Simpul-Simpul Masyarakat Jin
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Aku sudah menyiksamu dengan menghamparkan kebuntuan, kesulitan,
kemustahilan, beban-beban berat untuk pikiran, bahkan masih kuincar banyak tema
lain untuk melumpuhkan hatimu.
Masih kusiapkan “pekerjaan rumah” tentang mempelajari cinta dan
belajar mencinta, tentang beda antara dunia dengan cakrawala, bagaimana
membangun dunia tidak berbatas tembok tapi berdinding cakrawala, tentang betapa
aku engkau dan siapa saja tidak akan bisa bersembunyi dari waktu.
Engkau hidup di sebuah peradaban dengan budaya komunikasi yang
sangat heboh dan riuh rendah dengan kata dan kata dan kalimat dan kalimat.
Padahal engkau dan semuanya sudah, sedang dan akan semakin punya masalah dengan
setiap kata.
Ada konflik dan pertentangan serius antara pikiranmu dengan setiap
kata. Ada peperangan yang tak pernah engkau sadari dan tak pernah engkau cari
solusinya di dalam hubunganmu dengan setiap kata. Setiap kata. Setiap kata dari
beratus-ratus ribu kata. Setiap kalimat dari beribu-ribu kalimat.
Negaramu semakin hancur oleh satu kata dibantu oleh beberapa kata.
Masyarakatmu ambruk oleh sejumlah kata. Harga dirimu dan semuanya luntur dan
berproses untuk menjadi musnah oleh tidak dipertahankannya sejumlah kata.
Engkau dan kalian semua diperdaya oleh kata, oleh pejabat-pejabat pemerintahan
dan para pengklaim otoritas Negara yang cukup menggunakan sekumpulan kata.
Martabat dan hartamu digerogoti, digangsir, dirongrong, dikikis semakin habis
oleh saudara-saudaramu sendiri yang memperbudak dirinya menjadi petugas-petugas
kata, kalimat, idiom, ungkapan dan aransemen pemahaman.
Engkau dan semua berada di ambang kemusnahan harta tanah air dan
bisa jadi dirimu sendiri dan semuanya. Harta dirampok, martabat diinjak-injak
dan dimakamkan, tinggal tubuh dan nyawa bergentayangan. Nyawapun nanti tak
berguna, tatkala engkau dan semuanya sudah berfungsi penuh sebagai robot-robot,
sebagai budak-budak, pekathik-pekathik, hamba-hamba sahaya yang tuhanmu bukan Tuhan.
Jadi sebaiknya hari ini aku bercerita kepadamu tentang Jin.
***
Beberapa saat engkau mengambil jarak dari dirimu sendiri, dari
Negerimu, dari masyarakatmu, dari seluruh kosmos kehidupan sehari-harimu.
Bahkan mengambil jarak dari keyakinan imanmu yang sudah diubah oleh
muatan-muatannya yang dijejalkan oleh kenyataan-kenyataan dunia yang
mengepungmu.
Senang sekali hatiku malam itu sekumpulan Jin datang bertamu. Baru
pertama kali ini mereka bertandang khusus secara agak resmi. Ada geli-geli dan
lucunya, tapi mengasyikkan dan menimbulkan kegairahan khusus.
Aku tidak jarang bertemu dengan para Jin ini itu, dari berbagai
simpul, area, kelompok, bahkan sekte. Berpapasan di suatu lintasan. Terkadang
bersapaan atau mengobrol barang beberapa kalimat, menanyakan keadaan
masing-masing. Sesekali saling berbagai pengalaman dan data-data.
Sebelum aku teruskan jangan lupa Kitab Suci anutan hidupmu
menyebut manusia selalu belakangan sesudah Jin. “…yang mengipas-ngipas hati
manusia, dari Jin dan manusia….” Bahkan dasar, asal mula dan sangkan-paran
kehidupan manusia ini pun bersama-sama masyarakat Jin terikat oleh batas
pengabdian “…tidak Aku ciptakan Jin dan manusia kecuali untuk mengabdi
kepada-Ku….”
Sesekali luangkan waktu pergi sowanlah kepada Baginda Nabi Rasul
Sulaiman, sambil melirik-lirik museum Kraton beliau yang ketapel Bapak beliau
terdapat di dalamnya. Juga seruling terindah Baginda Daud, yang kalau beliau
meniupnya, maka seluruh makhluk langit dan bumi memberhentikan waktu dan
melapangkan sepi senyap untuk mendengarkan dan menikmatinya.
Sampai-sampai junjunganmu kekasihmu Muhammad saw menyesali kenapa
suara seruling itu mendadak berhenti, tatkala beliau berjalan lewat di sebuah
perkampungan. “Kemana perginya suara seruling kakekku Daud….” Kiranya
cukuplah seandainya kelak sorga hanya berisi tanah dan air dan sawah dan
ladang, asalkan terdengar suara seruling leluhur kita bersama itu.
***
Bertamulah ke rumah istana Baginda Sulaiman, ajak sahabatmu yang
memiliki ilmu dan pengetahuan — yang bukan sebagaimana yang dipahami oleh umum
dan awam — tentang alam, tentang ruang, waktu, gelombang dan zarrah, dari
bongkahan gunung hingga yang paling nano.
Atau kalau sebagaimana aku, engkau merasa tidak pantas untuk
diperkenankan oleh Allah bertatap muka dengan Baginda Raja Diraja itu, maka
cukuplah engkau duduk, jongkok, atau berjalan lalu-lalang di seputar halaman
Istana beliau. Siapa tahu beliau sedang bercengkerama dengan hewan-hewan kecil,
dengan semut dan berbagai serangga.
Atau siapa tahu beliau sedang bermain memperagakan silat
jurus-jurus puncak dengan Garuda, Macan dan Naga. Lihat di sebelah sana Baginda
Sulaiman sedang berbicara khusus kepada Naga yang meringkuk melingkarkan
panjang tubuhnya di hadapan beliau. Entah apa yang beliau katakan kepada Naga
itu sambil bertolak pinggang. Dan lihat itu Baginda kemudian mendatangi Garuda
yang sakit-sakitan, Baginda mengelus-elusnya, memijit-mijit bagian tertentu
dari kaki, cakar dan paruhnya, kemudian meniupkan hawa entah apa ke seluruh
badannya.
Engkau harus lincah dan sanggup pada kilatan waktu yang sama dan
sangat singkat: melihat ke berbagai arah. Kalau perlu ke seluruh arah. Pandang
itu hasil kerja Asif bin Barkhiyah, yang mengalahkan Ifrith pendekar kelas
utama masyarakat Jin. Ifrith memerlukan interval waktu antara Baginda Sulaiman
duduk di kursi singgasana hingga beliau berdiri. Sementara Asif memerlukan
waktu cukup sepersekian sekon lebih singkat dari sekedipan mripat beliau, untuk
memindahkan Istana Ratu Bulqis.
***
Ah, tapi itu sekedar bahan jadul untuk sangu kalau-kalau
diperlukan di tengah perjalananmu. Kau butuh mengembara dengan semangat jiwamu,
tidak berhenti di dunia dan meresmikan dalam pikiranmu bahwa dunia ini hilir
atau terminal akhir dari hidupmu. Engkau butuh berjalan jauh mendekat ke
cakrawala.
Jadi apa hajat sekumpulan Jin itu bertamu? []
Dari CN kepada anak-cucu dan JM
11 Pebruari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar