Kebudayaan
Bukan Hanya Tari
Oleh:
Mohamad Sobary
Di luar
negeri para staf kedutaan besar kita dan diplomat-diplomat kita sering menyebut
ungkapan ”duta kebudayaan” yang berarti serombongan seniman yang didatangkan
jauh dari negeri kita untuk menyelenggarakan suatu pentas kesenian.
Kita tahu
yang datang itu bisa seorang dalang dengan rombongannya yang diundang untuk
mementaskan suatu lakon khusus yang dipesan sang duta besar. Bisa juga
serombongan penari atau seorang penari terkemuka yang namanya sudah mendunia.
Kedatangannya sebagai ”duta kebudayaan” jelas bakal mengangkat nama dan gengsi
bangsa kita di mata bangsa-bangsa asing. Kita tahu di negeri kita ada
beratus-ratus jenis atau gaya tari daerah yang masing-masing memiliki pesona
yang khas dan digemari bangsa-bangsa asing.
Sang duta
bisa memilih kelompok seni tari mana saja yang diminta datang. Dunia sudah tahu
tari Jawa, klasik maupun kontemporer, sering ditunjuk mewakili
kelompok-kelompok kesenian lain. Sering pula dipilih tari Bali yang tampak atau
terasa begitu dinamis, meriah, dan menghentak kesadaran para penonton. Tapi,
kita tahu bahwa ”duta kebudayaan” tadi intinya tari. Orang Jawa menyebutnya
”joget”.
Jika
diringkas apa adanya, kebudayaan itu sinonim dari tari. Tak bisa disangkal
bahwa ada juga yang menyamakannya dengan seni. Kebudayaan itu seni. Tapi, pada
akhirnya, seni di situ artinya tak lain dari apa yang sudah dibahas di atas;
tari. Kebudayaan identik dengan tari.
Pemahaman
seperti ini sudah lumrah. Orang menganggapnya tidak ada cacat celanya. Pejabat
negara, orang yang pernah menempuh pendidikan tinggi, pun memahami makna
kebudayaan sebagai persamaan kata dari tari. Di sini pejabat atau bukan tidak
ada bedanya. Pegawai-pegawainya apalagi. Mereka tak mungkin memiliki pendapat
dan cara pandang lain dari atasan mereka.
Kaum
terpelajar swasta yang notabene bekerja di bidang yang disebut kebudayaan,
wakil suatu lembaga kebudayaan, atau pemimpin tertinggi suatu lembaga yang
omongan dan keputusannya ibaratnya mampu memindah sebuah gunung, atau
mengeringkan lautan, pemahamannya tentang kebudayaan tidak akan pernah lain
selain tari. Pejabat tinggi, di dalam pemerintahan atau swasta, yang salah
pemahamannya atas suatu konsep kebijaksanaannya jelas akan salah.
Makna
kebudayaan berubah menjadi tari ini secara umum, jika ada kesalahan di
dalamnya, kesalahan itu dianggap hanya kecil dan sepele. Itu kesalahan yang
tidak penting. Tidak penting? Kesalahan itu bukan sepele, tapi fatal. Kesalahan
dalam formulasi kebijakannya fatal pula. Akibatakibat yang ditimbulkannya di lapangan
pun tidak kalah fatal.
Sastrawan
dan filosof kita, Sutan Takdir Ali Sjahbana, sejak berpuluh-puluh tahun yang
lalu menganggap kebudayaan kita berada dalam suatu krisis. Banyak penentang
Takdir, yang tak mau menerima argumennya tentang krisis tadi. Bagi HB Jassin,
kita tidak dalam krisis. Ceramah kebudayaan Takdir, di Taman Ismail Maruki,
Cikini, Jakarta, sekitar tahun 1975-an, di mana sastrawan ini menegaskan
kembali kondisi krisis kita dan kita pun krisis di bidang sastra, ditanggapi
dengan serius, dengan berbagai langgam pemikiran yang berbeda.
”Kita ini
rileks saja. Tak usah terlalu serius. Tak perlu krisis-krisis segala,” kata HB
Jassin dalam perjalanan mobil dari Cikini ke Kampus UI Rawamangun, tempat di
mana sore itu Jassin akan mengajar di Fakultas Sastra. Tapi, apakah hubungan
antara pandangan Takdir dengan pemikiran umum yang berkesimpulan bahwa ketika
kita mengalami krisis moneter dulu itu pada hakikatnya kita berada dalam krisis
kebudayaan?
Mengapa
gagasan Takdir mengenai krisis kebudayaan kita tolak kemudian seperti mendadak
dan tiba-tiba saja kita mengakui bahwa kita berada dalam krisis kebudayaan
ketika krisis moneter tersebut? Apakah kita melompat dari suatu logika ke
logika lain yang sama sekali tak berhubungan satu dengan yang lain? Apakah
logika Takdir tak ada hubungan dengan logika umum tentang krisis tersebut?
Diskusi
demi diskusi, renungan demi renungan, dan obrolan demi obrolan mengenai krisis
dulu itu membuat kita berkesimpulan bahwa yang sedang kita hadapi pada hakikatnya
sebuah krisis kebudayaan. Sebab-sebabnya kita tak pernah menaruh peduli
terhadap perkara kebudayaan. Kita biarkan kebudayaan telantar. Kita seperti
sengaja membunuhnya melalui cara kita memandang persoalan, cara kita berpikir,
cara kita bersikap, dan bertingkah laku dalam hidup sehari-hari.
Hal yang
tak terlalu langsung berhubungan dengan tindakan sehari-hari seperti cara
merumuskan kebijakan di dalam politik dan kebudayaan bahkan tampak jelas kita
tak peduli sama sekali dengan kebudayaan. Takdir memandang bahwa kita berada
dalam krisis karena bahasa kita, ungkapan kebahasaan kita, dan cara kita
berpikir terlalu ruwet, melingkarlingkar, dan tidak tajam, ”to the point”
sebagaimana ungkapan dalam bahasa Inggris yang rasional.
Mungkin
bukan pada urusan ”rasional” dan ”irasional” itu pokok dan pusat persoalan kita
yang membuat kita dirundung krisis. Persoalannya, kita terlalu menyepelekan
makna kebudayaan. Ini menyangkut cara pandang, cara pemaknaan, dan kapasitas
kita menelusur ke persoalan-persoalan lebih mendalam dan lebih kompleks
mengenai kebudayaan tadi. Kita kembali ke persoalan semula, ketika kebudayaan,
perkara yang sangat kompleks, serius, dan mendalam, yang hanya dimaknai sebagai
tari tadi.
Kebudayaan,
sekali lagi, dibikin identik dengan seni dan pengertian seni disamakan dengan
tari. Apa yang serius dan berbahaya di sana? Kalau suatu perusahaan terancam
kemunduran serius karena disiplin karyawan mengendur, tanggung jawab mudah
diabaikan, dan kepedulian maupun sikap terhadap kehidupan bersama dibiarkan
makin jauh dari aspirasi bersama.
Dapatkah
persoalan kompleks dan serius di bidang kebudayaan itu kita sederhanakan hanya
sebagai persoalan tari misalnya. Karyawan sudah lama tak melihat pertunjukan
seni tari di kantor pada saat-saat senggang. Sementara manajemen, para
pimpinan, tak menaruh peduli pada lunturnya seni pertunjukan di kantor?
Persoalan-persoalan kebudayaan yang begitu kompleks di atas sumbernya ada di
berbagai segi yang sudah disebutkan tadi dan tidak ada sama sekali hubungannya dengan
tari.
Apa yang
terjadi kalau kemudian semua pihak menyadari dan bertindak serentak untuk
mengatasinya dengan menggalakkan kembali pertunjukan tari di kantor? Dapatkah
kira-kira disiplin, tanggung jawab, kepedulian, dan sikap terhadap nilai-nilai
kehidupan bersama kita abaikan, kemudian kita melakukan perbaikan tambal sulam
seadanya dengan lebih peduli dan boleh jadi mengutamakan pertunjukan tari?
Dapatkah
tari, seni tari, atau seni panggung itu mengatasi persoalan krisis yang begitu
mendalam dan serius? Ini yang terjadi di masyarakat kita. Apa yang penting dan
fundamental bagi kehidupan bangsa kita ini kita abaikan dan kita habis-habisan
menata panggung tari di atas panggung, hi ha hi hi, dan kita merasa telah
menata kehidupan. Kebudayaan tak bisa disederhanakan menjadi sekadar tari,
hanya tari. []
KORAN
SINDO, 03 Maret 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk
Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar