Tegakkan Kembali Amar
Ma’ruf Nahi Munkar (2 – Habis)
Oleh: Ach. Muzakki Kholil
“Setan yang bisu.” Kalimat ini pas disematkan
kepada orang yang mengaku Muslim tapi acuh tak acuh ketika melihat kemunkaran.
Meskipun tidak terlibat, sikap diamnya itu menunjukkan bahwa ia meng-iyakan
kemungkaran tersebut. Sikap apatis yang demikian sangat tidak di harapkan oleh
ajaran agama kita. Muslim yang sejati harus tergugah ketika melihat kemungkaran
merajalela, atau kebaikan yang semakin dijauhi.
Amar ma’ruf nahi munkar, meskipun merupakan
kewajiban kolektif (fardhu kifâyah), namun akan menimbulkan manfaat yang sangat
besar bila tidak dilaksanakan. Sebagaimana dijelaskan pada edisi yang lalu
(40), amar ma’ruf merupakan salah satu syiar dan tonggak agama yang sangat
penting. Ajaran dan nilai-nilai agama akan terejawantahkan di tengah-tengah
umat apabila amar ma’ruf ini di lakasanakan dengan baik. Jika diabaikan, ajaran
Islam akan terbengkalai pula. Jika ajaran dan nilai-nilai agama tidak
dihiraukan pemeluknya sendiri, tetunya menjadi tanda kehancurannya. Ini hanya
sebagian akibat meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar.
Pengajian kali ini akan melanjutkan
pembahasan amar ma’ruf nahi munkar dari sisi ekses yang ditimbulkan akibat
tidak melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, dan dari sisi teknis
pelaksanaannya. Selain kitab an-nashâ’ihud-dîniyyah karya al-Habib Abdullah al-Haddad,
penulis juga mengutip keterangan dari kitab I’ânatuth-Thâlibîn karya Sayyid
al-Bakri bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi dalam bab al-Jihâd. Semoga bermanfaat.
Ketahuilah jika di antara kita menjumpai
seseorang terjebak dalam rumah yang terbakar, atau melihat seseorang hampir
tenggelam, sedangkan kita mampu menolongnya, maka tentu hati yang punya nurani
akan tergerak untuk membantu orang yang tertimpa bencana itu. Apalagi jika
bencana itu tertimpa pada saudara kita sendiri.
Demikian ini juga terjadi dalam kehidupan
keberagamaan kita. Apabila dijumpai saudara kita yang seiman terjerumus dalam
kemungkaran, dada seorang muslim sejati akan tergugah untuk menolongnya lepas
dari jerat kemungkaran. Seperti ketika ia melihat seseorang yang hampir mati
karena tenggelam atau karena terbakar. Bahkan lebih dahsyat, karena bencana
berupa kebakaran atau lainnya hanya bersifat sementara, tidak abadi. Sedangkan
terjerumus dalam kemungkaran merupakan bencana akhirat.
Di samping itu, menyelamatkan saudara kita
dari melakukan kemungkaran atau meninggalkan sebuah kewajiban, sebenarnya untuk
menyelamatkan diri kita sendiri juga. Ingatlah azab yang menimpa umat-umat
terdahulu, tidak lain karena ulama dan pendeta mereka meninggalkan amar ma’ruf
nahi munkar. Mereka mendapat laknat dari Allah dan selurunya mendapatkan azab
tanpa pandang bulu.
Dalam salah satu riwayat di sebutkan bahwa
pada Hari Kiamat nanti terdapat seseorang yang menggantungkan dirinya pada
orang lain, padahal orang lain tersebut tiak mengenalnya. Terjadilah dialog
antara keduanya. Orang kedua bertanya; “Apa yang kau inginkan dariku, padahal
kita tidak saling mengenal?” Orang pertama menjawab; “Waktu di dunia dulu, kau
melihatku melakukan perbuatan dosa, tapi kau biarkan dan tidak kau larang!”
Ketahuilah, salah satu yang menyebabkan doa
kita tidak didengarkan dan taubat kita tidak dihiraukan oleh Allah, karena kita
meninggalkan amar ma’ruf mahi munkar. Janganlah kalian gentar untuk menegakkan
amar ma’ruf nahi munkar, janganlah beranggapan bahwa melaksanakan amar ma’ruf
dapat menghalangi rizki, atau mendekatkan pada kematian. Semua itu telah
digariskan oleh Allah.
Ketahuilah, barangsiapa melihat kemungkaran,
dan tidak dicegahnya padahal dia memiliki kemampuan, maka dia berarti ikut
andil dalam kemungkaran itu. Begitu juga, jika rela terhadap suatu kemungkaran,
meskipun tidak berada di tempat terjadinya kemungkaran tersebut, dia dianggap
terlibat di dalamnya. Dan sebagai konsekwensinya, dia juga mendapat dosa dan
siksa dari Allah.
Jikalau kita tidak memiliki kemampuan, kita
harus tetap ingkar di dalam hati, dan lebih baik lagi kita menjauh dari tempat
terjadinya kemungkaran.
Ketahuilah, dalam melaksanakan amar ma’ruf
hendaknya menjauhi sikap kasar dan merasa sok suci. Bersikaplah lemah lembut
pertama kali, dan jika menemui jalan buntu, ambillah langkah tegas yang
proporsional. Mulailah dari diri sendiri, sebelum memerintahkan atau melarang
orang lain.
Begitu juga yang harus diperhatikan ialah
menjauhi sikap tajassus (meneliti kesalahan orang lain). Diperintahkannya amar
ma’ruf nahi munkar bukan berarti kita menspionase orang lain. Tidak. Yang kita
lakukan adalah mencegah kemungkaran yang ada di hadapan kita.
Hal lainnya yang penting diperhatikan bagi
pengemban amar ma’ruf adalah harus mengetahui bahwa kewajiban yang
diperintahkan atau kemungkaran yang dilarang adalah kewajiban atau kemungkaran
yang telah disepakati para ulama, seperti kewajiban salat lima waktu, zakat,
puasa Ramadhan, atau larangan berzina, mencuri, dan lain-lain. Kewajiban atau
larangan yang masih diperselisihkan ulama bukanlah sebagai obyek amar ma’ruf
nahi munkar. Atau masih diperselisihkan, namun si pelaku meyakini bahwa apa
yang dikerjakan adalah haram, maka harus dicegah, meskipun yang mencegah tidak
sama keyakinannya dengan pelaku.
Sebagai contoh, seseorang yang bermazhab
Syafii ketika salat tidak membaca basmalah dalam membaca al-Fatihah, padahal
menurut mazhab Syafii, basmalah termasuk surat al-Fatihah. Maka, bagi yang
mengetahuinya harus menegurnya, meskipun mazhab yang dianut tidak sama. []
Sumber : Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar