Dilema
NIIS di Eropa
Oleh:
Zuhairi Misrawi
Dalam
beberapa bulan terakhir, Negara Islam di Irak dan Suriah telah kehilangan
wilayah kekuasaannya sekitar 25 persen.
Di Irak
dan Suriah, wilayah yang diduduki Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dari
hari ke hari semakin melemah karena gempuran negara-negara adidaya: Amerika,
Eropa, Rusia, dan Iran. Apakah NIIS dan jaringannya benar-benar lumpuh?
Diklaim
lumpuh di Iran dan Suriah, tetapi tidak dengan NIIS di Eropa yang justru
semakin menyeramkan. Mereka melakukan aksi mematikan di Perancis, Belgia, dan
Jerman. Bahkan, mereka berjanji akan melakukan aksi bom bunuh diri lebih besar
di beberapa negara Eropa lainnya.
Sejujurnya,
saat ini kita tak lagi mudah melumpuhkan NIIS. Sebagai organisasi dan jaringan,
NIIS sudah mengglobal. NIIS tak lagi mengendalikan kekuasaannya di Irak dan
Suriah sebagai basis utamanya. Mereka menjelma sebagai kekuatan virtual yang
solid dan tak mudah disentuh. Pengikut NIIS bisa jadi tetangga kita atau bahkan
berada di dalam rumah kita.
Secara
faktual, kekuasaan NIIS di Irak dan Suriah, cepat atau lambat, akan kian tergerus.
Namun, perlu dicatat, serangan mematikan NIIS di dua negara itu tak pernah
surut. Hampir saban hari NIIS melancarkan serangan bom bunuh diri yang sangat
mematikan. Bahkan, selain di Irak dan Suriah, NIIS juga kian memperluas
cengkeraman kekuasaannya di Libya. NIIS kian serius menggarap Turki, Banglades,
dan Arab Saudi.
"Berdiaspora"
International
Centre for the Study of Radicalisation and Political Violence (ICSR, 2015)
merilis data jumlah para ekstremis asal Eropa yang ikut serta dalam konflik di
Irak dan Suriah dan bergabung dengan NIIS, antara lain: Norwegia 17 orang,
Finlandia (70), Swedia (180), Denmark (150), Belanda (250), Irlandia (30),
Inggris (600), Belgia (440), Jerman (600), Perancis (1.200), Austria (150),
Italia (80), Spanyol (100), Swiss (40), Serbia (70), Turki (600), dan Albania
(90).
Menurut
The Soufan Group, 20-30 persen dari mereka sudah kembali ke Eropa dan dapat
menjadi ancaman serius bagi keamanan. Mereka tiap saat bisa melakukan serangan
yang mematikan, seperti yang terjadi di Perancis dan Belgia.
Menurut
Muhammad Abou El Fadl (2016), ada tujuh dilema besar yang mesti dijawab dengan
serius jika kita benar-benar ingin melumpuhkan NIIS hingga ke akar-akarnya.
Pertama, problem NIIS tidak hanya terkait dengan mereka yang berasal dari Timur
Tengah, tetapi juga terkait dengan kelompok ekstremis yang lahir dan tumbuh di
Barat. Kita tahu, ada sekitar 5.000 pasukan NIIS yang berasal dari
negara-negara Barat.
Mereka
bergabung dengan NIIS karena kecewa pada kebijakan luar negeri Barat terhadap
Timteng. Mereka bersimpati kepada NIIS sebagai solidaritas terhadap spirit
perlawanan NIIS kepada AS dan sekutunya. Maka, melumpuhkan NIIS bukan dengan
meluluhlantakkan basis NIIS di Suriah dan Irak, tetapi Barat harus mengubah
kebijakan luar negerinya terhadap Timteng. Apa yang dilakukan Barat dengan
mengerahkan seluruh sumber daya militer untuk menyerang basis NIIS tak akan
berarti apa-apa jika mereka tak mengeluarkan kebijakan yang berkeadilan
terhadap Timteng dan dunia Islam.
Kedua,
NIIS bukan lagi jaringan hanya berbasis di Irak, Suriah, dan Libya. NIIS secara
nyata telah membuktikan sebagai jaringan yang eksis di Eropa. Perancis
merupakan negara yang warganya paling banyak bergabung dengan NIIS. Fakta ini
mengejutkan semua pihak karena mereka justru tumbuh di negara yang paling
sekuler. Sekularisme ekstrem ala Perancis justru menjadi pemicu bergabungnya
warga Muslim Perancis ke NIIS.
Oleh
karena itu, negara-negara Eropa mesti serius mengatasi masalah proliferasi
NIIS. Mereka tidak boleh abai dan lengah. Sekularisme Eropa terbukti menjadi
tempat yang nyaman bagi NIIS untuk mengembangkan jaringannya dan merekrut
pasukan bom bunuh diri.
Ketiga,
NIIS melalui serangannya yang terus aktif di sejumlah negara dalam satu tahun
terakhir membuktikan mereka masih punya dana yang cukup. Menurut salah satu
sumber, dana yang dikeluarkan NIIS untuk melancarkan bom bunuh diri tahun 2015
sebesar 7 juta euro. Karena itu negara-negara Barat tak cukup dengan menyerang
NIIS saja, juga serius memutus aliran dana yang masuk dan keluar dari NIIS.
Seruan Inggris agar Arab Saudi menyetop bantuan ke NIIS sangat penting. Begitu
halnya dengan dana-dana NIIS dari negara-negara Teluk lain.
Keempat,
NIIS berhasil mengembangkan organisasi dan jaringannya melalui organisasi yang
bergerak dalam isu kemanusiaan. Mereka kerap tak menggunakan bendera NIIS
secara terang-terangan. Dengan bendera kegiatan voluntarisme, NIIS berhasil
menyelipkan ideologi ekstremis kepada warga. Mereka menggunakan bendera kemanusiaan,
tetapi hakikatnya sedang merekrut anggota NIIS.
Kelima,
NIIS berhasil mengapitalisasi isu Israel-Palestina. Isu ini menjadi beban yang
sangat serius karena kerap dijadikan bahan bakar yang mudah untuk menarik
simpati para milisi untuk berperang melawan Barat dan kaki-tangannya di
Timteng. . NIIS menjadikan isu perang melawan Israel bagian dari menarik
simpati kaum muda agar bergabung dengan jaringan NIIS.
Ketakseriusan
AS dan negara- negara Eropa dalam menyelesaikan masalah Israel-Palestina akan
jadi batu sandungan yang serius dalam melumpuhkan ekstremisme dan terorisme.
Alih-alih ingin mewujudkan kemerdekaan Palestina, AS dan negara-negara Eropa
kerap berpihak kepada Israel. Bahkan, mereka menggelontorkan bantuan dana dan
senjata kepada Israel.
Perlu
gerakan bersama
Keenam,
negara-negara Arab dan Barat selama ini terjebak pada kepentingan regional
masing-masing. Perang melawan terorisme cenderung terpecah sesuai peta
geopolitik masing-masing. Konflik Arab Saudi-Iran jadi salah satu masalah serius
yang harus dipecahkan bersama. NIIS cukup cerdik menjadikan isu ini sebagai
cara untuk menarik simpati Arab Saudi, misalnya, bahwa misi NIIS adalah melawan
rezim Iran dan Irak yang mempunyai haluan keagamaan yang sama, khususnya isu
Syiah. NIIS menggunakan isu ini untuk mendapatkan simpati Arab Saudi.
Ketujuh,
NIIS memandang peta geopolitik masih belum akan berubah dalam beberapa tahun ke
depan. Kontestasi antara AS dan Rusia sebagai dua negara adidaya yang saling
bersaing untuk memperkuat pengaruhnya di Timteng akan terus menjadikan kawasan
kaya minyak dan sarat konflik itu tidak akan stabil. Instabilitas politik
tersebut akan menjadi peluang yang empuk bagi NIIS untuk menguasai beberapa
wilayah di Irak, Suriah, dan Libya. Ketiga negara ini saat ini menjadi
pertaruhan kepentingan negara-negara adidaya.
Beberapa
persoalan itu menjadi catatan serius bahwa melumpuhkan NIIS bukan hal yang
mudah. Sebab, isu NIIS sudah masuk pada ranah kepentingan politik regional dan
global. Mengurai tali-temali kepentingan geopolitik harus diutamakan karena di
situlah sebenarnya persoalan yang harus diselesaikan. Melumpuhkan NIIS
diperlukan gerakan bersama, terstruktur, masif, dan serius. Eropa harus serius
menyelesaikan masalah NIIS ini karena nyata-nyata menjadi ancaman serius bagi
Eropa dan seantero dunia. []
KOMPAS,
15 Agustus 2016
Zuhairi Misrawi | Ketua Moderate Muslim Society dan Peneliti Pusat
Kajian Pemikiran dan Politik Timur Tengah, The Middle East Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar