Rabu, 19 Maret 2014

Mahfud MD: Duh, Vonis MK tentang PK



Duh, Vonis MK tentang PK
Oleh: Moh Mahfud MD

Saya sedang dalam perjalanan dari Bengkulu menuju Musi Rawas bersama Bupati Dr Ridwan Mukti, Kamis sore dua hari lalu, saat mendengar berita melalui Twitter, ”Mahkamah Konstitusi (MK) kembali keluarkan vonis mengejutkan”.

MK mengabulkan permohonan Antasari Azhar agar upaya hukum peninjauan kembali (PK) dapat diajukan lebih dari sekali, bahkan bisa berkali-kali. Saya belum membaca vonis MK tentang alasan-alasan dan pembatasan atau syarat-syarat untuk mengajukan PK lagi atas PK sebelumnya. Saya berpikir spontan saja sebagai warga negara yang cemas atas masa depan dunia hukum begitu mendengar ada vonis seperti itu.

Bagi saya, vonis itu mengacaukan, bahkan membahayakan dunia hukum kita. Bagi yang awam hukum perlu dijelaskan bahwa PK adalah pemeriksaan kembali oleh hakim untuk dapat ditinjau kembali dengan putusan baru atas perkara yang sudah diputus dan sudah berkekuatan hukum tetap (final and binding). PK adalah upaya hukum luar biasa atas perkara yang sudah diperiksa dan diputus melalui tiga tingkatan sebelumnya yang disediakan oleh hukum yakni pada tingkat pengadilan negeri (pertama), tingkat pengadilan tinggi (banding), dan tingkat Mahkamah Agung (kasasi).

PK merupakan upaya hukum luar biasa yang bisa diajukan terpidana jika, antara lain, ada bukti baru (novum) atau jika ternyata ada kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum pada pengadilan yang sudah memutuskannya secara final. Tetapi, dalam praktiknya, PK sering dijadikan tingkatan pengadilan keempat setelah upaya kasasi. Dalam pengalaman bahkan ada vonis pengabulan PK yang sedang dipersoalkan di Komisi Yudisial karena orang yang mengajukan PK sedang buron.

Bagi publik, putusan MK itu dapat mengacaukan dunia hukum karena beberapa hal. Pertama, dengan pembukaan pintu bagi PK di atas PK itu, kepastian hukum menjadi hilang karena orang yang sudah dihukum masih bisa dianggap belum bersalah. Benar, proses PK tak bisa menangguhkan eksekusi, tetapi dalam praktik banyak orang tidak dieksekusi dengan alasan menunggu putusan PK.

Kepastian hukum, seperti yang dibangun dalam paradigma hukum progresif di MK, memang harus diletakkan di bawah keadilan, tetapi kepastian hukum tidak selalu tidak adil sebab kerapkali keadilan itu bisa ditemukan pada kepastian hukum. Selain itu, pandangan hakim tentang keadilan juga bisa menjadi tidak adil menurut public common sense.

Hukum progresif tidak pernah berhenti pada kunci mati ”kepastian hukum” atau ”keadilan” semata, tapi bisa bergerak sebagai pendulum antara keduanya pada kasus-kasus konkret yang dihadapi penegak hukum, bukan mengunci pada hukum abstrak yang bersifat erga omnes. Kedua, orang yang sudah selesai menjalani hukuman karena PK pertamanya ditolak suatu saat, ketika para hakim yang menanganinya sudah pensiun, dia bisa mengajukan PK lagi.

Bukan hanya dengan mengajukan novum, melainkan dengan alasan hakim yang memeriksanya dulu telah melakukan kesalahan dalam menerapkan hukum. Bahaya ini bisa lebih jauh terjadi karena jika PK di atas PK-nya dikabulkan, secara teoretis yang bersangkutan bisa menuntut ganti rugi kepada negara dengan jumlah yang bisa tidak tanggung-tanggung. Alasannya, negara telah menghukumnya dalam tindak pidana yang terbukti, menurut hasil PK yang terakhir, tidak pernah dilakukannya.

Kalau yang seperti ini dikolusikan antara terpidana, kuasa hukum, dan hakim seperti yang disinyalir banyak terjadi selama ini, negara bisa dituntut triliunan rupiah oleh banyak terpidana yang beramai-ramai mengajukan PK atas hukuman yang telah, terlanjut, dan dijalaninya. Bisa juga vonis PK dibeli secara kolutif, bukan untuk menuntut ganti rugi uang kepada negara, melainkan untuk dijadikan tiket guna menduduki jabatan-jabatan publik karena berdasar PK terakhir dirinya sudah bersih secara total dan sudah memenuhi syarat untuk menjabat.

Bukan tidak mungkin pengabulan PK itu dilakukan secara kolutif antara hakim dan terpidana seperti yang banyak disinyalir dalam putusanputusan pengadilan selama ini. Kalau asumsi yang dipergunakan MK misalnya selama ini pengadilan sering sesat dan salah karena dimafiakan, pembukaan PK di atas PK bukanlah solusi. Bisa saja kesesatan dan kolusi dilakukan juga pada tingkat PK di atas PK itu.

Moralitas penegak hukumlah sumber masalahnya. Saya termasuk yang bersimpati dan berempati pada Antasari yang merasa dizalimi melalui rekayasa atas kasusnya. Tetapi, kalau solusinya membuka PK di atas PK atas UU yang bersifat erga omnes, menurut saya, tidaklah tepat. Mudaratnya akan lebih banyak daripada manfaatnya. Sebenarnya misalnya sesudah terjadi pergantian pemerintahan melalui pemilu, Antasari bisa meminta amnesti dan rehabilitasi seperti yang diberikan pemerintahan Habibie terhadap AM Fatwa, Sri Bintang Pamungkas, dan lain-lain.

Banyak Tuips yang bertanya kepada saya, apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi persoalan ini. Ada juga yang berteriak agar MK dibubarkan saja karena kehadirannya telah mengacaukan dunia hukum. Tentu saya tak setuju dengan yang terakhir ini karena keberadaan MK merupakan perintah konstitusi, kecuali kita bersepakat mengamandemen konstitusi. Sangat merisaukan. Lalu? []

KORAN SINDO, 08 Maret 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar