”Main-main
Jadi Bukan Main”
Oleh
Budiarto Shambazy
Kata
”prerogatif” mengandung makna mendalam, yakni ”privilese eksekutif yang
dimiliki seseorang”. Hak prerogatif seorang presiden sangat menonjol pada saat
ia mengganti menteri-menterinya tanpa harus direcoki oleh siapa pun.
Bapak-bapak
pendiri bangsa, termasuk Bung Karno, dengan sadar ingin meniru sistem
presidensial yang kuat seperti di Amerika Serikat (AS) dengan peranan dominan
kepala negara. Ambisi Bung Karno itu akhirnya tercapai saat ia mengumumkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membuka jalan untuk Demokrasi Terpimpin.
Entah
sudah berapa kali Bung Karno merombak ”kabinet karja/karya” pada periode
Demokrasi Terpimpin.
Beberapa
bulan sebelum pecahnya Gerakan 30 September, Bung Karno cuma butuh sekitar 20
menit untuk mengganti dua menteri. Itu pun bukan dia yang memberitahukan kepada
dua menteri bersangkutan, tetapi Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad
Yani yang kala itu dianggap salah satu ”putra mahkota” Bung Karno.
Jika Pak
Harto mengumumkan perombakan, kondisi politik relatif tenang sebagaimana
pembawaan dia sebagai presiden. Pak Harto selalu menyempatkan diri bertemu
empat mata dengan menteri yang dia ganti untuk mengucapkan terima kasih.
Sistem
presidensial yang kuat membutuhkan kepemimpinan yang kuat pula seperti yang
terjadi pada masa pemerintahan Bung Karno dan Pak Harto. Setelah Reformasi,
yang berlaku sistem campuran ”presidenter-parlemensial” (kalau parlemen merasa
sial, presiden gemetar).
Oleh
sebab itu, kabinet sejak era Reformasi ibaratnya berlaku seperti lembaga
kemanusiaan PBB yang ”bagi-bagi susu” untuk rakyat miskin di mancanegara.
Perombakan kabinet menjadi seperti ajang bagi-bagi kekuasaan partai-partai bisa
mengumpulkan dana politik.
Kini
fenomena itu terjadi lagi. Padahal, Joko Widodo (seperti halnya Susilo Bambang
Yudhoyono) presiden pilihan rakyat yang mestinya mendengarkan aspirasi rakyat
ketimbang partai.
Di banyak
negara, perombakan kabinet peristiwa biasa yang diumumkan sekilas saja karena
kurang memiliki nilai berita, kecuali melibatkan skandal korupsi atau seksual.
Tapi, perombakan kabinet di Indonesia selalu gaduh, menegangkan, dan dramatis
layaknya sinetron/telenovela.
Faktanya,
perombakan kabinet jilid 2 sudah dirancang sejak Maret-April 2016. Namun,
Presiden Joko Widodo menghabiskan waktu sampai akhir Juli untuk memutuskan
perombakan.
Sejak
dilantik Oktober 2014, Presiden sudah dua kali merombak kabinet. Ini sesuai
dengan janji kampanye Joko Widodo yang berulang-ulang mengatakan akan
mengevaluasi secara rutin kinerja tiap menteri satu kali dalam satu tahun.
Dibutuhkan
waktu cukup lama untuk mencapai kompromi politik dengan partai-partai
pendukung, donatur-donatur kampanye, tokoh-tokoh yang berjasa, bahkan para
relawan. Kali ini dua partai eks Koalisi Merah Putih, Partai Golkar dan Partai
Amanat Nasional (PAN) ikut kebagian masing-masing satu menteri.
Maka
muncul kesan perombakan kabinet kali ini lebih untuk menggalang konsensus
nasional baru dengan kehadiran Partai Golkar dan PAN.
Ada juga
kesan dalam perombakan kabinet kali ini menteri-menteri dari kalangan
profesional dikorbankan. Padahal, sejak awal Presiden telah bertekat membentuk
kabinet yang ”ramping dan profesional”. Tak sedikit publik yang terkejut dengan
pemberhentian Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Menteri ESDM Sudirman Said,
dan Mendikbud Anies Baswedan.
Namun,
entah mengapa, ketiga menteri baru langsung disorot karena pernyataan dan
peristiwa tak terduga. Mendikbud Muhadjir Effendy menimbulkan pro dan kontra
dengan pernyataan full day school. Terminal 3 yang diresmikan setelah Budi
Karya jadi menteri Perhubungan, ternyata belum siap pakai 100 persen, seperti
pernah dikatakan Jonan.
Semua
terkejut saat menteri ESDM yang baru, Arcandra Tahar, ternyata punya dua
kewarganegaraan, Indonesia dan AS. Ini kekeliruan fatal dan memalukan yang tak
pernah terjadi di sejarah kita, bahkan mungkin sejarah dunia.
Arcandra
memang lalu diberhentikan secara terhormat setelah menempati posisinya selama
20 hari saja. Namun, anehnya, sampai detik ini tak satu pun pejabat yang
berwenang yang minta maaf kepada rakyat Indonesia seolah kekeliruan fatal dan
memalukan itu hal yang lumrah saja.
Arcandra
pun tak pernah mengomentari dengan jelas apa yang telah terjadi pada dirinya.
Lebih aneh lagi, sempat muncul wacana perubahan undang-undang tentang
dwi-kewarganegaraan seperti ingin mengakomodasi kepentingan sesaat dengan
mengorbankan kepentingan yang jauh lebih besar.
Saya
bukan ingin mengatakan pemerintah terkesan main-main dengan soal yang sangat
serius ini. Akan tetapi, seperti kata judul buku tentang trio komedian Warkop
DKI, ”Main-main Jadi Bukan Main”.
Jangan
”main-main” dengan rakyat, misalnya dengan mengimbau kita segera ikut amnesti
pajak dengan ancaman tebusan seolah-olah kita berbuat dosa. Rakyat akan
menjawab dengan ”bukan main” karena yang mengimbau saja belum tentu mau ikut
secara sukarela, kok rakyat diimbau ikut amnesti pajak? []
KOMPAS,
27 Agustus 2016
Budiarto Shambazy | Wartawan Senior KOMPAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar