Prof Dr
(Kucing) Jany
Oleh: Moh
Mahfud MD
Beberapa tahun lalu, saat saya masih menjadi anggota DPR
periode 2004-2009, ada berita yang mengejutkan dunia akademik di Indonesia.
Seorang bupati mendapat gelar kehormatan (honoris causa) sebagai guru besar
(profesor) dari sebuah perguruan tinggi swasta (PTS) di Indonesia.
Pengukuhan guru besar itu dilakukan melalui upacara ”pidato
pengukuhan” di pendapa kabupaten di mana sang bupati berkantor. Berita itu
menyentak komunitas akademik karena profesor adalah jabatan fungsional
akademik, bukan gelar akademik. Banyak yang mengejek dan menertawakan: mana ada
jabatan akademik di-honoriscausakan? Mana pula ada pengukuhan profesor
dilakukan di pendapa kabupaten? Jabatan profesor hanya bisa diperoleh oleh
mereka yang menjadi dosen dengan gelar doktor yang diperoleh secara reguler
atau terstruktur.
Jabatan profesor juga hanya bisa diperoleh melalui
penjenjangan jabatan fungsional, dari asisten (dengan segala cabangnya), lektor
(dengan segala cabangnya), dan profesor. Tidak ada jabatan profesor yang
diberikan atau bisa diterima sebagai jabatan kehormatan atau honoris causa,
seperti halnya tak ada jabatan direktur jenderal ”honoris causa” sebagai
jabatan struktural. Jabatan profesor hanya bisa diperoleh dan diberikan kepada
”tenaga pengajar” perguruan tinggi yang telah berhasil menghimpun angka kredit
atau CCP (commulative credit points) dalam bidang akademik sejumlah minimal 850
kredit.
Sebanyak 25% (212,5 kredit) dari kredit kumulatif harus
dikumpulkan dari kegiatan pendidikan dan pengajaran seperti mengajar, membuat
modul, dan membimbing disertasi. Sulitnya, kalau mengajar satu mata kuliah
dalam satu semester hanya dihitung 1,5 atau 2 kredit (tergantung jabatannya),
padahal dalam satu semester jumlah mengajarnya dibatasi. Jadi dari aspek
pendidikan dan pengajaran saja diperlukan waktu belasan tahun mengajar secara
terus-menerus bagi seorang dosen yang ingin mendapat jabatan profesor. Adapun
25% (212,5 kredit) harus dikumpulkan dari hasil penelitiandankaryatulisilmiah.
Ini pun tidak main-main, sebab kalau hanya artikel di koran
atau di majalah pop tidak dianggap karya ilmiah; apalagi cuma
wawancara-wawancara atau pemberitaan tentang seseorang. Karya ilmiah mencakup
penelitian, penulisan buku, dan jurnal ilmiah yang harus dinilai oleh dewan
guru besar (penilai) secara bertingkat, mulai dari tingkat perguruan tinggi
sampai tingkat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dari karya tulis ilmiah
itu harus ada yang sudah dipublikasikan dalam jurnal internasional.
Bayangkan, betapa berat mengumpulkan 212,5 kredit karya
tulis ilmiah yang kelayakannya harus diuji oleh dewan penilai yang sudah mencapai
gelar dan jabatan akademik tertinggi. Dan sebanyak 50% sisanya (425 kredit)
harus dikumpulkan dari kegiatan pengabdian pada masyarakat dan kegiatan
penunjang, seperti ceramah umum, ceramah radio dan televisi, penyuluhan, yang
juga harus relevan dengan bidang ilmunya. Karena begitu beratnya persyaratan
untuk menjadi profesor itu, banyak orang yang sudah doktor pun tak sanggup dan
malas atau menyatakan takluk untuk menghimpun angka kredit yang dahsyat itu.
Kalau gelar doktor bisa diperoleh secara honoris causa,
maka jabatan profesor tidak bisa. Di Indonesia banyak orang tergila-gila pada
atribut-atribut akademik yang ingin didapatnya secara instan. Banyak yang ingin
menjadi doktor, berkasak-kusuk ke sana dan kemari agar diberi gelar doktor
honoris causa, bahkan ada yang membentuk timsukses, sepertiakanmerebut jabatan
politik. Mantan Rektor Universitas Diponegoro Prof Eko Budiardjo pernah menulis
di majalah mingguan terkemuka di Indonesia bahwa di Amerika Serikat banyak
orang iseng menawarkan gelar akademik yang nama universitasnya hanya beralamat
di rumah orang, bukan kampus.
Universitas fiktif itu menawarkan gelar doktor seharga
USD100 atau master seharga USD50 dan yang berminat cukup mengirim uang lewat
pos atau SMS banking, tak usah datang sendiri, nanti ijazahnya yang ditulis
dalam ”Bahasa Inggris” dikirimkan. Kata Prof Eko, tawaran seperti itu sering
dilayani secara iseng pula oleh orang-orang Amerika, yakni banyak yang mengirim
uang untuk membelikan gelar pada binatang peliharaannya seperti pada kucing
atau anjingnya. Maka muncullah binatang peliharaan yang mempunyai gelar seperti
Prof Dr Jany (kucing) atau Prof Dr Helly (anjing).
Celakanya, di Indonesia, banyak yang menyikapi tawaran yang
hanya layak untuk kucing itu sebagai hal yang serius sehingga membelinya untuk
gagah-gagahan. Banyak yang membeli ijazah doktor atau master dari universitas
kaki lima. Ada yang membelinya dari ”label” luar negeri untuk kemudian di
wisuda di hotel-hotel mewah dengan membayar sampai belasan juta rupiah.
Saat saya masih aktif di Badan Akreditasi Nasional (BAN)
Kemendikbud, bahkan ada istilah three in one, mendapat tiga ijazah (sarjana,
master, dan doktor) dengan sekali bayar sebesar Rp20 juta, tetapi kalau membeli
satu harganya Rp10 juta. Padahal itu semua adalah gelar-gelar palsu belaka.
Dengan menulis ini saya tak bermaksud menunjuk siapa pun. Ini demi kesucian
dunia akademik. Pekan lalu pun saya menulis di kolom ini tentang bahayanya
plagiarisme di dunia akademik. []
KORAN
SINDO, 01 Maret 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar