbentuk dari koalisi parpol yang rentan
friksi dan konflik politik. Akibatnya, pemerintah tidak bisa efektif melaksanakan
program. Tak heran kalau anggaran belanja ngendon di bank dalam jumlah sangat
besar.
Tidak
efektifnya pemerintah juga mengakibatkan lemahnya penegakan hukum. Lembaga dan
aparat hukum sering tidak mampu atau tidak serius mencegah atau menindak orang-orang
atau kelompok warga yang intoleran. Bahkan, polisi sering disebut sebagai
melakukan "pembiaran" terhadap mereka yang melanggar kebebasan
beragama dan berkeyakinan.
Penguatan
budaya politik demokratis jelas tidak mudah dan juga tidak bisa instan, tetapi
bukan tidak bisa diusahakan. Pimpinan parpol dan aktivis politik lain memiliki
kewajiban dan tanggung jawab khusus membangun budaya politik demokratis.
Dalam
jangka panjang, penumbuhan budaya politik demokratis dapat dimulai sejak usia
dini melalui pendidikan lewat mata pelajaran atau mata kuliah terkait
demokrasi. Subyek ini, misalnya, berupa pendidikan kewargaan atau pendidikan
kewarganegaraan atau pendidikan demokrasi. []
KOMPAS, 9
Agustus 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Mantan Anggota Dewan Penasihat International Institute for Democracy and
Electoral Assistance (IDEA) Stockholm dan United Nations Democracy Fund (Undef)
New York.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar