Membaca Kebiasaan Pendiri NU dan Muhammadiyah
Judul
: Kebiasaan-Kebiasaan Inspiratif KH. Ahmad Dahlan & KH. Hasyim Asy’ari,
Teladan-Teladan Kemulyaan
Penulis
: M Sanusi
Penerbit
: DIVA Press
Cetakan I
: November 2013
Tebal
: 306 halaman
Peresensi
: Aryudi A. Razaq, alumni Pesantren
Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep, Madura
Tak bisa dipungkiri bahwa KH Hasyim Asy’ari
dan KH Ahmad Dahlan merupakan dua tokoh papan atas yang mempunyai peran
signifikan dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Keduanya
sama-sama berkontribusi penting bagi tegaknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dengan jihadnya masing-masing. Keduanya bersahabat akrab, baik
ketika sama-sama mondok di Pesantren Darat, Semarang (asuhan Kiai Sholeh
Darat), saat bersama-sama berguru di Makkah (antara lain Syekh Khatib
al-Minangkabawi dan Syekh Nawawi al-Bantani) maupun ketika pulang dan mengabdi
di tanah air.
Kedua sahabat karib itu akhirnya sama-sama mendirikan dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebelum NKRI eksis di bumi nusantara ini.
KH Hasyim Asy’ari lahir di Jombang, Jawa
Timur. Ia putra dari kiai yang cukup ternama, yang kental dengan dunia
pesantren, Kiai Asya’ri sedangkan KH Ahmad Dahlan lahir dan besar di
Yogyakarta. Ia adalah salah satu priyayi di kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat.
Sebagai bangsawan, ia memiliki gelar (nama) Raden Ngabehi Muhammad Darwis.
Setelah pulang dari Makkah, namanya diganti menjadi KH Ahmad Dahlan.
Tidak ada yang meragukan kapasitas intelektual kedua tokoh ini. Sebab, keduanya mendapat pendidikan keagamaan yang mumpuni. Mulai dari belajar kepada orang tua mereka yang memang keturunan darah biru, hingga ke Makkah, tempat terbaik untuk menuntut ilmu waktu itu, khususnya ilmu agama.
Buku ini menghadirkan kiprah keduanya dalam perspektif yang berbeda. Bukan birografi atau sejarah perjuangannya tapi sisi lain terkait konteks rutinitas keseharian mereka dalam menjalani hidup hingga dewasa. Sebagai manusia biasa, mereka punya kebiasaan-kebiasaan sebagaimana dilakukan anak sezamannya. Namun karena keduanya akhirnya bermetamorfosa sebagai tokoh nasional, kebiasaan itu menjadi menarik dan penting diketahui agar bisa menginspirasi kita semua dalam menokohi kedua panutan tersebut.
KH Hasyim Asy’ari, ketokohannya sejak kecil sudah tampak. Misalnya, ia suka melerai temannya yang bertengkar, dan merukunkannya kembali. Bahkan pernah kepalanya sampai berdarah terkena pukulan dari salah satu temannya yang sedang ribut. Tapi ia tidak marah dan tidak membalas. Karena sikapnya yang baik itu, kedua orang yang bertengkar itu akhirnya berhenti, dan merawat kepala Hasyim (hal. 183).
KH Hasyim Asy’ari juga mendalami ilmu kanuragan, pencak silat. Ini tak lepas dari kondisi sosial yang memang menuntutnya mempunyai keahlian bela diri. Ketika itu, Tebuireng –tempatnya tinggal— termasuk daerah yang berbahaya lantaran masyarakatnya banyak yang suka mabuk-mabukan, berandalan, penjudi dan sebagainya. Pernah beberapa kali, kediaman KH Hasyim Asy’ari disatroni penyamun. Itulah sebabnya ia dan santri-santrinya belajar pencak silat, dengan mendatangkan guru ilmu kanuragan dari Cirebon.
Semasa masih remaja, KH Hasyim Asy’ari juga pernah menggembala sapi dan kambing. Ketika nyantri kepada Kiai Muhammad Kholil, Bangkalan, Hasyim disuruh angon sapi dan kambing milik gurunya itu. Ia yang merawat, membersihkan kandang dan mencari rumput. Itu dilakukan Hasyim semata-mata karena patuh terhadap titah sang guru. Bahkan pernah suatu hari, ia dengan senang hati membongkar septic tank dan mengaduk-aduk isinya hanya untuk mencari cincin gurunya yang hilang, kecebur di kloset. Dan cincin itupun ditemukannya. Bagi KH Hasyim Asy’ari, patuh dan menghormati serta membahagiakan guru adalah segala-galanya (hal.196). Dari situlah barokah sang guru diharapkan hinggap. Kenyataannya, KH Hasyim Asy’ari, menjadi tokoh besar, bahkan “melebihi” gurunya.
Sementara itu kebiasaan KH Ahmad Dahlan mengajar pendidikan agama dengan media biola. Ini cukup fenomenal dan tidak lumrah bagi masyarakat Kauman –tempatnya tinggal- ketika itu. Mereka bahkan menganggap apa yang diajarkan oleh Dahlan adalah pelajaran orang kafir. Kendati demikian, kebiasaan KH Ahmad Dahlan berjalan terus tanpa merasa takut atau gentar. Dalam banyak kesempatan ia terus bermain biola.
Sesungguhnya, dengan biola, KH Ahmad Dahlan ingin mengajarkankan kepada murid-muridnya bahwa hidup adalah keselarasan. Jika tidak selaras sesuai tuntunan agama, maka hidup akan berantakan. Seperti halnya biola, jika tidak dipetik dengan piawai, bunyi yang dihasilkan tidak beraturan (hal.94).
KH Ahmad Dahlan juga terbiasa mengamalkan amalan-amalan yang dilakukan oleh kaum nahdliyyin. Misalnya membaca doa qunut ketika shalat Subuh, ikut yasinan dan tahlilan dan shalat tarawih 20 rakaat. Memang sebagian warga Muhammadiyah melaksanakan shalat tarawih 8 rakaat. Tapi tidak demikian dengan pendirinya, KH Ahmad Dahlan. Ia terbiasa melakukan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat dengan 10 salam. Kebiasaan KH Ahmad Dahlan yang demikian itu tidak terlalu berlebihan. Pasalnya, bersama KH Hasyim Asy’ari, ia belajar kepada ulama-ulama yang bermadzhab Syafi’i. di Makkah. Nama KH Ahmad Dahlan sendiri terinspirasi dari nama mufti di Makkah, Ahmad bin Zaini Dahlan. Nama KH Ahmad Dahlan diberikan oleh gurunya, Sayyid Bakri Syaththa yang bermadzhab Syaf’i. Tak hanya itu, di dalam kitab fiqih Muhammadiyah (ajaran KH Ahmad Dahlan) yang asli pada bab shalat disebutkan bahwa shalat tarawih adalah shalat dengan 20 rakaat dan setiap 2 rakaat harus salam.
Namun setelah berdirinya Majlis Tarjih di era kepemimpinan KH Mas Mansyur, terjadilah revisi-revisi, termasuk keluarnya putusan tarjih yang meniadakan praktek doa qunut dalam shalat subuh dan jumlah shalat tarawih yang menjadi 11 rakaat. Alasan yang dikemukakan Majlis Tarjih adalah karena Muhammadiyah bukan Dahlaniyah (hal.119).
Membaca buku ini, sama halnya dengan kita membaca sejarah dan keistimewaan KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan yang terungkap melalui kebiasaan-kebiasaannya sehari-hari. Kebiasaan-kebiasaan itulah yang kemudian membentuk karakter dan ketokohan sang kiai. KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan adalah idola kita semua. Warisannya (NU dan Muhammadiyah) sampai detik ini, menjadi salah satu sokoguru penyangga kekuatan bangsa Indonesia. Ya, kebiasaan-kebiasaan yang sederhana dan biasa, namun mampu mengantarkan pelakunya menjadi tokoh yang luar biasa. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar