Duh,
Vonis MK tentang PK
Oleh: Moh
Mahfud MD
Saya
sedang dalam perjalanan dari Bengkulu menuju Musi Rawas bersama Bupati Dr
Ridwan Mukti, Kamis sore dua hari lalu, saat mendengar berita melalui Twitter,
”Mahkamah Konstitusi (MK) kembali keluarkan vonis mengejutkan”.
MK
mengabulkan permohonan Antasari Azhar agar upaya hukum peninjauan kembali (PK)
dapat diajukan lebih dari sekali, bahkan bisa berkali-kali. Saya belum membaca
vonis MK tentang alasan-alasan dan pembatasan atau syarat-syarat untuk
mengajukan PK lagi atas PK sebelumnya. Saya berpikir spontan saja sebagai warga
negara yang cemas atas masa depan dunia hukum begitu mendengar ada vonis
seperti itu.
Bagi
saya, vonis itu mengacaukan, bahkan membahayakan dunia hukum kita. Bagi yang
awam hukum perlu dijelaskan bahwa PK adalah pemeriksaan kembali oleh hakim
untuk dapat ditinjau kembali dengan putusan baru atas perkara yang sudah
diputus dan sudah berkekuatan hukum tetap (final and binding). PK adalah upaya
hukum luar biasa atas perkara yang sudah diperiksa dan diputus melalui tiga
tingkatan sebelumnya yang disediakan oleh hukum yakni pada tingkat pengadilan
negeri (pertama), tingkat pengadilan tinggi (banding), dan tingkat Mahkamah
Agung (kasasi).
PK
merupakan upaya hukum luar biasa yang bisa diajukan terpidana jika, antara
lain, ada bukti baru (novum) atau jika ternyata ada kekeliruan hakim dalam
menerapkan hukum pada pengadilan yang sudah memutuskannya secara final. Tetapi,
dalam praktiknya, PK sering dijadikan tingkatan pengadilan keempat setelah
upaya kasasi. Dalam pengalaman bahkan ada vonis pengabulan PK yang sedang
dipersoalkan di Komisi Yudisial karena orang yang mengajukan PK sedang buron.
Bagi
publik, putusan MK itu dapat mengacaukan dunia hukum karena beberapa hal.
Pertama, dengan pembukaan pintu bagi PK di atas PK itu, kepastian hukum menjadi
hilang karena orang yang sudah dihukum masih bisa dianggap belum bersalah.
Benar, proses PK tak bisa menangguhkan eksekusi, tetapi dalam praktik banyak
orang tidak dieksekusi dengan alasan menunggu putusan PK.
Kepastian
hukum, seperti yang dibangun dalam paradigma hukum progresif di MK, memang
harus diletakkan di bawah keadilan, tetapi kepastian hukum tidak selalu tidak
adil sebab kerapkali keadilan itu bisa ditemukan pada kepastian hukum. Selain
itu, pandangan hakim tentang keadilan juga bisa menjadi tidak adil menurut
public common sense.
Hukum
progresif tidak pernah berhenti pada kunci mati ”kepastian hukum” atau
”keadilan” semata, tapi bisa bergerak sebagai pendulum antara keduanya pada
kasus-kasus konkret yang dihadapi penegak hukum, bukan mengunci pada hukum
abstrak yang bersifat erga omnes. Kedua, orang yang sudah selesai menjalani
hukuman karena PK pertamanya ditolak suatu saat, ketika para hakim yang
menanganinya sudah pensiun, dia bisa mengajukan PK lagi.
Bukan
hanya dengan mengajukan novum, melainkan dengan alasan hakim yang memeriksanya
dulu telah melakukan kesalahan dalam menerapkan hukum. Bahaya ini bisa lebih
jauh terjadi karena jika PK di atas PK-nya dikabulkan, secara teoretis yang
bersangkutan bisa menuntut ganti rugi kepada negara dengan jumlah yang bisa
tidak tanggung-tanggung. Alasannya, negara telah menghukumnya dalam tindak
pidana yang terbukti, menurut hasil PK yang terakhir, tidak pernah
dilakukannya.
Kalau
yang seperti ini dikolusikan antara terpidana, kuasa hukum, dan hakim seperti
yang disinyalir banyak terjadi selama ini, negara bisa dituntut triliunan
rupiah oleh banyak terpidana yang beramai-ramai mengajukan PK atas hukuman yang
telah, terlanjut, dan dijalaninya. Bisa juga vonis PK dibeli secara kolutif,
bukan untuk menuntut ganti rugi uang kepada negara, melainkan untuk dijadikan
tiket guna menduduki jabatan-jabatan publik karena berdasar PK terakhir dirinya
sudah bersih secara total dan sudah memenuhi syarat untuk menjabat.
Bukan
tidak mungkin pengabulan PK itu dilakukan secara kolutif antara hakim dan
terpidana seperti yang banyak disinyalir dalam putusanputusan pengadilan selama
ini. Kalau asumsi yang dipergunakan MK misalnya selama ini pengadilan sering
sesat dan salah karena dimafiakan, pembukaan PK di atas PK bukanlah solusi.
Bisa saja kesesatan dan kolusi dilakukan juga pada tingkat PK di atas PK itu.
Moralitas
penegak hukumlah sumber masalahnya. Saya termasuk yang bersimpati dan berempati
pada Antasari yang merasa dizalimi melalui rekayasa atas kasusnya. Tetapi,
kalau solusinya membuka PK di atas PK atas UU yang bersifat erga omnes, menurut
saya, tidaklah tepat. Mudaratnya akan lebih banyak daripada manfaatnya.
Sebenarnya misalnya sesudah terjadi pergantian pemerintahan melalui pemilu,
Antasari bisa meminta amnesti dan rehabilitasi seperti yang diberikan
pemerintahan Habibie terhadap AM Fatwa, Sri Bintang Pamungkas, dan lain-lain.
Banyak
Tuips yang bertanya kepada saya, apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi
persoalan ini. Ada juga yang berteriak agar MK dibubarkan saja karena
kehadirannya telah mengacaukan dunia hukum. Tentu saya tak setuju dengan yang
terakhir ini karena keberadaan MK merupakan perintah konstitusi, kecuali kita
bersepakat mengamandemen konstitusi. Sangat merisaukan. Lalu? []
KORAN
SINDO, 08 Maret 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar