KHAZANAH ULAMA NUSANTARA DI TIMUR TENGAH
John L Burckhardt dan Kisah Orang Nusantara
di Mekkah Awal Abad Ke-19 M
Buku berjudul Travels in Arabia karangan
John Ludwig Burckhardt terbit di London tahun 1829. Buku ini merekam catatan
yang kaya akan data dan informasi terkait komunitas orang-orang Nusantara di
tanah suci Mekkah-Madinah pada masa awal abad ke-19 M.
Burckhardt (1784—1817) adalah seorang
orientalis Inggris asal Swiss yang berhasil menyusup masuk ke tanah suci
Mekkah-Madinah (Haramayn) setelah terlebih dahulu melakukan penyamaran yang
sukses; mengganti nama menjadi Haji Ibrahim ibn Abdullah, beridentitas seorang
Muslim dari Albania, mengenakan pakaian khas Timur Tengah dengan jubah, surban,
dan janggut yang menjuntai, dan utamanya kecakapan dalam menguasai bahasa Arab
yang nyaris sempurna.
Sebelum mengembarai Hijaz (Haramayn),
Burckhardt telah lebih dahulu menjelajahi negeri-negeri Timur Tengah lainnya
yang pada masa itu berada di bawah kontrol kekuasaan Turki-Ottoman, seperti
Aleppo, Suriah, Jerusalem, Petra (Burckhardt-lah yang dicatat oleh sejarah
sebagai sosok yang menemukan kembali kota puba di tengah gugusan tebing sahara
ini), Sinai, Mesir, Nubia, dan Sudan. Ia pun menuliskan pengalaman
pengembaraannya itu dalam buku catatan perjalanan yang luar biasa; Travels
in Syria and the Holy Land, kemudian Travels in Nubia, dan Arabic
Proverbs, or the Manners and Customs of the Modern Egyptians.
Burckhardt berada di Haramayn pada tahun 1814
M. Ia pun merekam beberapa peristiwa penting yang terjadi di Haramayn pada
waktu itu, seperti peristiwa pemberontakan golongan Wahabi yang membangkang
terhadap pemerintahan Turki-Ottoman, penumpasan atas gerakan tersebut yang
dilakukan oleh Ibrahim Pasha dan pasukannya, putera Muhammad Ali Pasha yang
merupakan seorang veli (gubernur) Turki-Ottoman untuk elayet
(wilayah) Mesir. Atas peristiwa ini, Burckhardt menulis Notes on the
Bedouins and Wahabys.
Setelah selesai melaksanakan “faraidh” ibadah
haji, Burckhardt pun ikut serta bersama arak-arakan besar kafilah lainnya
menuju Madinah guna menziarahi pesarean dan masjid Nabi Muhammad. Nah, saat
itulah Burckhardt bergabung bersama rombongan kecil jemaah haji asal
Melayu-Nusantara di dalam arak-arakan kafilah besar itu.
Jarak yang jauh antara Mekkah dan Madinah
(sekitar 490 KM) ditempuh dengan berjalan kaki dan naik unta. Tak ada yang
berjalan sendiri atau dalam rombongan kecil. Semua Jemaah berangkat secara
serentak bersama arak-arakan besar kafilah perjalanan yang jumlahnya bisa
ratusan orang. Hal ini untuk meringankan beban perjalanan yang penuh resiko dan
bahaya, utamanya ancaman para penyamun dan perompak bengis orang-orang Beduin
yang datang kapan saja.
Burckhardt menulis:
“Hari ini aku telah menjalin sebuah hubungan
yang lebih akrab dengan teman-teman seperjalananku. Dalam sebuah kafilah
perjalanan yang kecil, setiap orang dipaksa untuk dapat berjalan beriringan
bersama rombongannya, tidak terpisah darinya. Para rombongan itu adalah
orang-orang Melayu, atau sebagaimana disebut di Arab sini dengan sebutan
'Jawi'”.
Selain mereka yang berasal dari pesisir
Semenanjung (Malaka), mereka juga ada yang berasal dari Sumatra, Jawa, dan
pesisir Malabar. Semuanya adalah (jajahan) Inggris. Orang-orang Melayu pergi
rutin berhaji dengan ditemani istri mereka. Sebagian besar mereka ada yang
memilih tinggal di Mekkah Mukarramah dalam tempo beberapa tahun lamanya untuk
belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu syari’at.
Orang-orang Jawi ini di Haramayn terkenal
sebagai orang-orang yang taat beragama, disiplin dalam menuntut ilmu, atau
minimal disiplin dalam menjalankan ritual agama Islam mereka. Sedikit dari
mereka yang mampu berbicara bahasa Arab dengan sempurna, namun semua dari
mereka membaca Al-Qur’an, dan sangat bersemangat untuk mempelajarinya meskipun
dalam perjalanan.
Mereka menutupi biaya perjalanan dengan
menjual kayu (al-Alûh Haits?) yang berkualitas tinggi dan dibawa dari
negeri mereka, kerap juga disebut (Mâwardî). Harga satu pound timbangannya
adalah tiga sampai empat dolar di negeri asal mereka, dan dijual di Mekkah
dengan harga dua puluh sampai dua puluh lima dolar.
Baju mereka yang longgar, rahang mereka yang
menonjol, perawakan mereka yang pendek dan kekar, dan gigi mereka yang
bertumpuk menjadi ciri khas tersendiri bagi pengidentitasan tipikal orang-orang
Jawi. Para perempuan Melayu memakai baju kurung, namun tidak semuannya memakai
khimar, juga selendang dari kain sutera yang tersulam, buatan Cina.
Tampaknya mereka adalah bangsa yang memiliki
adat yang kukuh, berimbang, berkarakter tenang, namun terkadang juga
pelit. Sepanjang perjalanan mereka makan nasi dan ikan asin. Mereka
menanak nasi dengan air tanpa diberi tambahan zibdah (minyak samin). Zibdah
adalah bahan pakan yang sangat mahal harganya di Haramayn namun mereka
sangat menyukainya. Sebagian orang Jawi ada yang datang ke pelayanku meminta zibdah
untuk ditambahkan ke periuk nasi mereka. Meskipun mereka memiliki cukup
uang, namun pola makan mereka biasa saja (yaitu nasi dan ikan asin).
Namun, mereka pernah terkena laknat para
gerombolan pencuri padang pasir. Para pencuri itu menjarah peralatan masak
orang-orang Jawi itu; periuk nasi yang sedang dimasak oleh air, nampan mereka
berbahan tembaga buatan Cina, dan teko air mereka tidak seperti yang kerap
digunakan orang-orang Timur lainnya (biasa untuk mencuci dan wudhu), tetapi
orang-orang Jawi ini membawa teko teh Cina yang mahal.
Di sela-sela kebersamaanku dengan orang-orang
Melayu itu, aku menjadi memiliki kesempatan untuk bertanya kepada mereka
tentang pendapat mereka akan pemerintahan kolonial Inggris di negeri mereka.
Yang mengejutkan, ternyata mereka menyatakan kebencian dan permusuhan mereka
terhadap pihak Inggris. Mereka juga mensumpah serapahi perilaku orang-orang
Inggris dan melaknatnya sampai habis. Hal terburuk yang paling tidak disukai
mereka (orang-orang Jawi) dari orang-orang Inggris adalah kebiasaan
mabuk-mabukan. Lelaki dan perempuan berbaur menjadi satu dalam hubungan sosial
kemasyarakatan.
Meski demikian, orang-orang Melayu ini jarang
yang mengkritik masalah keadilan pemerintahan kolonial Inggris. Pihak Inggris
justru lebih baik jika dibanding dengan kesewenang-wenangan penguasa lokal
orang-orang Melayu (bupati, dll). Jadi, meskipun orang-orang Melayu ini
menyerapahi pihak Inggris dengan berbagai sumpah serapah dan laknat durjana,
namun mereka juga memberikan pujian kepadanya dengan mengatakan “tapi
pemerintahan mereka bagus”. Burckhardt menyebut semua kawasan Nusantara pada
masa itu berada di bawah kontrol pemerintahan Inggris, bertepatan dengan masa
pemerintahan Gubernur Letnan Sir Thomas Raffles (memerintah 1811—1816).
Di masa yang bersamaan, yaitu perempat
pertama abad ke-19 M, saat itu terdapat beberapa ulama Nusantara yang berkiprah
di Mekkah, seperti Mahmud ibn Arsyad al-Banjari (putera Syaikh Arsyad Banjar),
Fathimah binti Abd al-Shamad al-Palimbani (puteri Syaikh ‘Abd al-Shamad
Palembang), Shalih Rawah, Ismail al-Mankabawi al-Khalidi (Minangkabau), ‘Abd al-Ghani
al-Bimawi (Bima, Sumbawa), dan lain-lain.
Kairo, Ramadhan 1437 H
[]
A. Ginanjar Sya’ban, Redaktur NU Online
tinggal di Kairo Mesir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar