Perjuangan Tanpa
Pamrih dari Para Guru Ngaji (1)
Judul
: Mendidik Tanpa Pamrih: Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam (Jilid 1)
Editor
: Abi S Nugroho, Hamzah Sahal
Penerbit
: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI
Tebal
: 364 halaman
Cetakan
: I, Desember 2014
Peresensi :
Fathoni Ahmad, Pengajar di STAINU Jakarta.
Pendidikan bukan soal
kelas. Pendidikan juga bukan soal materi dan tetek bengeknya. Tetapi pendidikan
merupakan jalan bagi para generasi muda dalam menatap masa depan. Artinya,
pendidikan para generasi muda tidak boleh terhenti hanya karena alasan tak ada
biaya, tak ada kelas, hal-hal teknis lainnya.
Dengan cara pandang
bahwa pendidikan harus tetap dijalankan untuk menggelorakan energi masa depan
anak bangsa, tak sedikit di negeri ini yang rela tanpa diberi fasilitas negara
tetapi teguh dalam mendidik para muridnya. Terutama para guru ngaji dan guru
madrasah di berbagai pelosok di Indonesia seperti kisah para pejuang pendidikan
Islam dalam tajuk mendidik tanpa pamrih yang diurai secara apik dalam buku yang
diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI ini.
Di buku jilid 1
setebal 364 halaman ini diceritakan, para pejuang pendidikan Islam yang aktif memberikan
pendidikan agama kepada kelompok-kelompok tertentu, bahkan di tempat prostitusi
sekalipun seperti yang dilakukan oleh Ajengan Mamad (halaman 91). Di sebuah
gang yang sangat populer di negeri ini bernama Saritem, Ajengan Mamad sejak
2003 ada di tengah-tengah kawasan bisnis ‘perlendiran’ tersebut. Pas di samping
kawasan tersebut, Mamad mendirikan sebuah pesantren bernama Darun Ni’mah. Lewat
Gerakan Moralnya (Germo), ia tak henti-hentinya mengajak masyarakat untuk
memperbaiki akhlak.
Berbeda dengan
Ajengan Mamad, Rohmawati (halaman 153), guru ngaji kelahiran Banten, 20
Desember 1982 ini tetap teguh membina pengajian ibu-ibu di tengah krisis dan
kemiskinan. Namun demikian, hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi ibu tiga
anak ini. Perjuangan membangun pendidikan Islam berbasis majlis taklim ini tak
mudah bagi Rohmawati. Mulai dari membangun tempat ngaji sendiri di tempat Kiai
Dimyati, tokoh kampung kemudian pindah di rumahnya sendiri yang pernah terjadi
musibah kebakaran hingga melalap semua isi rumah termasuk kitab-kitab materi
ngaji.
Rohmawati yang tak
lulus sekolah dasar (SD) ini mengajar fikih, tauhid, dan hadits kepada ibu-ibu
majlis taklim. Setelah terjadi musibah tersebut, ia kembali ke tempat semula.
Adapun operasional pengajian tak jarang diambil dari kantong pribadi jika
iuaran dari para jamaah tidak mencukupi untuk membayar listrik, dan lain-lain.
Dengan kondisi yang tidak ringan ini, Rohmawati tetap teguh membina masyarakat
di kampungnya untuk tetap ngaji sehingga ruh spiritualitas tidak lepas di
tengah kehidupan warga yang serba kekurangan secara materi.
Lain Ajengan dan
Rohmawati, lain pula dengan Nur Husin (halaman 17), satu-satunya guru ngaji di
Dusun Kwangenrejo, Desa Leran, Kecamatan Kalitidu yang berjarak belasan
kilometer dari Kota Bojonegoro, Jawa Timur. Kawasan di mana Nur Husin ini lebih
populer disebut “Kampung Kristen” daripada nama administratifnya. Ia tak kenal
lelah mengajar ngaji di kampung kristennya. Karena sebelum mengajar ngaji, ia
setiap hari berjualan es keliling dan mencari kayu bakar.
Perjuangan Nur Husin
tidak mudah. Ia mendirikan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) ketika ia sendiri
belum bisa sepenuhnya mandiri. Dengan pendapatan seadanya untuk kebutuhan
keluarganya, tak jarang Husin juga harus menanggung sendiri kebutuhan
santri-santri di TPQ-nya. Semngat Husin untuk menetap dan mengajar ngaji di
Kwangenrejo sempat patah arang. Karena tidak kerasan, Husin membawa anak dan
istrinya ke kampung halaman orang tuanya di Kepohbaru. Namun di luar dugaan,
belum lama ia pindah, rombongan satu mobil warga muslim Kwangenrejo datang ke
Kepohbaru dan memintanya kembali. “Kami butuh sampean. Siapa lagi yang mengajar
ngaji kalau bukan sampean?” ujar rombongan tersebut.
Tiga kisah dari
perjuangan para guru ngaji tersebut merupakan gambaran dari 29 sembilan pejuang
pendidikan Islam lain yang dijelaskan dalam buku ini. Secara umum, buku ini
mengulas perjuangan para guru pendidikan Islam dalam berbagai indikator.
Indikator tersebut dapat dipilah yaitu, guru ngaji yang menginspirasi meski
dalam kondisi kekurangan ekonomi. Selain itu, para guru tersebut juga tetap
berjuang meneguhkan pendidikan Islam di kawasan rawan sekalipun. Buku ini juga
menjelaskan para guru ngaji dan madrasah yang selalu menjadi pelopor di tengah
krisisnya pendidikan agama di kampungnya masing-masing.
Di dalam buku, secara
khusus Kementerian Agama RI yang memfasilitasi gagasan untuk mempublikasikan
peran para guru agama di berbagai pelosok daerah, yaitu agar para guru tersebut
mendapat perhatian pemerintah secara luas. Bahwa mereka tetap berjuang mendidik
anak bangsa dan menyiapkan generasi emas nan berkualitas meski tanpa berbagai
tunjangan layaknya banyak guru di luar sana. Mereka tidak mau terhimpit
keribetan birokrasi, untuk mengurus sertifikasi, dan lain-lain. Mereka bukannya
tidak berharap kesejahteraan sebagai seorang guru. Tetapi birokrasi dalam
sertifikasi menjadikan profesi guru menjadi komersil sehingga mendidik pun
tanpa ruh yang akan menghasilkan generasi tak berakhlak.
Dalam buku ini,
pembaca juga akan dibawa ke dalam perjuangan kultural yang dilakukan oleh para
guru agama. Melalui pendidikan, mereka mampu menjaga kearifan lokal (local
wisdom) di tengah modernisasi pendidikan yang cenderung komersil. Mereka tetap
teguh menjaga akhlak generasi muda dengan tetap mengaji dan sekolah di madrasah.
Di dalam pendidikan agama tersebut, mereka juga menjaga tradisi sehingga
identitas sebagai bangsa tidak tercerabut di tengah gempuran globalisasi yang
semakin mengglobal. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar