Erdogan
Vs Gulen : Bencana Politik Bagi Turki (I)
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Dalam
pembicaraan saya bersama Prof Imtiyaz Yusuf (dari Bangkok) di Istanbul pada 7
Mei 2016 dengan sopir taksi dari suku Kurdi, terkesan kuat bahwa sopir ini
sangat tidak suka pada Erdogan. Dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, sang
sopir berkata: "Erdogan is bad."
Sebagaimana
kita tahu, anggota suku Kurdi di Turki ini terbelah: ada juga pendukung
Presiden Recep Tayyip Erdogan dan anti Erdogan dengan sudut kepentingannnya
masing-masing. Baik rakyat Turki maupun suku Kurdi sama-sama golongan suni dan
umumnya menganut mazhab Hanafi.
Tetapi
sekali memasuki ranah politik kekuasaan, ikatan mazhab itu ternyata tidak lagi
berbunyi. Apakah memang begini cara manusia memahami dan menjalankan agama?
Mengapa hubungan agama dan politik demikian ruwet sepanjang sejarah Muslim?
Kira-kira
bisa dibayangkan bagaimana reaksi sang sopir ini terhadap Erdogen yang demikian
keras menuduh Fethullah Gulen (lahir 1941) sebagai otak di balik percobaan
kudeta yang gagal pada 15 Juli yang lalu.
Sudah
sejak 1999 Gulen mengasingkan diri di Pennsylvania, Amerika Serikat. Gulen
semula adalah pengikut Badiuzzaman Said Nursi (1877-1960), seorang
alim-sufi-petarung Turki dari suku Kurdi, dikenal sebagai tokoh penentang
kebijakan Kemal Ataturk dengan proses sekularisasinya atas bangsa Turki.
Dia juga
menentang setiap intervensi asing terhadap negaranya. Berkali-kali meringkuk
dalam penjara, sebelum wafat dalam kesepian. Bahkan makamnya kemudian dibongkar
untuk dipindahkan ke suatu tempat, entah di mana.
Gulen
meneruskan perjuangan Badiuzzaman ini dengan caranya sendiri dengan pendukung
yang sangat luas. Erdogan pernah berkongsi dengan Gulen dalam menghadapi
hegemoni militer Turki, dan berhasil. Kini kongsi itu berantakan sudah.
Gulen
menjadi manusia tertuduh. Teman-teman Turki saya yang pro- Erdogan dan pengikut
Gulen telah saya kontak. Umumnya mereka mengutuk usaha kudeta. Tetapi mengapa
politik di Turki ini semakin mengeras?
Baik
Erdogan maupun Gulen saling menuduh sebagai yang bertanggung jawab atas
percobaan kudeta itu. Turki yang semula diharapkan akan menjadi contoh bagi
dunia Islam dalam berdemokrasi, di samping Indonesia, kini terjebak dalam
bencana politik yang berbahaya bagi hari depan negara itu. Dampak buruknya akan
menjalar ke mana-mana.
Ironisnya,
yang kini sedang saling berhadapan bukan antara sipil dan militer, tetapi sipil
melawan sipil yang sama-sama berasal dari kultur santri. Alangkah sukarnya kaum
santri Turki untuk mengembangkan sebuah kultur lapang dada dalam menyelesaikan
perbedaan pandangan.
Mengapa
Alquran yang demikian gamblang memberi acuan tentang persaudaraan umat beriman
tidak dihiraukan? Erdogan bahkan telah memberi label gerakan teror terhadap
Hizmet (pelayanan), sebuah gerakan sosial keagamaan, pendidikan, dan ekonomi
yang diciptakan Gulen, sebuah jaringan global yang fenomenal.
Saya
sendiri, belum tahu betul latar belakang mengapa Gulen seperti mendapat
perlakuan istimewa di Amerika Serikat dengan status sebagai warga permanen
dengan segala fasilitasnya. Pasti ada kalkulasi politiknya.
Ketika
Erdogan meminta pemerintah Amerika agar Gulen dikembalikan ke Turki, jawaban
yang diberikan adalah agar Erdogan memberi bukti tentang keterlibatan Gulen
dalam percobaan kudeta yang menggegerkan itu.
Sampai
hari ini, sudah ribuan mereka yang dikategorikan sebagai pengikut Gulen yang ditangkap
rezim Erdogen yang meliputi militer, polisi, hakim, jaksa, dan politisi Turki.
Mata dunia tertuju ke Turki, apakah akan berlaku pengadilan terbuka dan jujur
atas lawan politik Erdogen ini?
Saya
sudah meminta Pak Jusuf Kalla, sahabat Erdogan, agar penguasa Turki ini tidak
terus melipatgandakan jumlah musuh karena pasti akan sangat melemahkan posisi
negara dengan penduduk mayoritas Muslim ini berhadapan dengan pihak Barat.
Erdogan
semestinya jangan sampai menjadi manusia mabuk kekuasaan. Dan Gulen juga harus
menyadari tuduhan terhadap gerakannya cukup serius: negara dalam negara!
Bahwa
tidak satu pun negara Barat yang rela melihat sebuah bangsa dan negara Muslim
menjadi kuat, makmur, dan stabil, bagi saya adalah sebuah aksioma. Barat sangat
tidak jujur berhadapan dengan dunia Islam. Bodohnya, umat Islam terlalu gampang
dipermainkan pihak luar. []
REPUBLIKA,
02 Agustus 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar