Rabu, 03 Agustus 2016

Buya Syafii: Erdogan Vs Gulen : Bencana Politik Bagi Turki (I)



Erdogan Vs Gulen : Bencana Politik Bagi Turki (I)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Dalam pembicaraan saya bersama Prof Imtiyaz Yusuf (dari Bangkok) di Istanbul pada 7 Mei 2016 dengan sopir taksi dari suku Kurdi, terkesan kuat bahwa sopir ini sangat tidak suka pada Erdogan. Dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, sang sopir berkata: "Erdogan is bad."

Sebagaimana kita tahu, anggota suku Kurdi di Turki ini terbelah: ada juga pendukung Presiden Recep Tayyip Erdogan dan anti Erdogan dengan sudut kepentingannnya masing-masing. Baik rakyat Turki maupun suku Kurdi sama-sama golongan suni dan umumnya menganut mazhab Hanafi.

Tetapi sekali memasuki ranah politik kekuasaan, ikatan mazhab itu ternyata tidak lagi berbunyi. Apakah memang begini cara manusia memahami dan menjalankan agama? Mengapa hubungan agama dan politik demikian ruwet sepanjang sejarah Muslim?

Kira-kira bisa dibayangkan bagaimana reaksi sang sopir ini terhadap Erdogen yang demikian keras menuduh Fethullah Gulen (lahir 1941) sebagai otak di balik percobaan kudeta yang gagal pada 15 Juli yang lalu.

Sudah sejak 1999 Gulen mengasingkan diri di Pennsylvania, Amerika Serikat. Gulen semula adalah pengikut Badiuzzaman Said Nursi (1877-1960), seorang alim-sufi-petarung Turki dari suku Kurdi, dikenal sebagai tokoh penentang kebijakan Kemal Ataturk dengan proses sekularisasinya atas bangsa Turki.

Dia juga menentang setiap intervensi asing terhadap negaranya. Berkali-kali meringkuk dalam penjara, sebelum wafat dalam kesepian. Bahkan makamnya kemudian dibongkar untuk dipindahkan ke suatu tempat, entah di mana.

Gulen meneruskan perjuangan Badiuzzaman ini dengan caranya sendiri dengan pendukung yang sangat luas. Erdogan pernah berkongsi dengan Gulen dalam menghadapi hegemoni militer Turki, dan berhasil. Kini kongsi itu berantakan sudah.

Gulen menjadi manusia tertuduh. Teman-teman Turki saya yang pro- Erdogan dan pengikut Gulen telah saya kontak. Umumnya mereka mengutuk usaha kudeta. Tetapi mengapa politik di Turki ini semakin mengeras?

Baik Erdogan maupun Gulen saling menuduh sebagai yang bertanggung jawab atas percobaan kudeta itu. Turki yang semula diharapkan akan menjadi contoh bagi dunia Islam dalam berdemokrasi, di samping Indonesia, kini terjebak dalam bencana politik yang berbahaya bagi hari depan negara itu. Dampak buruknya akan menjalar ke mana-mana.

Ironisnya, yang kini sedang saling berhadapan bukan antara sipil dan militer, tetapi sipil melawan sipil yang sama-sama berasal dari kultur santri. Alangkah sukarnya kaum santri Turki untuk mengembangkan sebuah kultur lapang dada dalam menyelesaikan perbedaan pandangan.

Mengapa Alquran yang demikian gamblang memberi acuan tentang persaudaraan umat beriman tidak dihiraukan? Erdogan bahkan telah memberi label gerakan teror terhadap Hizmet (pelayanan), sebuah gerakan sosial keagamaan, pendidikan, dan ekonomi yang diciptakan Gulen, sebuah jaringan global yang fenomenal.

Saya sendiri, belum tahu betul latar belakang mengapa Gulen seperti mendapat perlakuan istimewa di Amerika Serikat dengan status sebagai warga permanen dengan segala fasilitasnya. Pasti ada kalkulasi politiknya.

Ketika Erdogan meminta pemerintah Amerika agar Gulen dikembalikan ke Turki, jawaban yang diberikan adalah agar Erdogan memberi bukti tentang keterlibatan Gulen dalam percobaan kudeta yang menggegerkan itu.

Sampai hari ini, sudah ribuan mereka yang dikategorikan sebagai pengikut Gulen yang ditangkap rezim Erdogen yang meliputi militer, polisi, hakim, jaksa, dan politisi Turki. Mata dunia tertuju ke Turki, apakah akan berlaku pengadilan terbuka dan jujur atas lawan politik Erdogen ini?

Saya sudah meminta Pak Jusuf Kalla, sahabat Erdogan, agar penguasa Turki ini tidak terus melipatgandakan jumlah musuh karena pasti akan sangat melemahkan posisi negara dengan penduduk mayoritas Muslim ini berhadapan dengan pihak Barat.

Erdogan semestinya jangan sampai menjadi manusia mabuk kekuasaan. Dan Gulen juga harus menyadari tuduhan terhadap gerakannya cukup serius: negara dalam negara!

Bahwa tidak satu pun negara Barat yang rela melihat sebuah bangsa dan negara Muslim menjadi kuat, makmur, dan stabil, bagi saya adalah sebuah aksioma. Barat sangat tidak jujur berhadapan dengan dunia Islam. Bodohnya, umat Islam terlalu gampang dipermainkan pihak luar. []

REPUBLIKA, 02 Agustus 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar