Turki,
Indonesia dan Demokrasi (2)
Oleh:
Azyumardi Azra
Pascakudeta
yang gagal di Turki (15/7/2016), Indonesia tampaknya tinggal menjadi
satu-satunya negara Muslim terbesar yang dapat disebut sebagai demokrasi.
Meski
demokrasi Indonesia tidak atau belum sepenuhnya sesuai harapan, tetapi jelas
hak-hak demokratis dan HAM berjalan tanpa ancaman kudeta militer atau otokrasi
sipil.
Pertanyaannya
kemudian adalah; kenapa perkembangan Turki pascakudeta tidak lagi memberikan
harapan, sementara demokrasi Indonesia-meski masih harus terus
dikonsolidasikan-lebih menjanjikan?
Salah
satu penyebab utama memudarnya demokrasi Turki adalah kebangkitan kekuasaan
otokratik Presiden Recep Tayyip Erdogan. Setelah memenangkan tiga kali pemilu
yang menempatkannya sebagai perdana menteri, dan pemilu langsung sebagai
presiden, Erdogan tidak tertandingi.
Dengan
kekuasaan yang nyaris mutlak, Erdogan dalam lima tahun terakhir semakin sering
melakukan tindakan sewenang-wenang. Secara represif, ia mengorbankan hak
demokrasi warga dan sekaligus HAM.
Perkembangan
ini sekali lagi membenarkan argumen Lord Acton: 'Power tends to corrupt; absolute power corrupt absolutely".
Kenyataan ini terlihat dari langkah yang dilakukan Presiden Erdogan.
Ia tidak
hanya memberlakukan keadaan darurat, tetapi juga melakukan 'pembersihan'
besar-besaran terhadap mereka yang 'tercurigai' sebagai yang terkait dengan
kudeta dan organisasi Hizmet atau Gulen, yang dianggap Erdogan,
bertanggungjawab sebagai otak (master-mind)
upaya kudeta.
Lihatlah
angka-angka (sampai 22 Juli) yang bisa dipastikan terus bertambah ini: 21.738
guru dan dosen Kementerian Pendidikan diberhentikan, 21 ribu izin lembaga
pendidikan swasta dari pendidikan dasar sampai universitas dicabut, 8.777
pegawai Kementerian Dalam Negeri dipecat, 6.319 personel militer ditahan, 1.577
ketua jurusan di universitas dipaksa mengundurkan diri, dan 1.481 jaksa dan
hakim juga ditahan.
Bisa
dipastikan, mereka yang menjadi korban represi ini dicurigai rezim Erdogan
sebagai yang terkait dengan Hizmet atau Gulen. Bahkan, Presiden Erdogan meminta
pemerintah Amerika Serikat (AS) mengekstradisi Fathullah Gulen yang
mengasingkan diri di kawasan Pocono, Philadelphia.
Kelihatannya,
Pemerintah AS tidak bakal memenuhi permintaan itu, karena mereka menganggap
Gulen dan organisasinya bukan teroris. Kenapa semua tindakan seperti di atas
dilakukan Erdogan? Ini tak lain pula karena parlemen yang dikuasai partainya
(AKP) menyetujui langkah yang dilakukan sang Presiden.
Atas
dasar itu, Presiden Erdogan memberlakukan keadaan darurat selama tiga bulan,
mengeluarkan undang-undang dan ketentuan hukum lain, menetapkan jam malam dan
melarang pertemuan umum.
Dengan
demikian, kudeta yang gagal menjadi blessing bagi
Erdogan. Itu memberikan kesempatan sangat baik bagi Erdogan untuk membersihkan
Turki dari anasir yang membahayakan kekuasaannya.
Karena
itu, terdapat kalangan cendekiawan Turki sendiri dan pengamat asing yang
menyatakan, "kudeta yang gagal itu merupakan rekayasa Erdogan untuk kian
memperkuat otokratismenya".
'Aksi
pembersihan' yang dilakukan Presiden Erdogan, hampir tidak mendapat tantangan
dari kalangan masyarakat Turki sendiri, termasuk kaum oposisi. Keadaan ini bisa
dipahami, karena jika mereka mempersoalkan-apalagi menentang-langkah Erdogan,
bukan tidak mungkin mereka kemudian juga menjadi sasaran pembersihan.
Pemerintah
negara Muslim seperti Indonesia juga diam seribu bahasa. Alasannya klise,
Indonesia memiliki kebijakan luar negeri untuk tidak mencampuri urusan dalam
negeri negara lain.
Karena
itu, hanya kalangan Barat, baik pemerintah atau lembaga advokasi HAM dan
demokrasi, yang berulang kali memperingatkan Erdogan agar tidak melakukan
tindakan yang termasuk ke dalam kategori pelanggaran HAM dan perusakan demokrasi.
Dalam
perspektif komparatif dengan Indonesia, krisis demokrasi Turki juga banyak
terkait dengan kelumpuhan masyarakat madani atau masyarakat sipil (civil society).
Jika di
Indonesia masyarakat sipil, khususnya berbasis Islam seperti ormas Islam
nonpolitik dan LSM advokasi, terus bertahan sejak masa kebangkitan nasional
hingga sekarang, sebaliknya, di Turki telah lama lumpuh.
Kelumpuhan
masyarakat madani bermula sejak terus menguatnya Republik Turki dengan ideologi
Kemalisme-ideologi sekularisme yang tidak bersahabat dengan agama (religiously unfriendly ideology).
Sebaliknya, di Indonesia, dasar negara, yang sering juga disebut sebagai
ideologi negara, adalah Pancasila yang merupakan religiously friendly ideology,bersahabat
dengan agama, terutama lewat sila pertamanya, 'Ketuhanan Yang Maha Esa'.
Militer
Turki secara konvensional merupakan garda utama sekularisme Kemalisme. Erdogan
dengan basis kekuatan AKP yang 'Islamis' berhasil memangkas kekuasaan militer.
Sebaliknya, militer Indonesia juga merupakan garda Pancasila, tetapi jelas
tidak sendiri, karena para pemimpin Islam dan ormas-ormas Islam negeri ini juga
setia pada Pancasila. []
REPUBLIKA,
28 Juli 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA
(Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar