Kehancuran Tanpa Ralat
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Bagaimana kalau engkau naik motor bersama istri dan dua anak
kecilmu, motormu diserempet mobil. Motormu rusak di atas 50%. Istrimu luka agak
parah. Anak bayimu gegar otak ringan. Kakaknya Alhamdulillah tidak terkena
suatu apa.
Mobil yang menyerempetmu itu dikendarai oleh anak petinggi negara.
Karena menyerempet motormu, mobil itu tak bisa dikendalikan sehingga menabrak
pohon. Salah seorang penumpangnya meninggal dunia. Beberapa yang lainnya luka
ringan. Kecuali sopirnya yang sakit parah dalam dadanya karena terbentur setir.
Polisi yang bertugas akhirnya tahu punya siapa mobil itu. Juga
tahu bahwa yang meninggal adalah salah seorang putra pejabat negara itu. Ini
peristiwa serius. Tidak ada manusia siapapun di muka bumi ini yang mau
kehilangan anggota keluarganya. Apalagi karena kecelakaan. Itu mengubah secara
sangat mendasar dan hampir total susunan pikiran, atmosfir batin dan struktur
kesadaran siapapun yang mengalaminya.
Maka kemudian dalam proses penanganan hukum kecelakaan itu, harus
engkau yang disalahkan. Segala pemutarbalikan dan manipulasi fakta berlangsung
dan terasa sebagai perjuangan kebenaran, demi membela anak yang mati.
Subyektivisme dan kepentingan sepihak menjadi alur utama proses hingga ke
pengadilan.
***
Engkau tidak punya saksi kecuali pernyataanmu sendiri tentang yang
engkau alami. Tak seorang pun yang ketika itu berada di tempat kejadian
bersedia terlibat bersaksi. Karena berbagai macam sebab: tidak mau terlibat
kasus hukum. Tidak mau menjadi saksi yang jujur tapi nanti oleh kekuasaan
aparat hukum dan pengadilan malah dituduh memberikan kesaksian palsu.
Serta berbagai sebab dan latar belakang yang lain: trauma terhadap
budaya hukum negara kita. Tidak mau habis waktu untuk terseret proses hukum.
Sedangkan untuk cari nafkah sehari-hari saja sudah membuat hatinya hampir pecah
dan pikirannya buntu.
Bagi khalayak ramai, peristiwa kecelakaan semacam itu tidak ada
urgensinya untuk dipelihara dalam ingatan. Begitu kegaduhan di jalanan itu
berlalu, mereka pelan-pelan atau bahkan langsung melupakannya. Jangankan
serempetan antara mobil dengan motor. Meskipun ada ratusan bom, walaupun ada
uang trilyunan dicuri oleh Pemegang Amanah Rakyat, biarpun ada Pembesar Negara omong
besar dan janji besar kemudian bohong besar dan ingkar besar, pun sudah tidak
menjadi ingatan utama masyarakat.
Publik sudah selalu melupakan segala sesuatu yang sangat besar,
bahkan yang ajaib, yang dalam segala teori ilmu, pengetahuan dan pengalaman
sejarah: mustahil dilupakan. Keajaiban sudah beralih ke wilayah lupa itu
sendiri. Rakyat negeri ini lupa secara ajaib, acuh tak acuh secara ajaib, salah
sasaran menyembah secara ajaib, salah tembak kutukan secara ajaib.
Sepanjang sejarah sejak Nabi Adam ada dua mesin manusia: akal
sehat dan akal tidak sehat. Di abad terbaru ini ada mesin canggih ketiga: yakni
akal ajaib. Sedemikian ajaibnya akal bangsa terutama negeri ini sampai-sampai
yang tertinggal hanyalah keajaiban, sedang akalnya hilang.
Dominasi keajaiban dan hegemoni lupa serta hampir sirnanya logika
dan kesadaran membuat rakyat, masyarakat, publik, kelompok, bahkan per manusia,
membuat mereka sama sekali tidak bisa membedakan lagi mana hak mana kewajiban.
Mana atas mana bawah. Mana kiri mana kanan. Mana baik mana buruk. Mana benar
mana salah. Mana mulia mana hina. Mana malu mana bangga.
Bahkan sudah menjadi sangat samar-samar perbedaan antara Tuhan,
Satria Piningit, Imam Mahdi, Ratu Adil, Preman, Boneka dan Robot. Sudah
direlakan secara akal pikiran maupun kejiwaan bahwa seorang budak dilantik
sebagai Nabi. Seorang badut dilantik sebagai Rasul. Seorang Kumprung dinobatkan
sebagai Dewa. Seorang Pekatik dijunjung sebagai Raja.
***
Dan engkau, sehabis peristiwa serempetan itu, meringkuk dalam
kesengsaraan hidup, tanpa ada batas kapan kira-kira ujungnya.
Engkau didenda, atau dihukum kurungan. Motormu tak tercover karena
kau tak punya biaya. Pekerjaanmu terbengkalai. Keluargamu ambruk. Istri dan
anak-anakmu bekerja dan hidup darurat. Ada di antara familimu bersimpati dan
sedikit-sedikit menolongmu. Tapi sebagian besar dari saudara-saudara sedarahmu
menghindar dari kewajiban untuk menolong. Atau karena mereka sendiri tak kalah
susah dan repotnya dengan hidup mereka masing-masing.
Peran-peran sosialmu di masyarakat jadi mandeg. Di takmir Masjid.
Di Paguyuban itu. Sejumlah fungsi keorganisasian jadi macet. Nama baikmu
terbelah. Sebagian teman-teman, tetangga-tetangga dan masyarakat umum
bersimpati kepadamu. Tetapi tak kurang di antara mereka yang turut
menyalahkanmu, menegasi eksistensimu, bahkan mensinisimu dan membuangmu dari
peta hati dan kesadaran mereka.
Posisimu yang terpuruk dalam kehidupan dunia, yang hanya satu kali
ini, tidak pernah dilihat, diperhatikan, apalagi direspon atau dibela oleh
siapapun. Kehancuran tak diralat oleh bangunan nilai kehidupan ummat manusia,
meskipun di Negara Hukum. Sampai usiamu tua, sampai dipanggil Tuhan ke rumah
aslimu, sejarah dan ingatan masyarakat tetap mencatatmu sebagai orang yang
bersalah dan cacat hukum.
Dan mereka yang melalimimu, yang mencampakkanmu sekeluarga ke
lembah yang gelap, dicatat oleh sejarah sebagai figur yang sebaliknya. Mereka
orang menang. Mereka orang yang sukses. Mereka orang yang kaya dan sejahtera.
Sekian bersaudara ada yang menjadi pejabat negara, ada yang menjadi tokoh
cendekiawan, ada yang menjadi ustadz, ada yang menjadi pengusaha kaya raya.
Pengusaha kaya raya ini pada suatu hari mengeluarkan biaya untuk merenovasi
masjid tempatmu dulu menjadi anggota takmirnya, menjadi masjid baru yang lebih
besar dan jauh lebih megah.
Dan salah satu anakmu menjadi muadzdzin di masjid itu. Anakmu yang
lain menjadi karyawan di perusahaan si kaya raya itu.
Apa katamu? Bagaimana bunyi orasi pikiranmu dan nyanyian di
hatimu?
Engkau sukses atau gagal? Engkau kalah atau menang?
Apa itu sukses? Apa itu menang?
Kalau engkau sukses, nikmatilah sukses. Kalau engkau menang,
kenyamlah menang. Kalau engkau gagal dan kalah, siapa yang menolongmu?
Tuhan. Tuhan pasti menolong setiap hamba-Nya yang berposisi akhlak
untuk ditolong. Tapi kapan? Bagaimana bentuknya? Seberapa interval waktunya?
Sama atau tidak dengan bentuk atau wujud yang kau bayangkan tentang kemenangan
dan kesuksesan? []
Dari CN kepada anak-cucu dan JM
Yogyakarta 9 Pebruari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar