Kamis, 18 Agustus 2016

Zuhairi: Dilema NIIS di Eropa



Dilema NIIS di Eropa
Oleh: Zuhairi Misrawi

Dalam beberapa bulan terakhir, Negara Islam di Irak dan Suriah telah kehilangan wilayah kekuasaannya sekitar 25 persen.

Di Irak dan Suriah, wilayah yang diduduki Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dari hari ke hari semakin melemah karena gempuran negara-negara adidaya: Amerika, Eropa, Rusia, dan Iran. Apakah NIIS dan jaringannya benar-benar lumpuh?

Diklaim lumpuh di Iran dan Suriah, tetapi tidak dengan NIIS di Eropa yang justru semakin menyeramkan. Mereka melakukan aksi mematikan di Perancis, Belgia, dan Jerman. Bahkan, mereka berjanji akan melakukan aksi bom bunuh diri lebih besar di beberapa negara Eropa lainnya.

Sejujurnya, saat ini kita tak lagi mudah melumpuhkan NIIS. Sebagai organisasi dan jaringan, NIIS sudah mengglobal. NIIS tak lagi mengendalikan kekuasaannya di Irak dan Suriah sebagai basis utamanya. Mereka menjelma sebagai kekuatan virtual yang solid dan tak mudah disentuh. Pengikut NIIS bisa jadi tetangga kita atau bahkan berada di dalam rumah kita.

Secara faktual, kekuasaan NIIS di Irak dan Suriah, cepat atau lambat, akan kian tergerus. Namun, perlu dicatat, serangan mematikan NIIS di dua negara itu tak pernah surut. Hampir saban hari NIIS melancarkan serangan bom bunuh diri yang sangat mematikan. Bahkan, selain di Irak dan Suriah, NIIS juga kian memperluas cengkeraman kekuasaannya di Libya. NIIS kian serius menggarap Turki, Banglades, dan Arab Saudi.

"Berdiaspora"

International Centre for the Study of Radicalisation and Political Violence (ICSR, 2015) merilis data jumlah para ekstremis asal Eropa yang ikut serta dalam konflik di Irak dan Suriah dan bergabung dengan NIIS, antara lain: Norwegia 17 orang, Finlandia (70), Swedia (180), Denmark (150), Belanda (250), Irlandia (30), Inggris (600), Belgia (440), Jerman (600), Perancis (1.200), Austria (150), Italia (80), Spanyol (100), Swiss (40), Serbia (70), Turki (600), dan Albania (90).

Menurut The Soufan Group, 20-30 persen dari mereka sudah kembali ke Eropa dan dapat menjadi ancaman serius bagi keamanan. Mereka tiap saat bisa melakukan serangan yang mematikan, seperti yang terjadi di Perancis dan Belgia.

Menurut Muhammad Abou El Fadl (2016), ada tujuh dilema besar yang mesti dijawab dengan serius jika kita benar-benar ingin melumpuhkan NIIS hingga ke akar-akarnya. Pertama, problem NIIS tidak hanya terkait dengan mereka yang berasal dari Timur Tengah, tetapi juga terkait dengan kelompok ekstremis yang lahir dan tumbuh di Barat. Kita tahu, ada sekitar 5.000 pasukan NIIS yang berasal dari negara-negara Barat.

Mereka bergabung dengan NIIS karena kecewa pada kebijakan luar negeri Barat terhadap Timteng. Mereka bersimpati kepada NIIS sebagai solidaritas terhadap spirit perlawanan NIIS kepada AS dan sekutunya. Maka, melumpuhkan NIIS bukan dengan meluluhlantakkan basis NIIS di Suriah dan Irak, tetapi Barat harus mengubah kebijakan luar negerinya terhadap Timteng. Apa yang dilakukan Barat dengan mengerahkan seluruh sumber daya militer untuk menyerang basis NIIS tak akan berarti apa-apa jika mereka tak mengeluarkan kebijakan yang berkeadilan terhadap Timteng dan dunia Islam.

Kedua, NIIS bukan lagi jaringan hanya berbasis di Irak, Suriah, dan Libya. NIIS secara nyata telah membuktikan sebagai jaringan yang eksis di Eropa. Perancis merupakan negara yang warganya paling banyak bergabung dengan NIIS. Fakta ini mengejutkan semua pihak karena mereka justru tumbuh di negara yang paling sekuler. Sekularisme ekstrem ala Perancis justru menjadi pemicu bergabungnya warga Muslim Perancis ke NIIS.

Oleh karena itu, negara-negara Eropa mesti serius mengatasi masalah proliferasi NIIS. Mereka tidak boleh abai dan lengah. Sekularisme Eropa terbukti menjadi tempat yang nyaman bagi NIIS untuk mengembangkan jaringannya dan merekrut pasukan bom bunuh diri.

Ketiga, NIIS melalui serangannya yang terus aktif di sejumlah negara dalam satu tahun terakhir membuktikan mereka masih punya dana yang cukup. Menurut salah satu sumber, dana yang dikeluarkan NIIS untuk melancarkan bom bunuh diri tahun 2015 sebesar 7 juta euro. Karena itu negara-negara Barat tak cukup dengan menyerang NIIS saja, juga serius memutus aliran dana yang masuk dan keluar dari NIIS. Seruan Inggris agar Arab Saudi menyetop bantuan ke NIIS sangat penting. Begitu halnya dengan dana-dana NIIS dari negara-negara Teluk lain.

Keempat, NIIS berhasil mengembangkan organisasi dan jaringannya melalui organisasi yang bergerak dalam isu kemanusiaan. Mereka kerap tak menggunakan bendera NIIS secara terang-terangan. Dengan bendera kegiatan voluntarisme, NIIS berhasil menyelipkan ideologi ekstremis kepada warga. Mereka menggunakan bendera kemanusiaan, tetapi hakikatnya sedang merekrut anggota NIIS.

Kelima, NIIS berhasil mengapitalisasi isu Israel-Palestina. Isu ini menjadi beban yang sangat serius karena kerap dijadikan bahan bakar yang mudah untuk menarik simpati para milisi untuk berperang melawan Barat dan kaki-tangannya di Timteng. . NIIS menjadikan isu perang melawan Israel bagian dari menarik simpati kaum muda agar bergabung dengan jaringan NIIS.

Ketakseriusan AS dan negara- negara Eropa dalam menyelesaikan masalah Israel-Palestina akan jadi batu sandungan yang serius dalam melumpuhkan ekstremisme dan terorisme. Alih-alih ingin mewujudkan kemerdekaan Palestina, AS dan negara-negara Eropa kerap berpihak kepada Israel. Bahkan, mereka menggelontorkan bantuan dana dan senjata kepada Israel.

Perlu gerakan bersama

Keenam, negara-negara Arab dan Barat selama ini terjebak pada kepentingan regional masing-masing. Perang melawan terorisme cenderung terpecah sesuai peta geopolitik masing-masing. Konflik Arab Saudi-Iran jadi salah satu masalah serius yang harus dipecahkan bersama. NIIS cukup cerdik menjadikan isu ini sebagai cara untuk menarik simpati Arab Saudi, misalnya, bahwa misi NIIS adalah melawan rezim Iran dan Irak yang mempunyai haluan keagamaan yang sama, khususnya isu Syiah. NIIS menggunakan isu ini untuk mendapatkan simpati Arab Saudi.

Ketujuh, NIIS memandang peta geopolitik masih belum akan berubah dalam beberapa tahun ke depan. Kontestasi antara AS dan Rusia sebagai dua negara adidaya yang saling bersaing untuk memperkuat pengaruhnya di Timteng akan terus menjadikan kawasan kaya minyak dan sarat konflik itu tidak akan stabil. Instabilitas politik tersebut akan menjadi peluang yang empuk bagi NIIS untuk menguasai beberapa wilayah di Irak, Suriah, dan Libya. Ketiga negara ini saat ini menjadi pertaruhan kepentingan negara-negara adidaya.

Beberapa persoalan itu menjadi catatan serius bahwa melumpuhkan NIIS bukan hal yang mudah. Sebab, isu NIIS sudah masuk pada ranah kepentingan politik regional dan global. Mengurai tali-temali kepentingan geopolitik harus diutamakan karena di situlah sebenarnya persoalan yang harus diselesaikan. Melumpuhkan NIIS diperlukan gerakan bersama, terstruktur, masif, dan serius. Eropa harus serius menyelesaikan masalah NIIS ini karena nyata-nyata menjadi ancaman serius bagi Eropa dan seantero dunia. []

KOMPAS, 15 Agustus 2016
Zuhairi Misrawi | Ketua Moderate Muslim Society dan Peneliti Pusat Kajian Pemikiran dan Politik Timur Tengah, The Middle East Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar