Kemerdekaan Bangsa dan Nasib Petani Indonesia
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Besok pagi Rabu, tanggal 17 Agustus 2016. Hari keramat bagi usia
71 tahun Indonesia merdeka. Selama rentang waktu itu, banyak yang sudah dicapai
oleh bangsa ini, sekalipun dengan mengorbankan lingkungan alam yang sudah
sangat rusak. Kerusakan itu sudah mencapai sekitar 50 persen, sebuah kondisi
yang pasti mengancam masa depan anak cucu kita. Pola pembangunan nasional yang
kapitalistik jelas mengkhianati nilai-nilai luhur Pancasila yang menjadi pemicu
utama bagi kerusakan lingkungan itu. Jumlah kelas menengah yang semakin
membesar berdampingan dengan kesenjangan sosial yang sangat tajam. Petani
Indonesia adalah di antara korban pola pembangunan yang antikeadilan itu.
Sebuah ironi di negara agraris ini.
Di era 1940an/1950-an, di kampung saya, Sumpur Kudus, petani sudah
dianggap kaya jika hasil panennya mencapai sekitar 3.000 gantang gabah atau
sekitar 1.600 liter beras per tahun, sebab musim panen saat itu hanya sekali
setahun. Jika dirupiahkan sekarang menjadi 1.600 x Rp 9.000=Rp 14.400.000.
Angka ini masih dipotong zakat harta 10 persen = Rp 1.440.000. Belum lagi upah
yang harus dikeluarkan untuk penggarapan sawah, katakanlah mencapai Rp
2.960.000. Hasil bersih per tahun hanyalah Rp 10 juta. Untuk mengetahui
penghasilan per bulan, jumlah ini dibagi 12 menjadi Rp 833,333.333 (delapan
ratus tiga puluh tiga ribu tiga ratus tiga puluh tiga rupiah).
Bandingkan dengan gaji PNS terendah sekarang, pasti di atas Rp 2
juta per bulan. Dengan perbandingan ini, tahulah kita bahwa nasib petani di
kampung saya, mungkin tidak berbeda situasinya di seluruh Indonesia, sudah
jatuh ditimpa tangga, karena harga gabah sudah dipatok pemerintah melalui Bulog.
Petani tidak mungkin menentukan harga gabahnya sendiri. Dengan kata lain, desa
yang miskin harus menghidupi kota dengan regulasi harga gabah dari Bulog itu.
Akibatnya sangat fatal, petani tidak mungkin lagi menggantungkan hidupnya
kepada kebaikan sawah, sekalipun bisa dipanen tiga kali setahun. Ujungnya,
tidak sedikit petani yang mengadu nasib di kawasan perkotaan dengan segala
ketidakpastiannya itu. Di Jawa sudah banyak lahan pertanian yang dijual, karena
sama sekali tidak lagi menjanjikan. Mantan pemilik lahan biasanya pergi ke kota
atau menjadi TKI/TKW, atau tidak jarang jatuh menjadi buruh tani dengan
menggarap lahan orang lain dengan lilitan kemiskinan yang semakin parah.
Nasib petani ini tidak pernah cerah sejak bangsa ini merdeka, 71
tahun yang lalu. Tuan dan puan jangan bermimpi untuk menjejerkan petani
Indonesia dengan petani Jepang yang bisa menjadi kaya raya karena negara sangat
peduli dengan nasib mereka melalui berbagai subsidi. Di negeri ini, mendapatkan
pupuk saja tidak jarang setengah mati, harganya pun sering dipermainkan oleh
para tengkulak yang tunamoral. Jeritan para petani ini sudah diteriakkan sejak
puluhan tahun yang lalu oleh para pakar pertanian, wartawan, dan mereka yang
menuntut keadilan, tetapi telinga penguasa masih saja terkunci. Pemerintah
JKW/JK pun sudah berbicara tentang swasembada pangan, tetapi tetap saja
perhatian terhadap pertanian tidak pernah sungguh-sungguh. UUPA (Undang-undang
Pokok Agraria) No. 5/1960 sudah berusia 56 tahun, pelaksanaannya tidak terwujud
sampai hari, sementara konflik agraria sudah merebak di berbagai kawasan.
Kamadjaja Lie, pengusaha yang akrab dengan petani tebu, pada 23
September 2014 melukiskan nasib para petani ini: “Mereka sudah kerja keras
banting tulang setahun penuh, begitu panen yang ada utangnya bertumpuk. Makanya
mereka akan berpikir mencari pekerjaan lain. Buat apa capek-capek banting
tulang.” Krtitik keras senada ini dapat dibaca di berbagai media, tetapi belum
bisa menembus perhatian pemerintah. Kamadjaja sangat prihatin dengan kondisi
para petani: “Selain daya saing rendah, hasil pertanian mereka juga terus
dihantam produk-produk impor dengan harga murah. Karena itu, menjadi sulit bagi
para petani untuk mengakhiri keterpurukan.”
Demikian itulah gambaran kasar tentang nasib petani Indonesia,
mungkin belum pernah membaik sejak zaman VOC. Akankah situasi buruk ini
berlanjut terus setelah kita merayakan hari kemerdekaan yang ke-71? Semoga bagi
kaum tani, negara merdeka ini bukan sebagai perpanjangan tangan VOC. []
REPUBLIKA, 16 Agustus 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar