Selasa, 09 Agustus 2016

Shambazy: Tahan Napas Dulu



Tahan Napas Dulu
Oleh: Budiarto Shambazy

Mari kita kilas balik hari-hari menjelang pendaftaran Pilgub DKI 2012. Partai Demokrat (PD), yang sebelumnya mengajak Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) berkoalisi mengusung Fauzi Bowo- Adang Ruchiatna, akhirnya mendaftarkan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, 19 Maret 2012 malam, beberapa jam sebelum pendaftaran ditutup.

Keputusan itu diambil setelah PDI-P mendaftarkan kadernya, Joko Widodo, berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama yang diajukan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), sore hari 19 Maret 2012 itu. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang sebelumnya diperkirakan berkoalisi dengan PD mengusung Fauzi Bowo-Triwisaksana, pada detik-detik terakhir mendaftarkan Hidayat Nur Wahid-Didik Rachbini.

Dari enam pasang peserta Pilgub 2012, dua pasang menempuh jalur perseorangan: Faisal Basri-Biem Benjamin dan Hendardji Soepandji-Riza Patria. Untuk Pilgub DKI 2017 ini tidak ada cagub/cawagub dari jalur perseorangan, sebuah bukti bahwa apa yang disebut dengan "deparpolisasi" tidak pernah terjadi.

Suka atau tidak, partai-partailah yang akan berperan dalam Pilgub 2017 di ibu kota yang strategis ini. Rupanya ada kecenderungan partai-partai menganggap jauh lebih baik pendaftaran ditunggu sampai detik-detik terakhir daripada terburu-buru mengumumkan.

Tentu saja ada sebagian dari Anda warga Jakarta yang sudah kehilangan gairah setelah Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama membatalkan rencana pencalonan lewat perseorangan. Dukungan sejuta KTP oleh warga Ibu Kota yang bosan dengan politicking partai-partai akhirnya kecewa setelah Basuki "balik badan".

Namun, perlu diingatkan lagi, mungkin Basuki benar karena pilihan jalur perseorangan mengandung risiko berat ketika dia harus berhadapan dengan partai-partai di legislatif jika kelak terpilih kembali. Masih lebih baik Basuki menjadi calon yang diusung partai yang memiliki ideologi, organisasi, AD/ART, program, pertanggungjawaban berkala, dan seterusnya.

Fakta sejarah juga memperlihatkan, sejak jalur perseorangan disahkan Mahkamah Konstitusi hampir 10 tahun silam, jumlah kepala daerah independen yang terpilih bisa dihitung dengan jari. Kasus kegagalan calon perseorangan terakhir dialami Bupati Garut Aceng Fikri yang dimakzulkan DPRD 1 Februari 2013.

Jika kepala daerah dari partai membuat blunder, apalagi kesalahan konstitusional, warga masih bisa melancarkan protes ke partai bersangkutan. Jika itu terjadi di daerah yang dipimpin kepala daerah independen, partai-partai juga yang ikut repot turun tangan lewat mekanisme politik di legislatif untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Suka atau tidak, Basuki telah memilih "jalan partai". Berkat prestasi yang dianggap cukup mumpuni, popularitas Basuki melambung tinggi dan membuatnya akan terpilih untuk periode 2017-2022.

Ingar-bingar Pilgub DKI selama berbulan- bulan belum memperlihatkan persaingan yang sengit antarcalon, tetapi lebih pada persoalan "siapa yang mampu mengalahkan Basuki" Ini gejala normal pada pemilihan kepala daerah periode kedua jika petahana dianggap berhasil pada periode sebelumnya.

Terserah kepada Basuki mau masuk partai lagi, tinggal pilih salah satu dari tiga partai pendukung dia: Partai Golkar, Partai Nasdem atau Partai Hanura. Toh kita sudah tahu dia masuk golongan "kutu loncat" yang pernah pindah partai tiga kali dari Partai Indonesia Baru (PIB), Partai Golkar, dan terakhir Gerindra. Di lain pihak, sebagian kalangan internal PDI-P mendorong Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dicalonkan untuk menyaingi Basuki.

Kelebihan yang dimiliki Basuki, ia sudah cukup lama menjalin hubungan politik yang akrab dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Walau dicalonkan Gerindra sebagai cawagub mendampingi Joko Widodo (PDI-P) pada Pilgub DKI 2012, hubungan dia dengan partai yang dipimpin Prabowo Subianto itu tidak harmonis lagi menjelang Pilpres 2014.

Setelah terpilih sebagai duet gubernur-wakil gubernur, Jokowi-Basuki menjadi "anak emas" Megawati. Pada akhir 2013 terjadi dua kali acara khusus yang melibatkan mereka: pertama "diplomasi Bakmi Belitung" di rumah Megawati 8 Desember dan kedua kunjungan Megawati bernatalan ke rumah Basuki, 25 Desember.

Ketika Joko Widodo terpilih jadi Presiden, Basuki otomatis menjadi gubernur didampingi kader PDI-P, Djarot Saiful Hidayat. Sementara hubungan politik Basuki dengan Megawati akrab, terlihat secara simbolis saat dielu-elukan pada Rakernas PDI-P pada 9-11 Januari 2016; waktu Megawati memberikan tumpeng ulang tahun dirinya untuk Basuki pada 23 Januari 2016; dan saat Megawati menyerahkan buku Megawati dalam Catatan Wartawan: Menangis dan Tertawa Bersama Rakyat, 23 Maret silam.

Pendek kata, narasi Pilgub DKI masih berkisar pada drama hubungan antara Megawati dan Basuki. Masih ingat Megawati baru hari-hari terakhir memutuskan mendukung Joko Widodo sebagai cagub DKI dan juga capres?

Anda warga Jakarta harap menahan napas dulu karena ingar-bingar Pilgub DKI masih taraf spekulasi semua. Tampaknya kepastian partai-partai yang akan berkoalisi atau menentukan calon, baru ketahuan pada dua hari tahap pendaftaran 19-21 September 2016. []

KOMPAS, 6 Agustus 2016
Budiarto Shambazy | Wartawan Senior KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar