Siluman Century dan
Medali Untuk KPK
Bambang Soesatyo
Anggota Tim Pengawas Penyelesaian
Kasus Century DPR RI
PROSES hukum mega skandal Bank Century akhirnya mencapai tahapan baru yang strategis. Setelah proses penyelidikan dan penyidikan bertahun-tahun yang rumit dan berliku serta sarat hambatan, satu berkas perkara dengan terdakwa mantan deputi gubernur Bank Indonesia, Budi Mulia, mulai disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Sekaligus mematahkan pernyataan presiden SBY bahwa Boediono atau kebijakan tidak bisa disalahkan atau dipidana.
Lebih dari itu, hasil pemeriksaan KPK berdasarkan pengakuan Mantan Menteri Keuangan dan Ketua KSSK Srimulyani di Washington DC juga membuktikan bahwa Presiden SBY mengetahui masalah Bank Century karena telah dilaporkan Srimulyani kepada Presiden SBY pada 13 November 2008 saat transit di Tokyo, Jepang dalam perjalanan menuju Amerika Serikat untuk mengikuti acara G20. Bahkan menurut keterangan Srimulyani, Presiden memberikan arahan dan kemudian memerintahkan dirinya kembali ke tanah air untuk mengatasi masalah Bank Century.
Kalau boleh dan dimungkinkan oleh aturan dan undang-undang, ingin rasanya DPR atas nama rakyat Indonesia, menganugrahkan "Medali Keberanian" kepada pimpinan dan penyidik KPK. Karena telah menyentuh salah satu mahkota kekuasaan.
Keberanian tersebut harus kita kawal pada tahapan strategis berikutnya di pengadilan. Jangan sampai hakim Pengadilan Tipikor kehilangan nyali saat memeriksa para aktor pembantu dan aktor utama perumus kebijakan bailout yang berujung pada penjarahan triliunan rupiah uang negara itu.
Jika diibaratkan titik pencapaian, proses hukum skandal Bank Century hingga tahap persidangan Budi Mulia di pekan pertama Maret 2014 sudah menempuh perjalanan sangat panjang, rumit dan berbelit. Ukuran waktunya mengacu pada rekomendasi Sidang Paripurna DPR tentang proses hukum kasus Bank Century pada Maret 2010. Dalam rentang waktu hampir tiga tahun (2010, 2011 dan 2012), penanganan mega skandal ini lebih banyak menyuguhkan sandiwara atau rekayasa.
Penegak hukum hanya menyergap orang-orang kecil yang tidak tahu bagaimana proses merumuskan penyelamatan Bank Century oleh beberapa orang anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) dan Komite Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK). Rekomendasi Paripurna DPR menegaskan, ada penyalahgunaan wewenang pada level elit institusi BI dan KSSK. Namun, para elit dari dua institusi itu nyaris tak tersentuh. Bahkan, ada semacam upaya mengacaukan konstruksi hukum kasus ini, dengan cara menangkap dan mengadili sejumlah orang dari luar BI maupun KSSK.
Baru pada 2013, KPK berupaya meluruskan kembali konstruksi hukum kasus Bank Century. Dimulai dengan menetapkan dua mantan deputi gubernur BI sebagai tersangka, serta memeriksa ulang mantan Menteri Keuangan/Ketua KSSK Sri Mulyani di Washington, dan memeriksa juga mantan Gubernur BI yang kini menjabat Wakil Presaiden Boediono.
Tidaklah mengejutkan ketika pada sidang pertama terdakwa Budi Mulya, Kamis, 6 Maret 2014, jaksa penuntut umum KPK langsung menyebut keterlibatan sejumlah nama. "Terdakwa (Budi Mulia) selaku Deputi Gubernur BI, menyalahgunakan wewenang dalam jabatannya secara bersama-sama dengan Boediono selaku Gubernur BI, Miranda S. Goeltom selaku Deputi Senior BI, Siti Fadjriah selaku Deputi Gubernur Bidang 6, Budi Rochadi almarhum selaku Deputi Gubernur Bidang 7, Robert Tantular, dan Harmanus H. Muslim," demikian dakwaan Jaksa Penuntut KPK.
Bunyi dakwaan yang demikian predictable alias tidak mengejutkan. Sebab, semua kebijakan atau keputusan BI yang strategis dirumuskan dan ditetapkan oleh dan dalam Rapat Dewan Gubernur BI. Dengan demikian, Keputusan rapat dewan gubernur BI bersifat kolektif kolegial. Jadi, tidak logis kalau hanya Budi Mulia yang dituduh menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri atau orang lain.
Apalagi dalam berkas perkara Budi Mulia No.BP/06/23/01/2014 yang disusun Jaksa Penuntut KPK pada poin 11 dengan jelas menegaskan ada motif atau niat jahat dan konflik kepentingan dalam penyelamatan Bank Century. Yakni Motif pertama, BI melalui YKK-BI diketahui menempatkan dananya di Bank Century Rp.83 miliar. Sementara kepentingan Dewan Gubernur BI terhadap dana YKK-BI yang ada di Bank Century, ternyata dana tersebut merupakan uang. muka Baperum Multi Griya.
Motif kedua, ada kepentingan penyelamatan nasabah besar Boedi Sampoerna kurang lebih Rp.2 triliun di Bank Century melalui peran Raden Pardede yang dengan sengaja merubah besaran dana penyelamatan Bank Century yang semula Rp.1,7 triliun menjadi lebih rendah. Yaitu Rp.632 miliar agar disetujui KSSK. Sebelumnya diketahui Raden Pardede telah melakukan pertemuan dg Lin Ci Wei (penasehat Keuangan Boedi Sampoerna). Jadi, jelas pemberian bailout Bank Century bukan untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia. Tapi menyelamatkan dana Rp.2 triliun milik Boedi Sampoerna. Karena kalau bank tsb ditutup, Boedi Sampoerna hanya akan memperoleh pengganti jaminan Rp.2miliar dari LPS.
Motif ketiga, merupakan upaya menutupi kesalahan BI dalam pemberian FPJP sebelumnya kepada Bank Century sebesar Rp.689miliar. Hal itu dilakukan utk menyelamatkan Boediono sendiri agar tidak terjerat masalah hukum manakala Bank Century ditutup. Sebab, dia harus mempertanggung jawabkan dana FPJP Rp.689M yang dia berikan kepada Bank Century dengan berbagai rekayasa aturan dan rekayasa dokumen.
Jadi sangat jelas, setelah sidang perdana Budi Mulia itu, masih banyak yang harus digali oleh penyidik KPK maupun para hakim Tipikor. Paling penting yang harus digali hakim Tipikor dari terdakwa maupun para saksi adalah menemukan aktor utama dibalik rangkaian proses penyelamatan Bank Century. Tidak kalah pentingnya adalah sosok yang mengotaki mark up atau penggelembungan gila-gilaan nilai bailout itu. Menemukan aktor utama sangatlah penting karena bisa jadi Boediono hanyalah pemain figuran. Apalagi, Boediono sendiri sudah cuci tangan dengan menunjuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pihak yang semestinya bertanggungjawab dan menjelaskan gelembung dana talangan itu.
Pertanyaan besar yang belum terjawab hingga kini adalah soal aliran dana. Begitu banyak kejanggalan atas masalah yang satu ini. Untuk memperjelasnya, Hakim Tipikor juga perlu menggali kemana saja triliunan rupiah dana talangan yang diambil dari LPS itu mengalir. Siapa saja pihak yang mengambil keuntungan. Sekadar patokan, hakim Tipikor bisa mengacu pada sinyalemen mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang pernah mengungkap sejumlah nama. Timwas DPR untuk kasus Bank Century pun sedang mendalami informasi itu.
Isolasi Wapres
Selama ini, publik bergunjing tentang keterlibatan kekuatan politik tertentu dalam kasus ini. Soalnya, rangkaian transaksi dan peristiwanya, menurut analisis wakil ketua KPK Bambang Widjojanto, terjadi menjelang Pemilu Legislatif April 2009 dan Pemilihan presiden Juli 2009. Maka, dari upaya penggalian aliran dana itu, Hakim Tipikor hendaknya bisa merespons pergunjingan itu; apakah partai politik terlibat dalam skandal keuangan terbesar pasca reformasi dengan modus penyelamatan bank tersebut?
Publik tentu masih ingat laporan PPATK di Pansus DPR untuk kasus Bank Century. PPATK menemukan puluhan miliar dana bailout mengalir ke sejumlah nama mirip tokoh nasional seperti Megawati, Hamzah Hazh dan lain-lain. Setelah dicek, alamatnya tidak jelas. Banyak temuan aliran dana yang profil penerimanya tidak jelas atau palsu.
Selain itu, publik juga mencatat temuan PPATK tentang PT Asuransi Jiwa Proteksi (AJP) yang melakukan transaksi penarikan Rp 4,054 miliar pada Desember 2008. Belakangan AJP diketahui sebagai donatur pasangan calon presiden dan wapres SBY-Boediono. AJP menyumbang kepada tim sukses capres (tertulis resmi di laporan KPU) sebesar Rp.1,4 miliar melalui dua kali transaksi pada 25 Juni 2009, masing-masing Rp 600 juta dan Rp 850 juta.
Begitu juga laporan audit forensik BPK yang menyajikan skema aliran dana yang berlapis-lapis dan rumit. Karena para pembobol itu berusaha menyamarkan jejak transaksi dan aliran dana penerima dari Bank Century. BPK mengungkap, ada penarikan dari orang dekat 'first family' tanpa ada penyetoran, di Bank Century Cabang Pondok Indah. Lalu, BPK juga mengurai dan menemukan aliran dana berliku-liku dari rekeneing Boedi Sampoerna di Bank Century yang akhirnya berujung pada sebuah perusahaan penerbit koran nasional yang sangat dekat, bahkan identik dengan partai tertentu.
Hakim Harus Berani Mendalami
Saat menghadirkan Boediono sebagai saksi Budi Mulia, Hakim Tipikor hendaknya mau mendalami pernyataan Boedino yang tiba-tiba menuding LPS sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas gelembung dana talangan dari Rp 632miliar menjadi Rp 6,7 triliun. Bukankah KSSK yang seharusnya bertanggungjawab karena jumlah yang dikeluarkan LPS sejatinya berdasarkan rekomendasi KSSK?
Apalagi, dalam dakwaan Jaksa Penuntut KPK untuk terdakwa Budi Mulia, sama sekali tidak disebutkan keterlibatan LPS secara detail. Demikian juga dengan ketua KSSK Srimulyani, yang dalam berkas pemeriksaannya tegas-tegas mengatakan bahwa data BI tidak akurat. Dan, data itu sangat mempengaruhi perhitungan besaran dana penyelamatan Bank Century.
Sri Mulyani kecewa dan sangat marah. Pasalnya, pada Sabtu subuh pukul 05.00 WIB, 22 November 2008, dia menandatangani persetujuan jumlah dana bailout Rp 632 miliar sesuai permintaan Boediono. Tanpa sepengetahuannya, dana bailout tiba-tiba bisa membengkak menjadi Rp 2,7 triliun pada posisi Senin pagi, 24 November 2008. Banyak kalangan terheran-heran karena penggelembungan terjadi dalam dua hari, Sabtu dan Minggu pula.
Sejarah kemudian mencatat bahwa penggelontoran dana talangan Bank Century tidak berhenti pada angka Rp 2,7 triliun itu. Bank sarat masalah it terus diberi dana talangan hingga jumlahnya membengkak menjadi Rp 6,7 triliun pada Juli 2009, usai Pemilu presiden dan wakil presiden yang dimenangkan pasangan SBY – Boediono dari Partai Demokrat.
Ada begitu banyak kejanggalan dalam kasus ini, dan semua kejanggalan itu sudah dibeberkan kepada publik. Majelis hakim Tipikor tentunya juga mencatat kisah kemarahan Wakil Presiden (saat itu) Jusuf Kalla yang tidak diberikan laporan mengenai proses penyelamatan Bank Century. Bahkan Wapres tampaknya diisolir oleh KSSK dan BI dari operasi penyelamatan Bank Century. Sebagai pelaksana tugas presiden saat itu (karena presiden sedang di luar negeri), KSSK dan BI mestinya berkonsultasi dan melapor kepada Jusuf Kalla. Ketua KSSK dan Gubernur BI pasti memahami aturan sederhana ini.
Pertanyaannya, mengapa menteri Keuangan/Ketua KSSK, Sri Mulyani dan Gubernur BI/Anggota KSSK Boediono, berani meremehkan dan mengisolir Wakil Presiden/Pelaksana Tugas Presiden Jusuf Kalla dari kebijakan menyelamatkan Bank Century? Boleh jadi, ada kekuasaan lebih besar yang memerintahkan mereka berperilaku demikian.
Akhirnya, soal yang paling memprihatinkan adalah kenyataan bahwa tak ada satu pun institusi di negara ini yang mau mempertanggungjawabkan penggunaan dana LPS sebesar Rp 6,7 triliun lebih itu. Sebab, KSSK hanya mau bertanggungjawab atas penggunaan Rp 632 miliar. Srimulyani menuding BI sebagai biang keroknya karena menyajikan data yang tidak akurat. Lucunya, Boediono justru menunjuk LPS sebagai pihak yang paling bertanggungjawab. Namun, LPS menolak dan membantah tudingan Boediono.
Kalau begitu, ada siluman dalam manajemen pemerintahan ini yang leluasa menggunakan uang triliunan rupiah tanpa harus mempertanggungjawabkannya. Mudah-mudahan, semua keanehan ini tidak luput dari perhatian majelis hakim Tipikor.
Begitulah. Para pejabat hebat itu akhirnya saling tunjuk dan buang badan. Kalau pemerintah atau KSSK dan BI tidak mau bertanggungjawab, sama artinya rakyat disuruh meminta pertanggungjawaban kepada siluman. Ini sangat memalukan, karena KSSK dan BI mau diperalat untuk menjarah dana di LPS. Walaupun, tentu kita tidak boleh curiga bahwa pada akhirnya Mantan Gubernur BI itu menjadi Wakil Presiden dan Srimulyani tetap bertahan di posisinya sebagai Menteri Keuangan pada kabinet Indonesia bersatu jilid-2. Karena hal tersebut adalah hak prerogatif presiden terpilih.
Karena itu, setelah Jaksa Penuntut dari KPK memperjelas keterlibatan Boediono melalui dakwaan terhadap mantan deputi gubernur BI Budi Mulia, penyidik KPK hendaknya mulai memburu siluman atau aktor utama yang mengotaki penjarahan dana talangan Bank Century menjelang pemilu 2009-2014 tersebut. []
Bambang Soesatyo
Anggota Tim Pengawas Penyelesaian
Kasus Century DPR RI
PROSES hukum mega skandal Bank Century akhirnya mencapai tahapan baru yang strategis. Setelah proses penyelidikan dan penyidikan bertahun-tahun yang rumit dan berliku serta sarat hambatan, satu berkas perkara dengan terdakwa mantan deputi gubernur Bank Indonesia, Budi Mulia, mulai disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Sekaligus mematahkan pernyataan presiden SBY bahwa Boediono atau kebijakan tidak bisa disalahkan atau dipidana.
Lebih dari itu, hasil pemeriksaan KPK berdasarkan pengakuan Mantan Menteri Keuangan dan Ketua KSSK Srimulyani di Washington DC juga membuktikan bahwa Presiden SBY mengetahui masalah Bank Century karena telah dilaporkan Srimulyani kepada Presiden SBY pada 13 November 2008 saat transit di Tokyo, Jepang dalam perjalanan menuju Amerika Serikat untuk mengikuti acara G20. Bahkan menurut keterangan Srimulyani, Presiden memberikan arahan dan kemudian memerintahkan dirinya kembali ke tanah air untuk mengatasi masalah Bank Century.
Kalau boleh dan dimungkinkan oleh aturan dan undang-undang, ingin rasanya DPR atas nama rakyat Indonesia, menganugrahkan "Medali Keberanian" kepada pimpinan dan penyidik KPK. Karena telah menyentuh salah satu mahkota kekuasaan.
Keberanian tersebut harus kita kawal pada tahapan strategis berikutnya di pengadilan. Jangan sampai hakim Pengadilan Tipikor kehilangan nyali saat memeriksa para aktor pembantu dan aktor utama perumus kebijakan bailout yang berujung pada penjarahan triliunan rupiah uang negara itu.
Jika diibaratkan titik pencapaian, proses hukum skandal Bank Century hingga tahap persidangan Budi Mulia di pekan pertama Maret 2014 sudah menempuh perjalanan sangat panjang, rumit dan berbelit. Ukuran waktunya mengacu pada rekomendasi Sidang Paripurna DPR tentang proses hukum kasus Bank Century pada Maret 2010. Dalam rentang waktu hampir tiga tahun (2010, 2011 dan 2012), penanganan mega skandal ini lebih banyak menyuguhkan sandiwara atau rekayasa.
Penegak hukum hanya menyergap orang-orang kecil yang tidak tahu bagaimana proses merumuskan penyelamatan Bank Century oleh beberapa orang anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) dan Komite Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK). Rekomendasi Paripurna DPR menegaskan, ada penyalahgunaan wewenang pada level elit institusi BI dan KSSK. Namun, para elit dari dua institusi itu nyaris tak tersentuh. Bahkan, ada semacam upaya mengacaukan konstruksi hukum kasus ini, dengan cara menangkap dan mengadili sejumlah orang dari luar BI maupun KSSK.
Baru pada 2013, KPK berupaya meluruskan kembali konstruksi hukum kasus Bank Century. Dimulai dengan menetapkan dua mantan deputi gubernur BI sebagai tersangka, serta memeriksa ulang mantan Menteri Keuangan/Ketua KSSK Sri Mulyani di Washington, dan memeriksa juga mantan Gubernur BI yang kini menjabat Wakil Presaiden Boediono.
Tidaklah mengejutkan ketika pada sidang pertama terdakwa Budi Mulya, Kamis, 6 Maret 2014, jaksa penuntut umum KPK langsung menyebut keterlibatan sejumlah nama. "Terdakwa (Budi Mulia) selaku Deputi Gubernur BI, menyalahgunakan wewenang dalam jabatannya secara bersama-sama dengan Boediono selaku Gubernur BI, Miranda S. Goeltom selaku Deputi Senior BI, Siti Fadjriah selaku Deputi Gubernur Bidang 6, Budi Rochadi almarhum selaku Deputi Gubernur Bidang 7, Robert Tantular, dan Harmanus H. Muslim," demikian dakwaan Jaksa Penuntut KPK.
Bunyi dakwaan yang demikian predictable alias tidak mengejutkan. Sebab, semua kebijakan atau keputusan BI yang strategis dirumuskan dan ditetapkan oleh dan dalam Rapat Dewan Gubernur BI. Dengan demikian, Keputusan rapat dewan gubernur BI bersifat kolektif kolegial. Jadi, tidak logis kalau hanya Budi Mulia yang dituduh menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri atau orang lain.
Apalagi dalam berkas perkara Budi Mulia No.BP/06/23/01/2014 yang disusun Jaksa Penuntut KPK pada poin 11 dengan jelas menegaskan ada motif atau niat jahat dan konflik kepentingan dalam penyelamatan Bank Century. Yakni Motif pertama, BI melalui YKK-BI diketahui menempatkan dananya di Bank Century Rp.83 miliar. Sementara kepentingan Dewan Gubernur BI terhadap dana YKK-BI yang ada di Bank Century, ternyata dana tersebut merupakan uang. muka Baperum Multi Griya.
Motif kedua, ada kepentingan penyelamatan nasabah besar Boedi Sampoerna kurang lebih Rp.2 triliun di Bank Century melalui peran Raden Pardede yang dengan sengaja merubah besaran dana penyelamatan Bank Century yang semula Rp.1,7 triliun menjadi lebih rendah. Yaitu Rp.632 miliar agar disetujui KSSK. Sebelumnya diketahui Raden Pardede telah melakukan pertemuan dg Lin Ci Wei (penasehat Keuangan Boedi Sampoerna). Jadi, jelas pemberian bailout Bank Century bukan untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia. Tapi menyelamatkan dana Rp.2 triliun milik Boedi Sampoerna. Karena kalau bank tsb ditutup, Boedi Sampoerna hanya akan memperoleh pengganti jaminan Rp.2miliar dari LPS.
Motif ketiga, merupakan upaya menutupi kesalahan BI dalam pemberian FPJP sebelumnya kepada Bank Century sebesar Rp.689miliar. Hal itu dilakukan utk menyelamatkan Boediono sendiri agar tidak terjerat masalah hukum manakala Bank Century ditutup. Sebab, dia harus mempertanggung jawabkan dana FPJP Rp.689M yang dia berikan kepada Bank Century dengan berbagai rekayasa aturan dan rekayasa dokumen.
Jadi sangat jelas, setelah sidang perdana Budi Mulia itu, masih banyak yang harus digali oleh penyidik KPK maupun para hakim Tipikor. Paling penting yang harus digali hakim Tipikor dari terdakwa maupun para saksi adalah menemukan aktor utama dibalik rangkaian proses penyelamatan Bank Century. Tidak kalah pentingnya adalah sosok yang mengotaki mark up atau penggelembungan gila-gilaan nilai bailout itu. Menemukan aktor utama sangatlah penting karena bisa jadi Boediono hanyalah pemain figuran. Apalagi, Boediono sendiri sudah cuci tangan dengan menunjuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pihak yang semestinya bertanggungjawab dan menjelaskan gelembung dana talangan itu.
Pertanyaan besar yang belum terjawab hingga kini adalah soal aliran dana. Begitu banyak kejanggalan atas masalah yang satu ini. Untuk memperjelasnya, Hakim Tipikor juga perlu menggali kemana saja triliunan rupiah dana talangan yang diambil dari LPS itu mengalir. Siapa saja pihak yang mengambil keuntungan. Sekadar patokan, hakim Tipikor bisa mengacu pada sinyalemen mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang pernah mengungkap sejumlah nama. Timwas DPR untuk kasus Bank Century pun sedang mendalami informasi itu.
Isolasi Wapres
Selama ini, publik bergunjing tentang keterlibatan kekuatan politik tertentu dalam kasus ini. Soalnya, rangkaian transaksi dan peristiwanya, menurut analisis wakil ketua KPK Bambang Widjojanto, terjadi menjelang Pemilu Legislatif April 2009 dan Pemilihan presiden Juli 2009. Maka, dari upaya penggalian aliran dana itu, Hakim Tipikor hendaknya bisa merespons pergunjingan itu; apakah partai politik terlibat dalam skandal keuangan terbesar pasca reformasi dengan modus penyelamatan bank tersebut?
Publik tentu masih ingat laporan PPATK di Pansus DPR untuk kasus Bank Century. PPATK menemukan puluhan miliar dana bailout mengalir ke sejumlah nama mirip tokoh nasional seperti Megawati, Hamzah Hazh dan lain-lain. Setelah dicek, alamatnya tidak jelas. Banyak temuan aliran dana yang profil penerimanya tidak jelas atau palsu.
Selain itu, publik juga mencatat temuan PPATK tentang PT Asuransi Jiwa Proteksi (AJP) yang melakukan transaksi penarikan Rp 4,054 miliar pada Desember 2008. Belakangan AJP diketahui sebagai donatur pasangan calon presiden dan wapres SBY-Boediono. AJP menyumbang kepada tim sukses capres (tertulis resmi di laporan KPU) sebesar Rp.1,4 miliar melalui dua kali transaksi pada 25 Juni 2009, masing-masing Rp 600 juta dan Rp 850 juta.
Begitu juga laporan audit forensik BPK yang menyajikan skema aliran dana yang berlapis-lapis dan rumit. Karena para pembobol itu berusaha menyamarkan jejak transaksi dan aliran dana penerima dari Bank Century. BPK mengungkap, ada penarikan dari orang dekat 'first family' tanpa ada penyetoran, di Bank Century Cabang Pondok Indah. Lalu, BPK juga mengurai dan menemukan aliran dana berliku-liku dari rekeneing Boedi Sampoerna di Bank Century yang akhirnya berujung pada sebuah perusahaan penerbit koran nasional yang sangat dekat, bahkan identik dengan partai tertentu.
Hakim Harus Berani Mendalami
Saat menghadirkan Boediono sebagai saksi Budi Mulia, Hakim Tipikor hendaknya mau mendalami pernyataan Boedino yang tiba-tiba menuding LPS sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas gelembung dana talangan dari Rp 632miliar menjadi Rp 6,7 triliun. Bukankah KSSK yang seharusnya bertanggungjawab karena jumlah yang dikeluarkan LPS sejatinya berdasarkan rekomendasi KSSK?
Apalagi, dalam dakwaan Jaksa Penuntut KPK untuk terdakwa Budi Mulia, sama sekali tidak disebutkan keterlibatan LPS secara detail. Demikian juga dengan ketua KSSK Srimulyani, yang dalam berkas pemeriksaannya tegas-tegas mengatakan bahwa data BI tidak akurat. Dan, data itu sangat mempengaruhi perhitungan besaran dana penyelamatan Bank Century.
Sri Mulyani kecewa dan sangat marah. Pasalnya, pada Sabtu subuh pukul 05.00 WIB, 22 November 2008, dia menandatangani persetujuan jumlah dana bailout Rp 632 miliar sesuai permintaan Boediono. Tanpa sepengetahuannya, dana bailout tiba-tiba bisa membengkak menjadi Rp 2,7 triliun pada posisi Senin pagi, 24 November 2008. Banyak kalangan terheran-heran karena penggelembungan terjadi dalam dua hari, Sabtu dan Minggu pula.
Sejarah kemudian mencatat bahwa penggelontoran dana talangan Bank Century tidak berhenti pada angka Rp 2,7 triliun itu. Bank sarat masalah it terus diberi dana talangan hingga jumlahnya membengkak menjadi Rp 6,7 triliun pada Juli 2009, usai Pemilu presiden dan wakil presiden yang dimenangkan pasangan SBY – Boediono dari Partai Demokrat.
Ada begitu banyak kejanggalan dalam kasus ini, dan semua kejanggalan itu sudah dibeberkan kepada publik. Majelis hakim Tipikor tentunya juga mencatat kisah kemarahan Wakil Presiden (saat itu) Jusuf Kalla yang tidak diberikan laporan mengenai proses penyelamatan Bank Century. Bahkan Wapres tampaknya diisolir oleh KSSK dan BI dari operasi penyelamatan Bank Century. Sebagai pelaksana tugas presiden saat itu (karena presiden sedang di luar negeri), KSSK dan BI mestinya berkonsultasi dan melapor kepada Jusuf Kalla. Ketua KSSK dan Gubernur BI pasti memahami aturan sederhana ini.
Pertanyaannya, mengapa menteri Keuangan/Ketua KSSK, Sri Mulyani dan Gubernur BI/Anggota KSSK Boediono, berani meremehkan dan mengisolir Wakil Presiden/Pelaksana Tugas Presiden Jusuf Kalla dari kebijakan menyelamatkan Bank Century? Boleh jadi, ada kekuasaan lebih besar yang memerintahkan mereka berperilaku demikian.
Akhirnya, soal yang paling memprihatinkan adalah kenyataan bahwa tak ada satu pun institusi di negara ini yang mau mempertanggungjawabkan penggunaan dana LPS sebesar Rp 6,7 triliun lebih itu. Sebab, KSSK hanya mau bertanggungjawab atas penggunaan Rp 632 miliar. Srimulyani menuding BI sebagai biang keroknya karena menyajikan data yang tidak akurat. Lucunya, Boediono justru menunjuk LPS sebagai pihak yang paling bertanggungjawab. Namun, LPS menolak dan membantah tudingan Boediono.
Kalau begitu, ada siluman dalam manajemen pemerintahan ini yang leluasa menggunakan uang triliunan rupiah tanpa harus mempertanggungjawabkannya. Mudah-mudahan, semua keanehan ini tidak luput dari perhatian majelis hakim Tipikor.
Begitulah. Para pejabat hebat itu akhirnya saling tunjuk dan buang badan. Kalau pemerintah atau KSSK dan BI tidak mau bertanggungjawab, sama artinya rakyat disuruh meminta pertanggungjawaban kepada siluman. Ini sangat memalukan, karena KSSK dan BI mau diperalat untuk menjarah dana di LPS. Walaupun, tentu kita tidak boleh curiga bahwa pada akhirnya Mantan Gubernur BI itu menjadi Wakil Presiden dan Srimulyani tetap bertahan di posisinya sebagai Menteri Keuangan pada kabinet Indonesia bersatu jilid-2. Karena hal tersebut adalah hak prerogatif presiden terpilih.
Karena itu, setelah Jaksa Penuntut dari KPK memperjelas keterlibatan Boediono melalui dakwaan terhadap mantan deputi gubernur BI Budi Mulia, penyidik KPK hendaknya mulai memburu siluman atau aktor utama yang mengotaki penjarahan dana talangan Bank Century menjelang pemilu 2009-2014 tersebut. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar