Trump Vs
Republik
Oleh:
Budiarto Shambazy
Meski
berhasil menggelorakan basis-basis politik Republik, Trump sering terpeleset
dalam tindak tanduk dan ucapan dia sepanjang kampanye. Ia menghina orang cacat,
mengusir wartawan dari ruang kampanye, dan menolak ikut debat resmi. Ia juga
terbiasa meledek para pesaing, seperti "Ted Pembohong", "Marco
Mungil", atau "Hillary Licik". Dan, dia tidak tahu istilah
nuclear triad (tiga matra senjata nuklir darat, laut, dan udara) yang
tombol-tombolnya hanya bisa dipencet presiden seorang.
Kualitas
kampanye capres Republik memang mengalami degradasi akibat ulah Trump. Ia pun
menjadi bulan-bulanan lawan-lawan dia yang kesal, seperti Jeb Bush yang
menyebut Trump "brengsek" atau Rubio yang menertawakan jari-jari
tangan Trump yang pendek. "Lihat wajah itu! Apakah ada orang yang mau
memilih? Bisa Anda bayangkan wajah itu, wajah presiden kita yang akan
datang?" kata Trump menghina Fiorina.
Dalam
waktu sekitar setengah tahun sejak medio 2015, popularitas Trump terus
meningkat meninggalkan para pesaingnya. Di Kaukus Iowa 1 Februari 2016, Trump
memimpin pada sebagian besar survei meski akhirnya Senator Ted Cruz yang
memenangi pemilihan awal yang secara simbolis amat penting itu. Namun, sekitar
sepekan kemudian, Trump memenangi pemilihan awal di New Hampshire.
Dan,
sejak itu Trump tak terbendung memenangi pemilihan-pemilihan awal di sejumlah
negara bagian, termasuk negara bagian besar, seperti Florida, New York, dan
California. Trump mencatat rekor baru sebagai capres Republik yang mendapat
sekitar 4 juta suara dari keseluruhan pemilihan awal/kaukus. Hal yang belum
pernah dibayangkan oleh siapa pun akhirnya menjadi kenyataan: Trump bakal
menang!
Dengan
semua atribut sosial dan politik yang serba terhormat itu, wajar jika Trump
merasa besar kepala. Derajat Trump sudah naik dari capres sebuah partai menjadi
capres sebuah bangsa/negara yang perlu ditata ulang secara besar-besaran. Trump
tak mau lagi AS berlaku sebagai negara adidaya, tak perlu lagi bergabung dengan
NAFTA atau TPP, wajib bersahabat dengan Rusia, berhenti mendanai NATO, dan
semua bentuk yang cenderung isolasionistis.
Trump
bahkan mendapat dukungan dari kelompok rasis Klux Klux Klan. Presiden Vladimir
Putin, atas nama pemerintah dan rakyat Rusia, secara "resmi"
mendukung Trump. Di kubu lain, sejumlah kepala negara/pemerintahan menyampaikan
kerisauan jika Trump terpilih sebagai presiden. Presiden Meksiko Enrique Pena
Nieto menyamakan Trump dengan Adolf Hitler dan Benito Mussolini. PM Kanada
Justin Trudeau sembari bergurau mengatakan menyambut dengan tangan terbuka jika
ada warga AS pindah ke Kanada kalau Trump terpilih sebagai presiden.
Presiden
Trump?
Sewaktu
menyatakan "hanya saya sendiri yang mampu memperbaiki semuanya", itu
hanyalah kompensasi Trump yang ingin tampil perkasa walau ditinggalkan
sendirian oleh partainya sendiri. Pada saat momen maha penting bagi dirinya,
ketika menjalani koronasi sebagai capres melalui konvensi, Trump justru
dipermalukan. Pukulan terkeras datang dari Cruz, pesaing terberat yang istrinya
sempat dihina Trump dan ayahnya difitnah Trump ikut terlibat dalam pembunuhan
Presiden John F Kennedy pada 1962 di Dallas, Texas.
Cruz
dengan terangan-terangan mengimbau pemilih Republik mencoblos capres-cawapres
yang sesuai dengan hati nurani pada hari-H, Selasa pekan pertama November
mendatang. Dengan kata lain, Cruz menyarankan mereka memilih duet Demokrat,
Hillary Clinton-Tim Kaine, ketimbang duet Republik, Trump-Mike Pence. Secara
tidak langsung, Cruz mengatakan pula bahwa ada pilihan bagi pemilih untuk tetap
tinggal di rumah saja pada hari-H.
Pada hari
pertama konvensi, sudah ada gangguan dari gerakan "Never Trump" yang
sejak lama berencana menggagalkan Trump sebagai capres resmi. Namun, upaya itu
gagal karena dukungan minim peserta konvensi. Sebuah catatan penting, konvensi
kali ini terhitung sepi karena ketidakhadiran dua eks presiden Republik: George
HW Bush (1989-1993) dan putranya, George W Bush (2001-2009).
Ketidakhadiran
Bush senior dan yunior bisa dimaknai sebagai penolakan terhadap Trump yang
sempat meledek kampanye Jeb Bush "berenergi rendah" (low energy).
Istri Bush senior, Barbara Bush, ibu negara paling senior saat ini, secara
terbuka sempat mengatakan, "Saya capek melihat dia (Trump)." Keluarga
besar Bush merupakan kekuatan politik Republik paling berpengaruh dewasa ini.
Dua
mantan capres Republik, John McCain dan Mitt Romney, juga absen. Terlebih lagi,
sebagian besar dari 16 capres Republik yang berpengaruh, yang bertarung melawan
Trump, juga menolak hadir. Di antaranya John Kasich, Gubernur Ohio, negara
bagian yang sering menentukan hasil Pilpres AS. Makin jelaslah bahwa kaum mapan
Republik tidak akan berperanan memainkan pengaruh masing-masing dalam kampanye
head-to-head Trump-Pence vs Clinton-Kaine setelah Konvensi Demokrat berakhir,
akhir pekan ini.
Selama
beberapa bulan terakhir, berbagai hasil survei atau jajak pendapat membuktikan
Hillary mengungguli Trump antara nol koma sekian sampai 7 persen. Masih terlalu
dini menyimpulkan siapa yang akan menang walau biasanya hasil berbagai jajak
pendapat/survei nyaris tak pernah meleset. Dan, hasil pilpres tetap akan
ditentukan sekitar 40 persen suara independen-bukan suara Demokrat atau
Republik. Untuk sementara kita hanya bisa membayangkan, bagaimana gerangan jika
AS dipimpin Presiden Trump? (SELESAI) []
KOMPAS,
27 Juli 2016
Budiarto Shambazy | Wartawan Senior KOMPAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar