Mempelajari Cinta Dan Belajar Mencintai
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Setengah mati engkau membanting tulang mencari nafkah untuk
keluargamu. Mulia sudah engkau di hadapan Tuhanmu. Jadi kenapa engkau datang
kepadaku?
Yang ada padaku hanya cinta.
Engkau bilang bahwa engkau mencari dan menunggu solusi atas
masalah-masalah. Mu’min sudah engkau ini. Hamba Tuhan yang memperjuangkan
keamanan. Keamanan diri dan keluargamu dari masalah-masalah. Dan kelak kau
perjuangkan juga keamanan ummatmu, masyarakat dan bangsamu, keamanan dari
kemiskinan, keamanan dari kehancuran martabat, keamanan dari batas kemerdekaan
di hadapan Tuhan.
Tapi kenapa engkau datang kepadaku? Yang tergeletak di meja tamuku
tidak hanya cinta, tetapi lebih abstrak dan bikin pecah kepala: cinta sejati.
Tentu saja itu terlalu muluk. Engkau mendambakan penyelesaian
praktis, aku hanya mampu siapkan siksaan.
Itupun dilematis. Kalau engkau sebut ‘cinta’ saja, itu sudah
terlalu dipersempit, dibiaskan, disalahsangkakan, terlalu dipasti-pastikan atau
dipadat-padatkan, atau sebaliknya ia terlampau dimitologisasikan,
dikhayal-khayalkan, didramatisir atau dilebai-lebaikan, berujung di perkawinan
tahayul, perceraian LGBT.
Sedemikian rupa sehingga kalau engkau coba mengkritisinya,
membenahinya, mengukur jarak antara denotasi dengan konotasinya, hasilnya tidak
lain kecuali menambah pembiasannya, bahkan melahirkan kemungkinan-kemungkinan
salah sangka baru, yang memecah belah hati antara manusia.
***
Sementara ketika setengah terpaksa aku pakai istilah yang agak
mewah, yakni cinta sejati, aku meyakini engkau akan menemukan ia lebih
memerdekakan penafsiran dan penghayatan.
Daripada engkau menggenggam dunia tanpa cakrawala, kelak engkau
akan tahu bahwa yang lebih nyata adalah meraih cakrawala meskipun tak
mendapatkan dunia.
Akal yang paling minimalpun mengerti atau sekurang-kurangnya
memiliki naluri untuk peka bahwa sudah pasti dunia ini akan meninggalkanmu dan
engkau sendiri pasti meninggalkannya. Untuk pergi atau pindah ke mana?
Ke suatu wilayah yang untuk sementara kita sebut cakrawala.
Sekurang-kurangnya ia terbiarkan abstrak, tidak mudah
diterap-terapkan, tidak gampang dipakai-pakai. Ia lebih cenderung dekat ke
‘tiada’, dan saya lebih memilih itu, daripada terlanjur mengambil ‘nyata’ yang
ternyata belum pernah benar-benar nyata.
Lebih serasa hidup dengan ‘tidak’ yang benar-benar ‘tidak’,
daripada ‘ya’ tetapi pada hakikinya tidak ‘ya’. Ibarat orang dalam Agama, saya
memilih posisi “la ilaha”, posisi tidak atau belum menemukan (ada dan
berperan-Nya) Tuhan, daripada terlalu bermantap-mantap “illallah” padahal pada
kenyataannya ternyata bukan Tuhan yang disembah, sehingga masih dan tetap
sanggup membenci, menyakiti atau bahkan membunuh sesama manusia.
***
Terkadang aku terdorong untuk menjelaskan cinta sejati itu
misalnya melalu pembedaan sangat mendasar antara ‘cinta’ dengan ‘mencintai’.
Cinta itu suatu keadaan di dalam jiwa manusia. Suatu situasi yang
bergulung-gulung di batas kedalaman jiwamu. Sedangkan mencintai adalah
keputusan social. Mencintai adalah perilaku, langkah perbuatan kepada yang
bukan dirimu. Bentuknya tidak lagi seperti yang ada di dalam dirimu. Ia sebuah
dinamika aplikasi keluar diri, bisa berupa benda, barang, jasa, pertolongan,
kemurahan, dan apapun sebagaimana peristiwa sosial di antara sesame manusia.
Engkau bisa mencintai meskipun tanpa cinta. Karena perbuatan
mencintai bisa engkau ambil energinya dari nilai-nilai sosialitas yang
bermacam-macam. Bisa kasih sayang kemanusiaan, bisa kenikmatan bebrayan, bisa
toleransi, empati, simpati, partisipasi dan apapun. Atau engkau ambil landasan
dari Tuhan: aku tetap mencintainya, menjalankan kebaikan kepadanya, meskipun di
dalam dirimu sudah tak tersisa rasa cinta yang eksklusif kepadanya.
***
Engkau bisa memasuki kedalaman makna cinta dan mencintai dengan berpindah-pindah
pintu untuk memasukinya. Engkau bisa menyelami lubuk-lucuk cinta dan mencintai
dengan merangsang terbukanya berbagai pori-pori nilai untuk engkau buka dan
masuki.
Cinta itu suatu potensi, suatu keadaan, sebuah situasi batin,
mungkin berujud ruang yang membutuhkan waktu, atau bisa jadi ia terasa sebagai
energi atau teralami sebagai semacam frekwensi. Seluruh kemungkinan itu
terletak di dalam diri manusia, ia ada dalam kesunyian dirinya, ia belum fakta
bagi selain dirinya.
Adapun ‘mencintai’ adalah sikap sosial. Keputusan dari dalam diri
ke luar diri dan untuk yang bukan dirinya sendiri. Apabila ‘cinta’ diaplikasi
menjadi tindakan ‘mencintai’, maka begitu ia mensosial: wujudnya, bentuknya,
formulanya, prosedurnya, nada dan iramanya, sudah ‘bukan’ cinta itu sendiri.
Sang cinta ada di balik itu semua.
Mencintai itu wajahnya seakan tak ada hubungannya dengan cinta,
karena ia bisa berupa kerja keras membanting tulang di pasar dan jalanan untuk
keluarga. Ia bisa berujud kepengasuhan dalam keluarga, kepemimpinan dalam
bermasyarakat, kearifan mengurusi kesejahteraan rakyat.
Bahkan bisa berwujud undang-undang, kreativitas teknologi, serta
apapun saja yang dikenal oleh manusia sehari-hari tanpa mereka pernah menyadari
bahwa itu semua bersumber dari keputusan dan tindakan mencintai.
***
Ada kalanya suatu masalah diselesaikan tidak dengan berhadapan
dengan masalah itu. Bisa juga dengan berpindah konsentrasi, memikirkan atau
melakukan sesuatu yang lain sama sekali dan tak ada kaitannya dengan masalah
itu.
Semakin engkau berkenalan dengan sifat-sifat kehidupan yang hampir
tak terbatas keluasannya dan tak terukur kedalamannya, semakin engkau lincah
dan kreatif untuk tidak berhenti mengurung diri atau dikurung oleh ruang sempit
masalah yang sedang merundungmu.
Nanti, di tengah-tengah istirahat dari gegap gempita perjuangan
duniamu, di tengah riuh rendah peperangan melawan masalah-masalahmu, engkau
duduk bahkan tergeletak dengan nafas terengah-engah.
Tiba-tiba, semoga, engkau di sapa oleh ‘cinta ilahiyah’, ia
tiba-tiba saja hadir seakan sebuah sosok yang terbaring di sisimu. Ia
menerbangkanmu dari dunia yang hampir bikin pecah kepalamu. Engkau dibawa
menyelam ke lubuk ‘uluhiyah’ atau melebar meluas ke semesta ‘rububiyah’, di
mana segala fakta pemuaian, pertumbuhan, harmoni, pernikahan-pernikahan pada
inti universalitasnya, dan apapun saja yang merupakan indikator persatuan,
penyatuan, kebersatuan, kemenyatuan, manunggal, nyawiji, dan apapun saja
kumpulan huruf-huruf yang dibangun dan disusun untuk nilai dan makna — datang
mendaftarkan diri mereka masing-masing, satu persatu dan bersama-sama, kepada
ilmu dan pengetahuanmu. []
Dari CN kepada anak-cucu dan JM
12 Pebruari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar