Selasa, 30 Agustus 2016

Shambazy: ”Main-main Jadi Bukan Main”



”Main-main Jadi Bukan Main”
Oleh Budiarto Shambazy

Kata ”prerogatif” mengandung makna mendalam, yakni ”privilese eksekutif yang dimiliki seseorang”. Hak prerogatif seorang presiden sangat menonjol pada saat ia mengganti menteri-menterinya tanpa harus direcoki oleh siapa pun.

Bapak-bapak pendiri bangsa, termasuk Bung Karno, dengan sadar ingin meniru sistem presidensial yang kuat seperti di Amerika Serikat (AS) dengan peranan dominan kepala negara. Ambisi Bung Karno itu akhirnya tercapai saat ia mengumumkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membuka jalan untuk Demokrasi Terpimpin.

Entah sudah berapa kali Bung Karno merombak ”kabinet karja/karya” pada periode Demokrasi Terpimpin.

Beberapa bulan sebelum pecahnya Gerakan 30 September, Bung Karno cuma butuh sekitar 20 menit untuk mengganti dua menteri. Itu pun bukan dia yang memberitahukan kepada dua menteri bersangkutan, tetapi Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani yang kala itu dianggap salah satu ”putra mahkota” Bung Karno.

Jika Pak Harto mengumumkan perombakan, kondisi politik relatif tenang sebagaimana pembawaan dia sebagai presiden. Pak Harto selalu menyempatkan diri bertemu empat mata dengan menteri yang dia ganti untuk mengucapkan terima kasih.

Sistem presidensial yang kuat membutuhkan kepemimpinan yang kuat pula seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Bung Karno dan Pak Harto. Setelah Reformasi, yang berlaku sistem campuran ”presidenter-parlemensial” (kalau parlemen merasa sial, presiden gemetar).

Oleh sebab itu, kabinet sejak era Reformasi ibaratnya berlaku seperti lembaga kemanusiaan PBB yang ”bagi-bagi susu” untuk rakyat miskin di mancanegara. Perombakan kabinet menjadi seperti ajang bagi-bagi kekuasaan partai-partai bisa mengumpulkan dana politik.

Kini fenomena itu terjadi lagi. Padahal, Joko Widodo (seperti halnya Susilo Bambang Yudhoyono) presiden pilihan rakyat yang mestinya mendengarkan aspirasi rakyat ketimbang partai.

Di banyak negara, perombakan kabinet peristiwa biasa yang diumumkan sekilas saja karena kurang memiliki nilai berita, kecuali melibatkan skandal korupsi atau seksual. Tapi, perombakan kabinet di Indonesia selalu gaduh, menegangkan, dan dramatis layaknya sinetron/telenovela.

Faktanya, perombakan kabinet jilid 2 sudah dirancang sejak Maret-April 2016. Namun, Presiden Joko Widodo menghabiskan waktu sampai akhir Juli untuk memutuskan perombakan.

Sejak dilantik Oktober 2014, Presiden sudah dua kali merombak kabinet. Ini sesuai dengan janji kampanye Joko Widodo yang berulang-ulang mengatakan akan mengevaluasi secara rutin kinerja tiap menteri satu kali dalam satu tahun.

Dibutuhkan waktu cukup lama untuk mencapai kompromi politik dengan partai-partai pendukung, donatur-donatur kampanye, tokoh-tokoh yang berjasa, bahkan para relawan. Kali ini dua partai eks Koalisi Merah Putih, Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) ikut kebagian masing-masing satu menteri.

Maka muncul kesan perombakan kabinet kali ini lebih untuk menggalang konsensus nasional baru dengan kehadiran Partai Golkar dan PAN.

Ada juga kesan dalam perombakan kabinet kali ini menteri-menteri dari kalangan profesional dikorbankan. Padahal, sejak awal Presiden telah bertekat membentuk kabinet yang ”ramping dan profesional”. Tak sedikit publik yang terkejut dengan pemberhentian Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Menteri ESDM Sudirman Said, dan Mendikbud Anies Baswedan.

Namun, entah mengapa, ketiga menteri baru langsung disorot karena pernyataan dan peristiwa tak terduga. Mendikbud Muhadjir Effendy menimbulkan pro dan kontra dengan pernyataan full day school. Terminal 3 yang diresmikan setelah Budi Karya jadi menteri Perhubungan, ternyata belum siap pakai 100 persen, seperti pernah dikatakan Jonan.

Semua terkejut saat menteri ESDM yang baru, Arcandra Tahar, ternyata punya dua kewarganegaraan, Indonesia dan AS. Ini kekeliruan fatal dan memalukan yang tak pernah terjadi di sejarah kita, bahkan mungkin sejarah dunia.

Arcandra memang lalu diberhentikan secara terhormat setelah menempati posisinya selama 20 hari saja. Namun, anehnya, sampai detik ini tak satu pun pejabat yang berwenang yang minta maaf kepada rakyat Indonesia seolah kekeliruan fatal dan memalukan itu hal yang lumrah saja.

Arcandra pun tak pernah mengomentari dengan jelas apa yang telah terjadi pada dirinya. Lebih aneh lagi, sempat muncul wacana perubahan undang-undang tentang dwi-kewarganegaraan seperti ingin mengakomodasi kepentingan sesaat dengan mengorbankan kepentingan yang jauh lebih besar.

Saya bukan ingin mengatakan pemerintah terkesan main-main dengan soal yang sangat serius ini. Akan tetapi, seperti kata judul buku tentang trio komedian Warkop DKI, ”Main-main Jadi Bukan Main”.

Jangan ”main-main” dengan rakyat, misalnya dengan mengimbau kita segera ikut amnesti pajak dengan ancaman tebusan seolah-olah kita berbuat dosa. Rakyat akan menjawab dengan ”bukan main” karena yang mengimbau saja belum tentu mau ikut secara sukarela, kok rakyat diimbau ikut amnesti pajak? []

KOMPAS, 27 Agustus 2016
Budiarto Shambazy | Wartawan Senior KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar