Pesan Kemerdekaan Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama
Bismillahirrahmanirrahim,
Bangsa Indonesia akan menapaki usia 71 tahun
sejek diproklamirkan kemerdekaannya tahun 1945. 17 Agustus dipilih oleh
founding fathers bukan tanpa pertimbangan, mereka ingin membangun Indonesia
dengan 17 Rakaat sesuai dengan bilangan Shalat sehari semalam.
Hadratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asyari
mengatakan “Nasionalisme dan agama bukanlah dua hal yang bertentangan.
Nasionalisme adalah bagian dari agama dan dan keduanya saling menguatkan”. Bung
Karno suatu ketika juga mengatakan “Nasionalisme yang sejati, nasionalismenya
itu bukan copie atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi nasionalisme
timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan”.
Memasuki usia 71 tahun kemerdekaan Indonesia,
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mencatat beberapa catatan reflektif kaiatannya
dengan kondisi kebangsaan terkini:
Hari kemrdekaan ini hendaknya harus kita
jadikan momentum untuk memperbaiki segala aspek kebangsaan dan ketertinggalan
kemajuan dari segi apapun terutama pada aspek kemandiran sebagai sebuah bangsa
dan negara.
Perkuat sektor kelautan dan pertanian
Sebagai negara maritim yang luas dua pertiga
wilayahnya berupa lautan sudah menjadi sebuah keharusan untuk lebih meningkakan
pendapatan sektor kelautuan. Pembangunan berbasis laut juga harus menjadi
landasan pemerintah dalam mengambil setiap keebijakannya.
Sebagai negara agraris, Pada 2016 target
produksi padi di seluruh Indonesia sebanyak 80,29 juta ton. Angka ini naik dari
produksi tahun lalu yang mencapai 75,36 juta ton. Badan Pusat Statistik (BPS)
pada tahun 2015 merilis data produksi beras Indonesia mencapai 73,17 juta
ton.
Perlu diingat bahwa produksi beras di
Indonesia paling banyak dipengaruhi cuaca. Jika kondisi cuaca tidak
stabil sebagaimana yang terjadi saat ini, maka produksi beras akan menurun.
Pemerintah harus mulai mengkaji diversifikasi pangan.
Dalam sektor ekonomi peringkat kemudahan
berusaha di Indonesia masih tertinggal di kawasan Asia Tenggara (ASEAN). Dalam
rilis hasil survei Ease of Doing Business (EoDB), Bank Dunia menempatkan
Indonesia di posisi 109 dari 189 negara. Posisi Indonesia kalah telak
dibandingkan Singapura yang menduduki peringkat satu, Malaysia 18, Thailand 49,
Vietnam 90, dan Filipina 103.
Yang kaya makin kaya, yang miskin semakin
merana
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2016
lalu merilis angka kemiskinan Indonesia penurunan pada September 2015. Pada
September 2015 angka kemiskinan sebanyak 28,51 Juta jiwa turun pada Maret 2016
menjadi 28,01 juta jiwa.
Meskipun angka kemiskinan mengalami tren
menurun, namun perlu dicatata bahwa kesenjangan pengeluaran masing-masing
penduduk miskin semakin tinggi. Indeks kedalaman kemiskinan meningkat dari 1,84
pada semptember 2015 menjadi 1,94 pada Maret 2016. Yang kaya makin kaya, yang
miskin semakin merana.
Pada Desember 2015, World Bank melaporkan
bahwa 1% orang terkaya Indonesia menguasai sekitar 50,4% aset dan 10% orang
terkaya Indonesia menguasai 70,3% total kekayaan di Indonesia. Artinya,
pembangunan belum merata dan belum menyentuh rakyat miskin dan kaum papa.
Revitalisasi nasionalisme
Momentum 71 tahun kemerdekaan ini kita
dikejutkan dengan sebuah peristiwa yang sangat mengejutkan. Peristiwa penujukan
seorang menteri berkewarganegaraan asing sangat menggangu stabilitas politik
dan semangat nasionalisme. Berpindah kewargangeraan adalah ujung akhir dari
kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Olah karenanya, sebagai
wujud serta ejawantah dari semangat nasionalisme dan loyalitas kepada Negara,
setiap pejabat negara harus berkewarganegaraan Indonesia. Semangat nasionalisme
itulah yang dari dahulu dibangun oleh founding fathers NKRI seperti Ir.
Soekarno, Mohammad Hatta, KH. M Hasyim Asyari, dan A. Wahid Hasyim.
Dalam konteks global, sudah saatnya umat
Islam Indonesia memberikan contoh kepada dunia bahwa Islam di Indonesia tidak
mempertentangkan antara agama dan nasionalisme. Indonesia patut dijadikan
sebagai kiblat beragama atau teladan dalam kehidupan beragama dan bernegara.
Oleh karena itu nasionalisme harus tetap kita jaga “Man laisa lahu ardl,
laisa lahu tarikh. Wa man laisa lahu tarikh, laisa lahu dzakiroh. Barang
siapa tidak punya tanah air, tidak akan punya sejarah.
Alakulli hal, jika kehilangan emas,
kita bisa membelinya lagi di pasar. Jika kita kehilangan harta benda, tahun
depan kita bisa mencari dan mendapatkannya lagi. Tapi jika kehilangan tanah
air, akan kemana kita hendak mencari?
Jakarta, 17 Agustus 2016
والله
الموفّق إلى أقوم الطّريق
والسّــــــــــــلام
عليكم ورحمة الله وبركاته
Ketua Umum PBNU,
Prof Dr KH Said Aqil Siroj, MA
Sekretaris Jenderal PBNU,
Dr Ir HA. Helmy Faishal Zaini
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar