Isu
Kritikal Dunia Muslim; What to Do?
Oleh:
Azyumardi Azra
Menghadapi
tantangan terkait isu kritikal dalam bidang politik, ekonomi, agama dan
sosial-budaya, apa yang bisa dilakukan pemimpin, pemikir dan aktivis Muslim?
Apakah ada jalan keluar dari berbagai kemelut yang dihadapi?
Seperti
diajarkan Islam (misalnya QS Yusuf 87; al-Mukmin 60; al-Baqarah 186), setiap
Muslim mesti memiliki harapan (raja'). Tetapi harapan saja tidak cukup.
Alquran
juga mengajarkan tentang perlunya upaya sungguh-sungguh untuk mengubah keadaan;
"Allah SWT tidak akan mengubah [keadaan] suatu umat sampai mereka sendiri
[berusaha] mengubah diri sendiri" (QS al-Ra'd 11).
Perubahan
pertama mestilah menyangkut politik. Hampir tidak mungkin terjadi perubahan
dalam bidang kehidupan lain,jika kondisi politik tetap tidak kondusif seperti
sekarang.
Untuk
itu, perlu adanya sistem politik yang lebih mungkin memberikan ruang bagi tumbuhnya
stabilitas politik, kohesi sosial dan pembangunan. Dalam konteks itu, sistem
politik lebih prospektif untuk membangun stabilitas politik dan kohesi sosial
adalah demokrasi.
Dengan
prinsip, karakter dan praksisnya, demokrasi menjadi sistem politik yang lebih
bisa bertahan (viable). Demokrasi jelas tidak seratus persen sempurna; ada
kelemahan tertentu.
Tetapi
jika dibandingkan dengan otorianisme (militer atau sipil) atau teokrasi, jelas
demokrasi lebih bisa mengakomodasi aspirasi warga yang kian beragam. Keragaman
itu tidak hanya dalam bidang politik, sosial, budaya dan ekonomi, tetapi juga
dalam hal agama, baik internal satu agama maupun antar agama.
Di tengah
kemajuan komunikasi-informasi instan melalui media sosial,
misalnya-otoritarisme dan teokrasi bukan sistem politik viable. Sebaliknya
merupakan sistem dan praktek politik yang rawan (vulnerable).
Karena
itu lazimnya dipertahankan penguasa otoriter dengan cara apapun-termasuk
pembungkaman, represi, kekerasan dan bahkan state
terrorism.
Dalam
pada itu para warga juga mesti menerima dan aktif mengembangkan sistem politik
demokrasi. Pandangan dan persepsi idealistik, romantic dan utopianistik
misalnya menyangkut dawlah Islamiyah (negara Islam) dan/atau khilafah
(kekhalifahan) sudah waktunya ditingggalkan.
Permasalahan
kian kompleks baik di lingkungan internal masyarakat Muslim maupun di bagian
dunia lebih luas, tidak lagi bisa diselesaikan dengan persepsi politik romantik
dan utopianistik. Perlu perubahan cara pandang melihat sistem politik yang
workable dan viable bagi warga Muslim sebagai bagian integral masyarakat
internasional secarakeseluruhan.
Dalam
kaitan itu, masyarakat Muslim secara keseluruhan harus pula menumbuhkan dan
memberdayakan masyarakat madani atau masyarakat sipil (civil society). Usaha ini
jelas tidak mudah karena banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim tidak lagi
memiliki civil society.
Kenyataan
ini berakar dari represi yang dilakukan rejim-rejim otoritarianisme terhadap
masyarakat madani sejak masa pasca-Perang Dunia II sampai sekarang .
Eksistensi
masyarakat madani yang dinamis dan bergairah sangat penting untuk menyemaikan
dan menumbuhkan 'budaya keadaban' (civic
culture), yang krusial untuk pembentukan 'keadaban publik' (civility).
Jelas
civic culture dan civility sangat instrumental guna mendukung pertumbuhan
budaya demokrasi. Dengan adopsi demokrasi oleh negara dan warga yang telah
memiliki civic culture dan civility, berbagai masalah menjadi lebih mungkin
dapat diselesaikan secara damai.
Dengan
begitu, lingkaran setan kekerasan yang terjadi seolah tanpa ujung (unbroken vicious circles)
dapat dihentikan. Keadaan ini sangat penting untuk membereskan 'rumah tangga'
negara-negara Muslim. Jelas hanya dengan cara damai, pemerintah dan warga
Muslim dapat membereskan 'rumah tangga' mereka (to put their house in order).
Gejolak,
krisis dan nestapa kaum Muslim di banyak negara selama ini sering disebabkan
kegagalan membereskan 'rumah' masing-masing. Pertengkaran dan kekerasan yang
terus menerus terjadi memberikan kesempatan dan celah bagi kekuatan asing untuk
mencampuri urusan internal Muslim-menambah rumit keadaan, sehingga menjadi
sangat sulit diselesaikan.
Jika
berbagai agenda internal ini bisa dilakukan, barulah kemudian terbuka peluang
dan kesempatan memperbaiki kehidupan para warga lewat pembangunan ekonomi,
sosial dan budaya. Pembangunan jelas tidak mungkin bisa terlaksana dengan baik
dan sukses jika kondisi internal negara-negara Muslim selalu dipenuhi konflik
dan kekerasan.
Pembangunan
dalam berbagai bidang kehidupan terkait satu sama lain-dan karena itu harus
dijalankan secara simultan. Jelas hanya dengan pertumbuhan ekonomi yang
disertai pemerataan dan keadilan dapat dilakukan pembangunan sosial-budaya,
khususnya pendidikan.
Hanya
dengan peningkatan pendidikan, pembangunan ekonomi dapat berkelanjutan guna
mewujudkan kesejahteraan guna menggapai baldatun
thayyibatun wa rabbun ghafur. []
REPUBLIKA,
16 Agustus 2016
Azyumardi
Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan
Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar