Musafir yang Bebas Shalat
Jum'at
Pada dasarnya shalat jum’at hukumnya adalah
wajib bagi setaip muslim laki-laki. Hal ini berdasar pada firman Allah swt
dalam surat Al-Jumu’ah ayat 9:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ
إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.
Demikianlah shalat jum’at menjadi salah satu
momentum pertemuan antara umat muslim dalam sebuah komunitas tertentu.
Diharapkan pertemuan fisik ini dapat menambah kwalitas ketaqwaan dan keimanan
umat muslim. Karena itulah shalat jum’at didahului dengan khutbah yang berisi
berbagai mauidhah. Di samping itu secara sosiologis sholat jum’at hendaknya
menjadi satu media syi’ar Islam yang menunjukkan betapa besar dan kuwat
persatuan umat.
Adapun syarat-syarat shalat jum’at seperti
yang terturils dalam kitab Matnul Ghayah wat Taqrib karya Imam Abu Suja’.
وشرائط
وجوب الجمعة سبعة أشياء : الاسلام والبلوغ والعقل والحرية والذكورية والصحة
والاستيطان
Syarat wajib jum’at ada tujuh hal yaitu;
Islam, baligh, berakal sehal, merdeka, laki-laki, sehat dan mustauthin (tidak
sedang bepergian)
Dari ketujuh syarat tersebut, tiga syarat
pertama Islam, baligh dan berakal dapat dianggap mafhum. Karena jelas tidak
wajib shalat jum’at orang yang tidak beragama Islam, yang belum baligh, apalagi
orang gila. Sedangkan mengenai empat syarat yang lain Rasulullah saw dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthny dan lainnya dari Jabir ra, Nabi saw
bersabda:
من
كان يؤمن بالله واليوم الأخر فعليه الجمعة إلا امراة ومسافرا وعبدا ومريضا
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari
akhir maka wajib baginya shalat jum’at kecuali perempuan, musafir, hamba sahaya
dan orang yang sedang sakit.
Pada praktiknya, shalat jum’at sama seperti
shalat-shalat fardhu lainnya. Hanya ada beberapa syarat khusus yang harus
dipenuhi yaitu pertama hendaklah diadakan di negeri, kota atau desa. kedua
jumlah orang tidak kurng dari 40, dan ketiga masih adanya waktu untuk shalat
jum’at, jika waktu telah habis atau syarat yang lain tidak terpenuhi maka
dilaksanakanlah shalat dhuhur.
Dengan demikian shalat jum’at selalu
dilakukan di masjid. Dan tidak boleh dilakukan sendirian di rumah seperti
shalat fardhu yang lain. Hal ini tentunya menyulitkan mereka yang terbiasa
bepergian jauh. Entah karena tugas negara atau tuntutan pekerjaan. Oleh karena
itulah maka shalat jum’at tidak diwajibkan bagi mereka yang sedang sakit atau
berada dalam perjalanan (musafir).
Khusus untuk musafir atau orang yang sedang
berada dalam perjalanan ada beberapa ketentuan jarak tempuh. Tidak semua yang
bepergian meninggalkan rumah bisa dianggap musafir. Sebagian ulama berpendapat
bahwa seorang dianggap musafir apabila jarak perjalanan yang ditempuh mencapai
90 km, yaitu jarak diperbolehkannya meng-qashar shalat. Itupun dengan catatan
agenda perjalanannya bersifat mubah (dibenarkan secara agama, tidak untuk
ma’syiat ) dan sudah berangkat dari rumah sebelum fajar terbit.
Bolehnya meninggalkan shalat jum’at oleh
musafir ini dalam wacana fiqih disebut dengan rukhshah (dispensasi). Yaitu
perubahan hukum dari sulit menjadi mudah karena adanya udzur. Bepergian menjadi
udzur seseorang untuk menjalankan shalat jum’at karena dalam perjalanan
seseorang biasa mengalami kepayahan. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup
seseorang, tidak jarang mereka harus melakukan bepergian. Dan seringkali
seseorang masih dalam perjalanan ketika waktu shalat jum’at tiba.
Akan tetapi keringanan –rukhshah- ini tidak
berlaku jika status seorang musafir telah berbah menjadi mukim. Yaitu dengan
berniat menetap ditempat tujuan selama minimal empat hari. Misalkan jika
seorang dari Surabaya pergi ke Jakarta lalu niat menginap di rumah sanak famili
selama lima hari, maka tidak berlaku lagi baginya keringanan bepergian –rukhsah
al-safar-. Maka dia tidak diperbolehkan meninggalkan shalat jum’at, jama’ atau
qashar shalat. Begitu pula jika seseorang berniat mukim saja tanpa tahu batas
waktunya secara pasti, maka hukumnya sama dengan bermukim empat hari. Contohnya
ketika seseorang dari Jawa Timur merantau ke Jakarta, dengan niat mencari
pekerjaan yang dia sendiri tidak tahu pasti kapan dia mendapatkan pekerjaan
tersebut. Maka dalam kacamata fiqih ia telah dianggap sebagai mukimin di
Jakarta dan wajib mengikuti shalat Jum’at bila tiba waktunya.
Lain halnya jika orang tersebut berniat untuk
tinggal di Jakarta dalam jangka waktu maksimal tiga hari, maka baginya masih
berlaku rukhshah. Hal mana juga berlaku bagi seseorang yang sengaja bermukim
demi satu keperluan yang sewaktu-waktu selesai dan ia akan kembali pulang,
tanpa mengetahui persis kapan waktunya selesai. Maka status musafir masih berlaku
baginya dan masih mendapatkan rukhshah selama delapan belas hari.
Oleh karena itu untuk menentukan seorang
sebagai musafir perlu ditentukan beberapa hal. Pertama jarak jauhnya harus
telah mencapai masafatul qasr (kurang lebih 90 km). Kedua, tujuannya bukan
untuk ma’syiat. Ketiga, mengetahui jumlah hari selama berpergian sebagai
wisatawan yang hanya singgah satu atau dua hari, ataukah untuk studi atau
bekerja yang lamanya sudah barang tentu diketahui (1 semester, 2 tahun dst)
ataukah untuk satu urusan yang waktunya tidak diketahui dengan pasti. Semua ada
aturan masing-masing. Demikian keterangan dari beberapa kitab Al-Madzahibul
Arba’ah, Al-Hawasyiy Al-madaniyah dan Al-Fiqhul Islami) []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar