Islam di Garis Batas
Oleh: Komaruddin Hidayat
Percobaan kudeta di Turki pada Jumat (15/7) malam sungguh
mengagetkan. Kudeta ini mengingatkan kita pada kudeta militer yang terjadi pada
1960, 1971, 1980, dan 1997, yang terhitung berhasil. Hanya saja, yang jadi
alasan sangat berbeda. Kudeta sebelumnya kekuatan militer sekuler berhadapan
dengan kekuatan sipil, sekarang—berita yang beredar—yang berseteru sama-sama kekuatan
islamis. Namun, keterlibatan pihak ketiga mungkin saja ada.
Secara geografis ataupun kultural, Turki merupakan garis batas,
atau titik temu, antara Timur Tengah dan Eropa. Warga Turki, sekitar 80 juta,
95 persen adalah Muslim Sunni, meskipun negaranya sekuler. Islam di Turki
memiliki sejarah panjang dan sangat kaya. Pernah menjadi pusat kekuatan politik
dan militer yang disegani dunia selama enam abad di bawah Kesultanan Usmani
(Ottoman Empire), yang berakhir pada Perang Dunia II ketika Ottoman bersama
Jerman dikalahkan tentara Sekutu. Eksistensi Turki sebagai bangsa diselamatkan
oleh Mustofa Kemal Ataturk dan pasukannya kemudian mendirikan sebuah negara
baru bernama Republik Turki (1923).
Prinsip republikanisme dan sekularisme yang diperjuangkan Ataturk
merupakan antitesis terhadap ideologi dinasti Islamisme Ottomanisme. Ideologi
Turkisme ditampilkan sebagai antitesis terhadap Pan-Ottomanisme. Menurut
Ataturk, hanya dengan mengobarkan ideologi nasionalisme, maka Turki bisa
bertahan melawan gempuran Sekutu dan rongrongan bangsa-bangsa Arab yang
diprovokasi oleh Inggris dan Perancis dengan janji mereka akan memiliki negara
sendiri jika melepaskan diri dari Ottoman.
Sejak awal berdirinya Republik Turki, militer menempatkan diri
sebagai pendiri dan pengawal paham sekularisme, juga merasa warga negara kelas
satu. Jika Republik Indonesia diperjuangkan oleh rakyat, Turki dilahirkan oleh
jajaran elite militer di bawah komando Mustofa Kemal Ataturk, sehingga muncul
istilah revolution from above dan democracy under the bayonet. Mustofa Kemal
pun diberi gelar Ataturk— Bapak Bangsa Turki—oleh Majlis Agung Turki pada 1934.
Islam pinggiran
Terdapat cara pandang terhadap Islam dengan kategori pusat dan
pinggiran, di mana dunia Arab, khususnya Arab Saudi, sebagai pusatnya (the
heartland of Islam). Masyarakat Islam Turki dan Indonesia diposisikan
pinggiran, baik secara geografis maupun budaya, sehingga dua masyarakat ini
masuk kategori the least Arabized Muslim countries, masyarakat Muslim, tetapi
pengaruh Arabnya tak kental. Masyarakat Turki dan Indonesia memiliki bahasa dan
budaya nasional tersendiri, sangat berbeda dari Arab.
Pertanyaan yang muncul, adakah Islam pinggiran semacam Turki dan
Indonesia berarti juga kualitas dan kuantitas keislamannya juga pinggiran dan
supervisial? Ternyata tidak selalu demikian. Bandingkan saja dengan Yahudi dan
Nasrani yang keduanya lahir di Timur Tengah. Sekarang kedua agama ini selalu
diposisikan sebagai agama Barat. Budaya dan peradaban Yahudi dan Nasrani dengan
segala capaian politik, ekonomi, dan sains selalu dipersepsikan sebagai
prestasi dan budaya Barat. Jerusalem merupakan bukti dan jejak sejarah Yahudi
dan Nasrani, tetapi bukan pusat peradaban. Yang mengemuka justru wilayah
konflik dan perang yang sulit diprediksi kapan akan berakhir.
Kondisi serupa mirip Islam, meski kondisinya jauh lebih baik.
Posisi Mekkah-Madinah bukti dan saksi otentik jejak sejarah Islam. Akan tetapi,
situasi Timur Tengah saat ini justru tengah diwarnai kegaduhan politik dan
peperangan sehingga menghancurkan warisan peradaban masa lalu, alih-alih
membangun yang baru. Jadi, kategori pusat-pinggiran dalam memandang Islam tak
lagi tepat.
Sekarang ini, muncul pusat-pusat studi Islam di luar wilayah Arab
yang memiliki keunikan dan keunggulan yang tidak ditemukan di Timur Tengah.
Banyak intelektual Muslim Arab yang memilih berkarier di luar negara asalnya.
Islam yang berkembang di Turki, Iran, dan Indonesia memiliki distingsi dan
diferensiasi yang sarat dengan inovasi budaya non-Arab dan semua ini telah
memperkaya lanskap kebudayaan Islam.
Eksperimentasi Turki
Menurut beberapa pengamat, Islam di Turki dan Indonesia memiliki
kemiripan. Keduanya bukan Arab, melainkan sekaligus juga telah meratakan jalan
bagi sebuah eksperimentasi historis bagaimana Islam masuk dan berinteraksi
secara intens dengan ide dan praktik demokrasi, modernisasi, dan pluralisme,
suatu hal yang sulit dilakukan oleh masyarakat Arab. Kemal Ataturk sendiri
dinilai sebagai pelaksana dari gagasan Zia Gokalp (1878-1924), pengagum Emile
Durkheim, dengan gagasannya untuk menyatukan nasionalisme, islamisme, dan
modernisme bagi masa depan Turki. Bagi Gokalp, Islam merupakan identitas dan
kekuatan kohesi sosial masyarakat Turki, tetapi pemerintahannya mesti
dimodernisasi dengan model Barat.
Mesti dipisahkan antara urusan agama dan negara. Maka, Kemal
Ataturk pun melakukan revolusi kebudayaan, salah satu elemennya adalah
de-Arabisasi. Berbagai simbol Arab digusur, tetapi Islam sebagai agama tetap
dipertahankan. Orang-orang Turki di Eropa memiliki formula, I am Turk,
therefore I am a Muslim. Oleh karena itu, orang-orang Turki tetap setia dengan
identitas keislamannya meskipun tak mesti taat menjalankan ritual agama.
Di wilayah Turki yang sistem pemerintahannya sekuler itu, tidak
ditemukan bangunan gereja baru, sementara masjid bermunculan. Suasana kampus di
Turki pun tak ubahnya kampus di Barat, pergaulan muda-mudi terlihat begitu
bebas, tetapi begitu kembali ke lingkungan keluarganya mereka menjadi
konservatif. Sekalipun pemerintah, terutama militer, tetap setia menjaga paham
sekularisme, orang Turki sangat sadar bahwa kejayaan Islam semasa Ottoman
menjadi kebanggaan dan sumber inspirasi serta motivasi mereka untuk bangkit kembali
membangun kebesaran bangsa Turki di masa depan. Jadi, semangat islamisme dan
pemerintahan sekularisme adalah dua hal yang eksis dan tumbuh bersamaan.
Baik Fethullah Gulen maupun Erdogan datang dari keluarga dan
pendidikan santri par excellence. Namun jika Erdogan tergoda untuk membawa dan
mengubah politik Turki ke pendulum islamis, pasti akan memancing reaksi,
terutama dari sayap militer. Bagi blok Barat, Turki berada di garis batas untuk
membendung ekspansi blok Timur. Posisi Turki sangat dibutuhkan Barat. Namun
karena dihambat bergabung ke Uni Eropa, Turki lalu mendekati blok Rusia dan
sekutunya.
Negara-negara Asia Tengah mayoritas berbahasa Turki dan mitra
bisnis bagi Turki. Suatu kekuatan politik dan ekonomi yang jadi perebutan
pengaruh Turki, Iran, dan Rusia. Oleh karena itu, Uni Eropa terbelah sikapnya,
apakah menerima atau menolak keanggotaan Turki. Kelihatannya Erdogan memiliki
insting politik tajam, ingin memainkan posisi strategisnya di antara kekuatan
Barat, Timur, dan Arab. Ketiganya memerlukan Turki sebagai sahabat baik mereka;
bahkan mitra strategis dari sisi militer, bisnis, dan tenaga kerja.
Kudeta kilat
Hanya dalam waktu lima jam kudeta bisa dijinakkan, yang
dilanjutkan dengan penangkapan ribuan tokoh yang dituduh terlibat, terdiri atas
sedikitnya 50.000 orang yang dianggap lawan politiknya, termasuk tentara, 100
polisi, 755 hakim, gubernur, bupati, dan jajaran fungsionaris universitas;
mulai dari rektor, dekan, dan dosen. Mereka dianggap pengkhianat negara dan
kelompok teroris. Fethullah Gulen (75), yang sejak 1999 tinggal di
Pennsylvania, AS, dituduh sebagai dalangnya.
Padahal, kalau saja keduanya bersinergi, sesungguhnya
Erdogan-Gulen pasangan ideal bagi kemajuan dan eksperimentasi Islam Turki pada
era global ini. Erdogan memegang kendali politik dalam negeri, lalu Gulen
berkiprah melakukan diplomasi dan kontribusi kultural-intelektual pada panggung
dunia. Tidak kurang dari 3.000 sekolah dan pusat kebudayaan Turki tersebar di
sejumlah negara, di bawah kepemimpinan Gulen.
Dengan kekayaan sejarah dan posisinya di garis batas, diharapkan
Turki mampu memberikan salah satu model keislaman yang kontributif kepada
masyarakat Barat dengan tetap setia pada identitas keislamannya. Namun,
terjadinya kudeta dan mengerasnya perseteruan antara Erdogan dan Gulen, yang
bisa mengguncang stabilitas dan progresivitas Turki, jangan-jangan Turki akan
mundur kembali terbawa demam politik Arab yang lelah dengan konflik serta
menguras ongkos sosial, politik, dan ekonomi yang teramat mahal. Dalam situasi demikian,
apa yang hendak diperankan Indonesia? []
KOMPAS, 30 Juli 2016
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Fakultas Psikologi UIN Syarif
Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar