Tahan
Napas Dulu
Oleh:
Budiarto Shambazy
Mari kita
kilas balik hari-hari menjelang pendaftaran Pilgub DKI 2012. Partai Demokrat
(PD), yang sebelumnya mengajak Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
berkoalisi mengusung Fauzi Bowo- Adang Ruchiatna, akhirnya mendaftarkan Fauzi
Bowo-Nachrowi Ramli, 19 Maret 2012 malam, beberapa jam sebelum pendaftaran
ditutup.
Keputusan
itu diambil setelah PDI-P mendaftarkan kadernya, Joko Widodo, berpasangan
dengan Basuki Tjahaja Purnama yang diajukan Partai Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra), sore hari 19 Maret 2012 itu. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang
sebelumnya diperkirakan berkoalisi dengan PD mengusung Fauzi Bowo-Triwisaksana,
pada detik-detik terakhir mendaftarkan Hidayat Nur Wahid-Didik Rachbini.
Dari enam
pasang peserta Pilgub 2012, dua pasang menempuh jalur perseorangan: Faisal
Basri-Biem Benjamin dan Hendardji Soepandji-Riza Patria. Untuk Pilgub DKI 2017
ini tidak ada cagub/cawagub dari jalur perseorangan, sebuah bukti bahwa apa
yang disebut dengan "deparpolisasi" tidak pernah terjadi.
Suka atau
tidak, partai-partailah yang akan berperan dalam Pilgub 2017 di ibu kota yang
strategis ini. Rupanya ada kecenderungan partai-partai menganggap jauh lebih
baik pendaftaran ditunggu sampai detik-detik terakhir daripada terburu-buru
mengumumkan.
Tentu
saja ada sebagian dari Anda warga Jakarta yang sudah kehilangan gairah setelah
Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama membatalkan rencana pencalonan lewat
perseorangan. Dukungan sejuta KTP oleh warga Ibu Kota yang bosan dengan
politicking partai-partai akhirnya kecewa setelah Basuki "balik
badan".
Namun,
perlu diingatkan lagi, mungkin Basuki benar karena pilihan jalur perseorangan
mengandung risiko berat ketika dia harus berhadapan dengan partai-partai di
legislatif jika kelak terpilih kembali. Masih lebih baik Basuki menjadi calon
yang diusung partai yang memiliki ideologi, organisasi, AD/ART, program, pertanggungjawaban
berkala, dan seterusnya.
Fakta
sejarah juga memperlihatkan, sejak jalur perseorangan disahkan Mahkamah
Konstitusi hampir 10 tahun silam, jumlah kepala daerah independen yang terpilih
bisa dihitung dengan jari. Kasus kegagalan calon perseorangan terakhir dialami
Bupati Garut Aceng Fikri yang dimakzulkan DPRD 1 Februari 2013.
Jika
kepala daerah dari partai membuat blunder, apalagi kesalahan konstitusional,
warga masih bisa melancarkan protes ke partai bersangkutan. Jika itu terjadi di
daerah yang dipimpin kepala daerah independen, partai-partai juga yang ikut
repot turun tangan lewat mekanisme politik di legislatif untuk menyalurkan
aspirasi rakyat. Suka atau tidak, Basuki telah memilih "jalan
partai". Berkat prestasi yang dianggap cukup mumpuni, popularitas Basuki
melambung tinggi dan membuatnya akan terpilih untuk periode 2017-2022.
Ingar-bingar
Pilgub DKI selama berbulan- bulan belum memperlihatkan persaingan yang sengit
antarcalon, tetapi lebih pada persoalan "siapa yang mampu mengalahkan
Basuki" Ini gejala normal pada pemilihan kepala daerah periode kedua jika
petahana dianggap berhasil pada periode sebelumnya.
Terserah
kepada Basuki mau masuk partai lagi, tinggal pilih salah satu dari tiga partai
pendukung dia: Partai Golkar, Partai Nasdem atau Partai Hanura. Toh kita sudah
tahu dia masuk golongan "kutu loncat" yang pernah pindah partai tiga
kali dari Partai Indonesia Baru (PIB), Partai Golkar, dan terakhir Gerindra. Di
lain pihak, sebagian kalangan internal PDI-P mendorong Wali Kota Surabaya Tri
Rismaharini dicalonkan untuk menyaingi Basuki.
Kelebihan
yang dimiliki Basuki, ia sudah cukup lama menjalin hubungan politik yang akrab
dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Walau dicalonkan Gerindra
sebagai cawagub mendampingi Joko Widodo (PDI-P) pada Pilgub DKI 2012, hubungan
dia dengan partai yang dipimpin Prabowo Subianto itu tidak harmonis lagi
menjelang Pilpres 2014.
Setelah
terpilih sebagai duet gubernur-wakil gubernur, Jokowi-Basuki menjadi "anak
emas" Megawati. Pada akhir 2013 terjadi dua kali acara khusus yang
melibatkan mereka: pertama "diplomasi Bakmi Belitung" di rumah
Megawati 8 Desember dan kedua kunjungan Megawati bernatalan ke rumah Basuki, 25
Desember.
Ketika
Joko Widodo terpilih jadi Presiden, Basuki otomatis menjadi gubernur didampingi
kader PDI-P, Djarot Saiful Hidayat. Sementara hubungan politik Basuki dengan
Megawati akrab, terlihat secara simbolis saat dielu-elukan pada Rakernas PDI-P
pada 9-11 Januari 2016; waktu Megawati memberikan tumpeng ulang tahun dirinya
untuk Basuki pada 23 Januari 2016; dan saat Megawati menyerahkan buku Megawati
dalam Catatan Wartawan: Menangis dan Tertawa Bersama Rakyat, 23 Maret silam.
Pendek
kata, narasi Pilgub DKI masih berkisar pada drama hubungan antara Megawati dan
Basuki. Masih ingat Megawati baru hari-hari terakhir memutuskan mendukung Joko
Widodo sebagai cagub DKI dan juga capres?
Anda
warga Jakarta harap menahan napas dulu karena ingar-bingar Pilgub DKI masih
taraf spekulasi semua. Tampaknya kepastian partai-partai yang akan berkoalisi
atau menentukan calon, baru ketahuan pada dua hari tahap pendaftaran 19-21
September 2016. []
KOMPAS, 6
Agustus 2016
Budiarto Shambazy | Wartawan Senior KOMPAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar