Mbah Dalhar Watucongol, Muntilan, Magelang –
Jawa Tengah
Kiai Pedakwah dan Pejuang Kemerdekaan
Ia memang masih keturunan dari laskar pejuang
Pangeran Diponegoro di eks Karsidenan Kedu. Tak heran selain berdakwah, Mbah
Dalhar juga mewarisi semangat perjuangan dalam merebut dan mempertahankan
Kemerdekaan R.
Mbah Kiai Dalhar lahir di komplek pesantren
Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H (12
Januari 1870 M). Ketika lahir ia diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi.
Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin
Hasan Tuqo.
Kiai Abdurrauf adalah salah seorang panglima
perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kiai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan
Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kiai
Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Diriwayatkan, Kiai Hasan Tuqo keluar dari
komplek keraton karena ia lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup
dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru diketahui jika ia hidup menyepi
didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat ia tinggal dikenal dengan
nama desa Tetuko. Sementara itu salah seorang puteranya bernama Abdurrauf juga
mengikuti jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran
Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau untuk bersama – sama memerangi penjajah
Belanda, Abdurrauf tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro
sempat mempertahankan wilayah Magelang dari penjajahan secara habis–habisan.
Karena Magelang bagi pandangan militer Belanda nilainya amat strategis untuk
penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro
membutuhkan figure–figure yang dapat membantu perjuangannya melawan Belanda
sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad di masyarakat.
Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta
beratnya perjuangan waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas
untuk mempertahankan serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini
Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan
Muntilan. Beliau lalu membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya
menjadi Kiai Abdurrauf.
Pesantren Kiai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh
putranya yang bernama Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara
ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh Santren (masih dalam desa Gunung
Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kiai Dalhar, beliau juga meneruskan
pesantren ayahnya (Kiai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga digeser kearah
sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu Congol.
Nama “Dalhar”
Mbah Kiai Dalhar adalah seorang yang
dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan pesantren. Oleh karenanya semenjak
kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu
agama. Pada masa kanak-kanaknya, ia belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu
keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu Kiai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun,
mbah Kiai Dalhar mulia belajar mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah
Kiai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan
Salaman, Kabupaten Magelang. Disini ia belajar ilmu tauhid selama kurang lebih
2 tahun.
Sesudah dari Salaman, saat ia berusia 15
tahun mbah Kiai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi
Somalangu, Kebumen. Oleh ayahnya, mbah Kiai Dalhar diserahkan pendidikannya
pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf
dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kiai Dalhar
belajar di pesantren ini. Dan selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem
pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar permintaan ayahnya sendiri pada Syeikh
As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.
Kurang lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah
Kiai Dalhar diminta oleh gurunya yaitu Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad
Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya yang bernama
Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah.
Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah menarik yang perlu disuri tauladani
atas ketaatan dan keta’dziman mbah Kiai Dalhar pada gurunya.
Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad
Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan menyerahkan pendidikan puteranya yang
bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada shahabat karibnya yang
berada di Makkah dan menjadi mufti syafi’iyyah waktu itu bernama Syeikh
As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid Muhammad Sa’id
Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah Kiai Dalhar
berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung
Mas, Semarang.
Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen,
singgah di Muntilan dan kemudian lanjut sampai di Semarang, saking ta’dzimnya
mbah Kiai Dalhar kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki
sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid
Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kiai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun
itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Kiai Dalhar.
Sesampainya di Makkah (waktu itu masih
bernama Hejaz), mbah Kiai Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath
(asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As-Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani
yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat
belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena
ia diminta oleh gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin
mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Kiai
Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai
waktu 25 tahun.
Syeikh As-Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani
inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Kiai Dalhar. Hingga
ahirnya ia memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama
aslinya. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh
As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah
Kiai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama
pemberian sang guru yaitu Mbah Kiai “Dalhar”.
Ketika berada di Hejaz inilah Kiai Nahrowi
Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh
Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin
Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah
rutin yang memasyhurkan namanya di tanah Jawa.
Hizb Bambu Runcing
Mbah Kiai Dalhar adalah seorang ulama yang
senang melakukan riyadhah. Selama di tanah suci, mbah Kiai Dalhar pernah
melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan
selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji
kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian
riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para
keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama ditanah
suci, mbah Kiai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah
Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, ia lari keluar tanah Haram.
Setelah pulang dari tanah suci, sekitar tahun
1900 M ia kemudian meneruskan perdikan peninggalan nenek moyangnya yang berupa
pondok kecil di kaki bukit kecil Gunung Pring, Watu Congol, Kecamatan Muntilan
Kabupaten Magelang. Kurang lebih 3 kilometer sebelah timur Candi Borobudur.
Pondok pesantren kecil ini lambat laun tidak hanya dihuni oleh santri-santri
sekitar eks Karsidenan Kedu saja namun sampai pelosok tanah Jawa.
Bahkan ketika masa-masa perang pra dan masa
kemerdekaan, pondok pesantren Watucongol menjadi markas dan sekaligus tempat
singgah para pejuang tentara bambu runcing yang datang Jogjakarta dan wilayah
Jawa bagian barat seperti eks Karsidenan Banyumas dan sebagian dari Jawa Barat.
Konon ceritanya, bambu runcing para pejuang harus di asma hizb dahulu oleh KH
Dalhar dan KH Subekhi (Parak, Temanggung) sebelum menyerang markas penjajah
Belanda di Ambarawa, Semarang, (lihat buku: Jejak Kaki Persantren, karya KH
Saifuddin Zuhri).
Dikisahkan, dengan bermodalkan bambu runcing,
para pejuang kemerdekaan menyerang benteng Belanda di Ambarawa, bambu-bambu
runcing mampu terbang dengan sendirinya bak senapan menyerang tentara-tentara
Belanda. Sementara bombardir peluru serta granat tangan kumpeni Belanda tidak
mampu melukai apalagi menyentuh kulit para pejuang Republik Indonesia.
Karya mbah Kiai Dalhar yang sementara ini
dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah
karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abu Hasan ‘Ali bin
Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah.
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal
negara ini yang sempat berguru kepadanya semenjak sekitar tahun 1920 – 1959.
Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki,
Giriloyo dll. Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kiai
Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau
bertepatan dengan 8 April 1959 M dan beliau kemudian di makamkan di komplek
makam Gunung Pring, Watucongol, Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang, Jawa
Tengah.
Sekalipun jasadnya telah terkubur dalam
tanah, karya dan penerus perjuangan Mbah Dalhar tetap berkelanjutan sampai
sekarang. Pondok Pesantren Darussalam, Watu Congol adalah saksi sejarah napak
tilas perjuangan dakwah Mbah Dalhar. Jalan menuju makam Watucongol memang
terbilang mudah. Peziarah ruhani biasanya melengkapi ziarah Wali Songo atau
wisata liburan dengan melewati jalur tengah yang menghubungkan jalan utama dari
Jogjakarta menuju Semarang. Ketika melewati kota Muntilan, dari arah pasar
Muntilan cukup sekitar 5 kilo ke sebelah barat menunuju kawasan Gunung Pring.
Untuk memperingati jejak sejarah Mbah Dalhar
dan Pesantren Darusalam Watu Congol Muntilan, setiap akhir bulan Sya’ban tahun
Hijriah biasanya haulnya diperingati di kompleks Pesantren Darussalam
Watucongol, dan Kompleks makam Gunung Pring Muntilan Magelang. Dipastikan kedua
kompleks perdikan bersejarah itu tak pernah sepi oleh penziarah yang datang
tidak saja dari penjuru Nusantara namun juga negeri mancanegara. []
(Aji Setiawan/Anam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar