Senin, 01 Agustus 2016

Shambazy: Trump Vs Republik



Trump Vs Republik
Oleh: Budiarto Shambazy

Meski berhasil menggelorakan basis-basis politik Republik, Trump sering terpeleset dalam tindak tanduk dan ucapan dia sepanjang kampanye. Ia menghina orang cacat, mengusir wartawan dari ruang kampanye, dan menolak ikut debat resmi. Ia juga terbiasa meledek para pesaing, seperti "Ted Pembohong", "Marco Mungil", atau "Hillary Licik". Dan, dia tidak tahu istilah nuclear triad (tiga matra senjata nuklir darat, laut, dan udara) yang tombol-tombolnya hanya bisa dipencet presiden seorang.

Kualitas kampanye capres Republik memang mengalami degradasi akibat ulah Trump. Ia pun menjadi bulan-bulanan lawan-lawan dia yang kesal, seperti Jeb Bush yang menyebut Trump "brengsek" atau Rubio yang menertawakan jari-jari tangan Trump yang pendek. "Lihat wajah itu! Apakah ada orang yang mau memilih? Bisa Anda bayangkan wajah itu, wajah presiden kita yang akan datang?" kata Trump menghina Fiorina.

Dalam waktu sekitar setengah tahun sejak medio 2015, popularitas Trump terus meningkat meninggalkan para pesaingnya. Di Kaukus Iowa 1 Februari 2016, Trump memimpin pada sebagian besar survei meski akhirnya Senator Ted Cruz yang memenangi pemilihan awal yang secara simbolis amat penting itu. Namun, sekitar sepekan kemudian, Trump memenangi pemilihan awal di New Hampshire.

Dan, sejak itu Trump tak terbendung memenangi pemilihan-pemilihan awal di sejumlah negara bagian, termasuk negara bagian besar, seperti Florida, New York, dan California. Trump mencatat rekor baru sebagai capres Republik yang mendapat sekitar 4 juta suara dari keseluruhan pemilihan awal/kaukus. Hal yang belum pernah dibayangkan oleh siapa pun akhirnya menjadi kenyataan: Trump bakal menang!

Dengan semua atribut sosial dan politik yang serba terhormat itu, wajar jika Trump merasa besar kepala. Derajat Trump sudah naik dari capres sebuah partai menjadi capres sebuah bangsa/negara yang perlu ditata ulang secara besar-besaran. Trump tak mau lagi AS berlaku sebagai negara adidaya, tak perlu lagi bergabung dengan NAFTA atau TPP, wajib bersahabat dengan Rusia, berhenti mendanai NATO, dan semua bentuk yang cenderung isolasionistis.

Trump bahkan mendapat dukungan dari kelompok rasis Klux Klux Klan. Presiden Vladimir Putin, atas nama pemerintah dan rakyat Rusia, secara "resmi" mendukung Trump. Di kubu lain, sejumlah kepala negara/pemerintahan menyampaikan kerisauan jika Trump terpilih sebagai presiden. Presiden Meksiko Enrique Pena Nieto menyamakan Trump dengan Adolf Hitler dan Benito Mussolini. PM Kanada Justin Trudeau sembari bergurau mengatakan menyambut dengan tangan terbuka jika ada warga AS pindah ke Kanada kalau Trump terpilih sebagai presiden.

Presiden Trump?

Sewaktu menyatakan "hanya saya sendiri yang mampu memperbaiki semuanya", itu hanyalah kompensasi Trump yang ingin tampil perkasa walau ditinggalkan sendirian oleh partainya sendiri. Pada saat momen maha penting bagi dirinya, ketika menjalani koronasi sebagai capres melalui konvensi, Trump justru dipermalukan. Pukulan terkeras datang dari Cruz, pesaing terberat yang istrinya sempat dihina Trump dan ayahnya difitnah Trump ikut terlibat dalam pembunuhan Presiden John F Kennedy pada 1962 di Dallas, Texas.

Cruz dengan terangan-terangan mengimbau pemilih Republik mencoblos capres-cawapres yang sesuai dengan hati nurani pada hari-H, Selasa pekan pertama November mendatang. Dengan kata lain, Cruz menyarankan mereka memilih duet Demokrat, Hillary Clinton-Tim Kaine, ketimbang duet Republik, Trump-Mike Pence. Secara tidak langsung, Cruz mengatakan pula bahwa ada pilihan bagi pemilih untuk tetap tinggal di rumah saja pada hari-H.

Pada hari pertama konvensi, sudah ada gangguan dari gerakan "Never Trump" yang sejak lama berencana menggagalkan Trump sebagai capres resmi. Namun, upaya itu gagal karena dukungan minim peserta konvensi. Sebuah catatan penting, konvensi kali ini terhitung sepi karena ketidakhadiran dua eks presiden Republik: George HW Bush (1989-1993) dan putranya, George W Bush (2001-2009).

Ketidakhadiran Bush senior dan yunior bisa dimaknai sebagai penolakan terhadap Trump yang sempat meledek kampanye Jeb Bush "berenergi rendah" (low energy). Istri Bush senior, Barbara Bush, ibu negara paling senior saat ini, secara terbuka sempat mengatakan, "Saya capek melihat dia (Trump)." Keluarga besar Bush merupakan kekuatan politik Republik paling berpengaruh dewasa ini.

Dua mantan capres Republik, John McCain dan Mitt Romney, juga absen. Terlebih lagi, sebagian besar dari 16 capres Republik yang berpengaruh, yang bertarung melawan Trump, juga menolak hadir. Di antaranya John Kasich, Gubernur Ohio, negara bagian yang sering menentukan hasil Pilpres AS. Makin jelaslah bahwa kaum mapan Republik tidak akan berperanan memainkan pengaruh masing-masing dalam kampanye head-to-head Trump-Pence vs Clinton-Kaine setelah Konvensi Demokrat berakhir, akhir pekan ini.

Selama beberapa bulan terakhir, berbagai hasil survei atau jajak pendapat membuktikan Hillary mengungguli Trump antara nol koma sekian sampai 7 persen. Masih terlalu dini menyimpulkan siapa yang akan menang walau biasanya hasil berbagai jajak pendapat/survei nyaris tak pernah meleset. Dan, hasil pilpres tetap akan ditentukan sekitar 40 persen suara independen-bukan suara Demokrat atau Republik. Untuk sementara kita hanya bisa membayangkan, bagaimana gerangan jika AS dipimpin Presiden Trump? (SELESAI) []

KOMPAS, 27 Juli 2016
Budiarto Shambazy | Wartawan Senior KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar