Kamis, 18 Agustus 2016

(Taushiyah of the Day) Pesan Kemerdekaan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama



Pesan Kemerdekaan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama


Bismillahirrahmanirrahim,
Bangsa Indonesia akan menapaki usia 71 tahun sejek diproklamirkan kemerdekaannya tahun 1945. 17 Agustus dipilih oleh founding fathers bukan tanpa pertimbangan, mereka ingin membangun Indonesia dengan 17 Rakaat sesuai dengan bilangan Shalat sehari semalam.

Hadratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asyari mengatakan “Nasionalisme dan agama bukanlah dua hal yang bertentangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama dan dan keduanya saling menguatkan”. Bung Karno suatu ketika juga mengatakan “Nasionalisme yang sejati, nasionalismenya itu bukan copie atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi nasionalisme timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan”.

Memasuki usia 71 tahun kemerdekaan Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mencatat beberapa catatan reflektif kaiatannya dengan kondisi kebangsaan terkini:

Hari kemrdekaan ini hendaknya harus kita jadikan momentum untuk memperbaiki segala aspek kebangsaan dan ketertinggalan kemajuan dari segi apapun terutama pada aspek kemandiran sebagai sebuah bangsa dan negara.

Perkuat sektor kelautan dan pertanian 

Sebagai negara maritim yang luas dua pertiga wilayahnya berupa lautan sudah menjadi sebuah keharusan untuk lebih meningkakan pendapatan sektor kelautuan. Pembangunan berbasis laut juga harus menjadi landasan pemerintah dalam mengambil setiap keebijakannya. 

Sebagai negara agraris, Pada 2016 target produksi padi di seluruh Indonesia sebanyak 80,29 juta ton. Angka ini naik dari produksi tahun lalu yang mencapai 75,36 juta ton. Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015 merilis data produksi beras Indonesia mencapai 73,17 juta ton. 

Perlu diingat bahwa produksi beras di Indonesia paling banyak dipengaruhi  cuaca. Jika kondisi cuaca tidak stabil sebagaimana yang terjadi saat ini, maka produksi beras akan menurun. Pemerintah harus mulai mengkaji diversifikasi pangan.

Dalam sektor ekonomi peringkat kemudahan berusaha di Indonesia masih tertinggal di kawasan Asia Tenggara (ASEAN). Dalam rilis hasil survei Ease of Doing Business (EoDB), Bank Dunia menempatkan Indonesia di posisi 109 dari 189 negara. Posisi Indonesia kalah telak dibandingkan Singapura yang menduduki peringkat satu, Malaysia 18, Thailand 49, Vietnam 90, dan Filipina 103.

Yang kaya makin kaya, yang miskin semakin merana

Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2016 lalu merilis angka kemiskinan Indonesia penurunan pada September 2015. Pada September 2015 angka kemiskinan sebanyak 28,51 Juta jiwa turun pada Maret 2016 menjadi 28,01 juta jiwa.

Meskipun angka kemiskinan mengalami tren menurun, namun perlu dicatata bahwa kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin semakin tinggi. Indeks kedalaman kemiskinan meningkat dari 1,84 pada semptember 2015 menjadi 1,94 pada Maret 2016. Yang kaya makin kaya, yang miskin semakin merana.

Pada Desember 2015, World Bank melaporkan bahwa 1% orang terkaya Indonesia menguasai sekitar 50,4% aset dan 10% orang terkaya Indonesia menguasai 70,3% total kekayaan di Indonesia. Artinya, pembangunan belum merata dan belum menyentuh rakyat miskin dan kaum papa.

Revitalisasi nasionalisme

Momentum 71 tahun kemerdekaan ini kita dikejutkan dengan sebuah peristiwa yang sangat mengejutkan. Peristiwa penujukan seorang menteri berkewarganegaraan asing sangat menggangu stabilitas politik dan semangat nasionalisme. Berpindah kewargangeraan adalah ujung akhir dari kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Olah karenanya, sebagai wujud serta ejawantah dari semangat nasionalisme dan loyalitas kepada Negara, setiap pejabat negara harus berkewarganegaraan Indonesia. Semangat nasionalisme itulah yang dari dahulu dibangun oleh founding fathers NKRI seperti Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, KH. M Hasyim Asyari, dan A. Wahid Hasyim.
           
Dalam konteks global, sudah saatnya umat Islam Indonesia memberikan contoh kepada dunia bahwa Islam di Indonesia tidak mempertentangkan antara agama dan nasionalisme. Indonesia patut dijadikan sebagai kiblat beragama atau teladan dalam kehidupan beragama dan bernegara. Oleh karena itu nasionalisme harus tetap kita jaga “Man laisa lahu ardl, laisa lahu tarikh. Wa man laisa lahu tarikh, laisa lahu dzakiroh. Barang siapa tidak punya tanah air, tidak akan punya sejarah.

Alakulli hal, jika kehilangan emas, kita bisa membelinya lagi di pasar. Jika kita kehilangan harta benda, tahun depan kita bisa mencari dan mendapatkannya lagi. Tapi jika kehilangan tanah air, akan kemana kita hendak mencari?

Jakarta, 17 Agustus 2016

والله الموفّق إلى أقوم الطّريق
والسّــــــــــــلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ketua Umum PBNU,
Prof Dr KH Said Aqil Siroj, MA

Sekretaris Jenderal PBNU,
Dr Ir HA. Helmy Faishal Zaini

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar