Mengontrol Bisikan Hati
Menuju Intuisi Ilahi
Penulis: Achmad Muzakki Kholil
Diriwayatkan dari Wâbidhah bin Ma’bad, ia
berkata: Saya datang kepada Rasulullah, lalu beliau bersabda, “Apakah kamu
datang bertanya tentang kebajikan?” Saya menjawab, “Ya.” Nabi swt bersabda,
“Bertanyalah pada hatimu. Kebaikan adalah sesuatu yang membuat hati dan jiwa
menjadi tenang. Sedangkan dosa adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa dan
meragukan hati, sekalipun orang-orang terus membenarkanmu.”
(HR Ahmad bin Hanbal dan ad-Dârimy, dengan
sanad Hasan)
Semua gerak-gerik hati oleh para sufi selalu
diawasi dan diperhatikan, ini tidak lain karena hati adalah modal pokok dalam
sulûk yang mereka tempuh. Hati menjadi komandan dari semua aktivitas seseorang.
Jika hati bersih, tingkah laku pun menjadi terarah pada hal-hal yang bersih.
Tapi jika hati kotor, kecenderungan terhadap hal-hal yang kotor akan lebih
dominan.
Hati adalah garapan utama para sufi, karena
bagi mereka, hati di hadapan Allah I sama dengan lisan di depan makhluk. Imam
Sahal at-Tasturi (w. 283 H.) berkata, “Paling buruknya perbuatan maksiat adalah
omongan hati.” Dalam hati berseliweran bisikan-bisikan yang mendorong untuk
melakukan sesuatu yang baik atau yang buruk. Bisikan-bisikan itu berlomba-lomba
untuk dapat menundukkan orang yang dibisiki: bisikan yang buruk menggoda agar
orang yang dibisiki melakukan kejahatan, sebaliknya bisikan yang baik mengajak
pada kebaikan.
Bisikan yang ada di hati diisitilahkan dengan
khâtir atau wârid. Lebih jelasnya definisi khâtir ialah bisikan yang menghunjam
ke dalam hati seseorang tanpa diduga olehnya. Definisi wârid juga hampir sama
dengan khâtir, tapi keduanya memiliki perbedaan. Bisikan pada khâtir lebih
terarah pada perintah untuk melakukan sesuatu, sedangkan wârid bersifat pada
keadaan-keadaan spiritual yang dialami seorang sâlik. Dengan kata lain, wârid
lebih mirip dengan maqâmât (kedudukan) dan ahwâl (keadaan) spiritual.
Empat Macam Bisikan
Secara umum, bisikan dalam hati terbagi
menjadi empat bagian: (1) bisikan yang datangnya dari Allah, yang disebut
bisikan rabbânî; (2) bisikan malaikat, disebut dengan ilham; (3) bisikan nafsu,
disebut dengan hâjis; dan (4) bisikan setan yang disebut dengan waswas.
(Isthilâhâtu ash-Shûfiyah, karya Syekh Kamaluddîn Abdur Razzâq al-Fâsyâny)
Bisikan rabbânî atau intuisi Ilahi akan
diraih ketika berusaha menghidupkan hati dengan ma’rifatullâh. Bisikan itu
bukan sekadar bisikan biasa, tapi merupakan nur Ilahi yang memenuhi seluruh
sudut hati. Nur Ilahi ini terbagi menjadi tiga tingkatan dengan meninjau kelas
dalam sulûk, yaitu kelas permulaan (bidâyah), kelas pertengahan (wasth), dan kelas
puncak (nihâyah). Nur Ilahi yang masuk pada kelas pertama ialah wârid
al-intibâh, yaitu cahaya yang mengeluarkan dari kelalaian yang gelap-gulita
menuju kesadaran dan ingat kepada Allah I. Kelas pertengahan akan dimasuki
wârid al-iqbâl, yakni cahaya yang dihunjamkan ke dalam hati yang menyebabkan
hati akan selalu berzikir kepada Allah I dan melupakan segala selain Allah I.
Kelas terakhir akan dimasuki wârid al-wishâl, yakni cahaya yang menguasai hati
seorang hamba lalu menguasai lahir dan batinnya, sehingga ia menjadi sirna dari
dirinya. (Iqâdz al-Himâm fî Syarh al-Hikam, karya Ahmad bin Muhammad ’Ajîbah
al-Hasani)
Bisikan malaikat—atau juga disebut dengan
ilham—merupakan bisikan yang mengajak pada kebaikan, baik berupa pekerjaan
fardu, maupun pekerjaan sunah. Sebaliknya, bisikan yang mengajak pada kejahatan
adalah bisikan setan. Bisikan ini bukan hanya mengajak pada perkara haram, tapi
juga mengajak pada perkara makruh. Yang terakhir adalah bisikan nafsu, yaitu
bisikan yang mengajak terhadap kepentingan-kepentingan nafsu.
Membedakan Bisikan
Empat macam bisikan tersebut sangat sulit
dibedakan. Keempat-empatnya berlomba-lomba untuk dapat mempengaruhi hati orang
yang dibisiki. Diperlukan perjuangan dan usaha untuk dapat membedakan empat
bisikan itu, terutama bisikan nafsu dan bisikan setan. Sebab keduanyalah yang
dapat menjerumuskan seseorang dalam kemaksiatan.
Para pembesar sufi sepakat bahwa tubuh yang
dipenuhi dengan makanan haram tidak akan dapat membedakan antara bisikan setan
dan bisikan malaikat yang disebut ilham. Secara lebih terperinci, Imam
as-Suhrawardi (Abu Hafs Syihabuddin Umar bin Muhammad bin Abdullah, w.632 H)
dalam kitabnya ’Awarifu al-Ma’arif menjelaskan, bahwa ada empat hal yang
menyebabkan kaburnya perbedaan bisikan-bisikan dalam hati. Pertama, lemahnya
keyakinan. Kedua, tidak mengetahui seluk-beluk nafsu secara mendetail. Ketiga,
selalu menuruti hawa nafsu dengan selalu melanggar kunci-kunci takwa. Dan
keempat, cinta akan dunia dan tetek-bengeknya.
Lebih lanjut beliau menawarkan tips untuk
dapat mengontrol gerak dari dua bisikan yang menjerumuskan, yakni bisikan setan
dan bisikan nafsu. Beliau menuturkan bahwa bisikan setan dapat dikontrol atau
bahkan dihilangkan dengan dua resep, yaitu dengan menanamkan rasa takwa yang
tinggi dan berzikir. Proses menjalankan ketakwaan dimulai dari anggota tubuh
yang lahir dengan memeliharanya dari hal-hal yang dilarang syariat, kemudian
meningkat lagi dengan memelihara dari hal-hal yang tidak ada faedahnya. Setelah
itu, ketakwaan juga ditanamkan ke dalam anggota batin dengan menjaganya dari
yang diharamkan dan juga dari yang tidak ada faedahnya. Selanjutnya, ketakwaan
yang telah tertanam kokoh itu diperkuat dengan selalu ingat (zikir) kepada
Allah.
Bisikan nafsu juga perlu dikontrol, meskipun
tidak seluruh bisikan nafsu itu buruk. Sebab nafsu memiliki kebutuhan yang
harus dipenuhi demi eksistensinya untuk dapat menjalani kehidupan. Kebutuhan
nafsu yang tidak boleh dituruti adalah kebutuhan yang melebihi dari kebutuhan
syariat. Karenanya, bisikan nafsu harus dikontrol dengan ilmu agama: apakah
bisikan itu sesuai dengan tuntunan syariat atau muncul dari rasa ketidakpuasan
nafsu.
Apabila dua bisikan yang berbahaya itu dapat
ditaklukkan, maka tinggal dua bisikan yang bisa masuk ke dalam hati, yakni
bisikan Ilahi dan bisikan malaikat. Bahkan apabila hati telah betul-betul
bersih, maka setiap bisikan tidak akan berani masuk ke dalam hati sebelum
“meminta izin” kepada hati. Demikian ini sebagaimana nasehat yang disampaikan
Syekh Abdul Qadir al-Jilani (w. 561), “Jika hatimu sehat, ia akan berdiri di
hadapan bisikan yang akan masuk sembari berkata, ’Bisikan apa kamu dan dari
mana datangnya kamu?’” []
Sumber : Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar