Merawat Keragaman
Oleh: Wasid Mansyur
“Bagi NU, NKRI adalah harga mati.” Itulah
salah satu spanduk yang berkibar disepanjang jalan strategis menjelang
pelaksanaan Konferwil NU Jawa Timur di Pesantren Bumi Shalawat Tanggulangin
Sidoarjo beberapa bulan lalu. Bagi penulis, makna penting dari spanduk itu
–selain pemberitahuan—adalah penegasan bahwa NKRI bagi NU adalah keniscayaan
yang tidak perlu digugat kembali.
Pilihan itu sekaligus merupakan komitmen
sejarah bangsa sehingga patut di jaga sekaligus dipertahankan, kapanpun. Bukan
saja dalam rangka kepentingan NU dan pesantren, tapi juga kepentingan
masyarakat luas yang beragam suku, agama dan etnis. Keragaman ini adalah aset
bangsa yang harus dirajut secara terus menerus dalam bingkai keharmonian.
Dengan cara ini NKRI akan terus berkibar dan jauh dari kekerasan.
Tapi, masih mudahnya letupan kekerasan yang
mengatasnamakan agama di berbagai daerah, setidaknya menggambarkan bangsa ini
rentan konflik. Meskipun, tidak semua kekerasan itu murni persoalan agama, tapi
ada kepentingan politik, ekonomi dan penyakit sosial lainnya yang selalu
menunggangi sekedar agar kepentingan pragmatisnya tercapai. Untuk itu, ada dua
hal yang harus diperhatikan agar kekerasan itu mudah terjadi. Pertama, perlunya
kedewasaan beragama. Kedewasaan beragama salah satunya –meminjam pandangan Kiai
Mustofa Bisri (2009)—adalah perlunya umat beragama terus belajar, dan terus
mendengarkan orang lain.
Belajar tanpa batas dan mendengarkan
pandangan orang lain akan menuntut orang agar tidak pernah puas terhadap
pengetahuan yang dikuasainya, alih-alih akan merasa dirinya paling benar (truth
claim). Kepuasan atas keilmuan yang dikuasai adalah awal dari bencana, sebab
akan memunculkan perasaan sempurna dan menumbuhkan ke’akuan’ yang tinggi,
padahal keilmuan yang dikuasai itu masih bersifat parsial.
Gus Mus, mengibaratkam fenomena ini dengan
hikayat “Meraba Gajah dalam Gelap”, yang setiap peraba akan mendefinisikan
gajah berdasarkan apa yang dirabahnya, dari gajah seperti pohon kerena yang
dirabah adalah kakinya, atau seperti kipas sebab yang dirabah adalah telinganya,
atau seperti pecut sebab yang dirabah adalah ekornya, dan lain-lain. Oleh
karenanya, pemahaman kita atas Islam itu –sebagaimana gajah-- perlu terus
menerus didialogkan sesuai dengan dengan konteks sosial dan budaya
masyarakatnya sehingga tidak ada makna yang tunggal, kecuali dalam rangka
membumikan kemaslahatan holistik (al-mashlahah al-‘ammah) bagi kemanusiaan.
Bangsa Indonesia dengan keragaman suku,
agama, dan etnis meniscayakan keragaman nilai, pemikiran serta paradigma. Itu
artinya, sudah saatnya tidak perlu memaksakan pemahaman tertentu kepada orang
lain yang berbeda, sekalipun setiap agama secara internal berkewajiban
mendakwahkan agamanya kepada orang lain. Hanya saja, konteksnya berdakwah perlu
menyampaikan dengan cara-cara yang lebih arif agar keberadaan agama (baca;
Islam) tidak dipahami sebagai sumber kekerasan sebagaimana dipahami sepihak dan
sinis oleh kalangan Barat. Jadi memaksakan kehendak dan mudah menyalahkan yang
lain setidaknya bertentangan dengan spitit Islam yang mengajarkan bahwa Muslim
–sejati—adalah orang Muslim yang tidak mudah bikin “onar” kepada orang lain
baik melalui mulut ataupun tangannya (al-muslim man salima al-muslimun min
lisanihi wayadihi).
Maka, pembumian Islam --yang pernah
dilontarkan oleh Gus Dur-- harus perlu terus digencarkan, demi keragamaan ini
tepat diterjaga dengan apik sebagai aset bangsa. Karenanya, NU dan ormas yang
seirama seperti Muhammadiyah harus menempatkan posisinya secara strategis dan
tepat, setidaknya berada dalam garda terdepan, dalam rangka menangkis berbagai
upaya gerakan apapun yang menyulut konflik, bahkan memporak-porandakan
keragaman bangsa yang dibalut dalam semboyan bhinneka tunggal ika. Sebagai
ormas keagamaan, keseriusannya dalam mengawal hal ini akan lebih nyata
manfaatnya bagi masyarakat daripada terseret jauh dalam momen-momen politik
kekuasaan, baik pilkada, pilgub, pileg, maupun pilpres, yang berakibat pada
munculnya faksi-faksi.
Sementara kedua, perlunya bersikap rendah
hati. Rendah hati yang dimaksud adalah senantiasa menoleh dan menghargai kepada
orang lain, sejelek apapun prilaku orang itu menurut persepsi kita. Artinya,
dengan rendah hati diharapkan akan tumbuh dialog yang harmonis sebab dengan
begitu ada keinginan orang kepada yang berbeda tidak saling menyalahkan. Contoh
kasus, maraknya Salafi-Wahabi yang memporak-porandakan keislaman NU, termasuk
menggiring ideologi bangsa ke ideologi Islam, di berbagai daerah harus disikapi
dengan jernih pula, dan mengutamakan arus dialog. Perlunya dialog itu agar
dapat ditemukan sisi kesamaan, bukan malah memperuncing perbedaan yang bersifat
furuiyyah (cabang), misalnya dengan membid’ahkan tradisi tahlilan, tingkeban,
muludan, dan sejenisnya.
Di luar itu, mestinya umat Islam secara umum,
khususnya NU, harus memikirkan kondisi riil yang dihadapi masyarakat dan bangsa
berkaitan dengan kehidupannya sehari-hari, misalnya isu-isu kemiskinan, putus
sekolah, korupsi, penjualan anak, dan lain-lain. Bukan malah terjeka pada
isu-isu formal, terlebih bila apa yang diperjuangkan hanya didasari pada
semangat ideologisasi Islam, atau sekedar berusaha mendakwahkan ideologi Islam
transnasional sesuai dengan keinginan para ideolognya di satu pihak dan sesuai
dengan kucuran dana asing di pihak yang berbeda.
Oleh karenanya, kejujuran beragama itu penting,
termasuk menempatkan keberislaman ini sesuai dengan porsinya. Kejujuran itu
tidak bisa dilihat hanya dalam konteks formalitas semata, tapi perlu
memahaminya lebih mendalam. Dengan sering membid’ahkan orang lain, sama artinya
menjadikan madhabnya sebagai satu-satunya kebenaran apalagi akhirnya
menggunakan pemaksaan pemahaman melalui penguasaan atas aset-aset peribadatan
Muslim yang berbeda. Umat Islam, khususnya Salafi-Wahabi, harus belajar dari
hubungan harmoni Imam Ahmad ibn Hanbal –yang menjadi spirit Salafi-Wahabi-
dengan Imam Syafi’i, dimana keduanya sekalipun berbeda tetap dalam bingkai
menghormati sehingga dalam coretan sejarah keduanya saling bersilaturrahim,
bahkan sampai diantara keduanya meninggal, yakni imam Syafi’i selalu sempat
berziarah kemakam imam Ahmad.
Dengan cara-cara yang jujur dan sikap arif
dalam segala bidang, sangat dimungkinkan merawat keragaman bangsa ini akan
tercipta secara alami, tidak cenderung dipaksakan. Kesadaran yang tumbuh dari
diri sendiri itulah kedepan perlu dikembangkan. Bukan menunggu upaya “paksa”
yang dilakukan oleh pemerintah sebab kita lahir dan hidup di bumi Indonesia
ini. Karenanya, generasi yang terlanjur terlibat dalam aksi teror ataupun
aksi-aksi radikal, baik prilaku maupun pemikiran sudah saatnya ber”taubat”
dengan belajar kembali tentang Islam secara holistik di satu sisi dan
memperhatikan betul nilai-nilai kebangsaan ini di sisi yang berbeda. Dengan
cara ini diharapkan tidak muncul pemahaman parsial, yang bahkan diperparah bila
yang parsial itu kemudian dijadikan satu nilai yang paling dianggap benar. []
Wasid Mansyur, Tim Pengembangan Pusat Ma’had
al-Jami’ah UIN Sunan Ampel Surabaya, aktivis Lembaga Dakwah NU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar