Para Cendekiawan yang Dungu
(Bagian 1)
Penulis: Ach. Fauzi MF.
Sejak iblis dikeluarkan dari surga, dendam
kesumat untuk menyengsarakan Nabi Adam dan keturunannya tidak pernah lekang.
Seperti yang telah dijelaskan oleh Allah dalam al-Qur’an yang artinya:
Artinya : Iblis menjawab : “Karena Engkau
telah menghukum aku tersesat, maka aku benar-benar akan (menghalang-halangi)
mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari
muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau
tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). (QS. Al-a’raf : 007:
16-17)
Sesumbar iblis ini tidak hanya ditujukan
kepada keturunan Nabi Adam yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, tapi juga
ditujukan kepada orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan tinggi. Imam
al-Ghazali dalam karyanya Ashnâful-Maghrûrîn menyatakan bahwa terdapat sebelas
kelompok orang-orang alim yang telah masuk dalam perangkap iblis. Di antara
sebelas kelompok itu adalah:
Pertama, orang-orang yang mendalami ilmu-ilmu
syariat dan ilmu-ilmu yang lain tapi tidak menjaga dirinya dari perbuatan dosa
dan ia mengabaikan ajaran-ajaran syariat. Mereka adalah orang-orang berilmu
yang yang ilmunya tidak bermanfaat. Mereka mengira bahwa dirinya sudah memiliki
kedudukan tinggi di sisi Allah sebab ilmu yang telah mereka miliki. Mereka
mengklaim tidak akan mendapat siksa dari Allah dan diperkenankan memberi
pertolongan terhadap hamba-hamba yang sengsara di akhirat. Mereka juga mengira
bahwa segala dosa dan kesalahannya tidak akan pernah diurus oleh Allah.
Penyebab utama seseorang terjerumus dalam
kubangan kelompok ini adalah karena terlena dengan kemilau dunia. Mereka
mengira bahwa ilmu yang mereka miliki bisa menyelamatkannya kelak di akhirat
tanpa harus diamalkan. Orang-orang ini oleh Imam al-Ghazali diibaratkan seorang
dokter yang mengobati pasiennya padahal dia sendiri sedang sakit. Sebetulnya ia
bisa mengobati dirinya tapi enggan melakukannya.
Kedua, kelompok yang menekuni berbagai
disiplin ilmu dan tekun mengamalkannya, namun mereka tidak meninggalkan
sifat-sifat tercela, seperti sifat sombong, ingin disanjung, iri dengki,
mencari popularitas, dan lain sebagainya. Mereka lebih cenderung menata
aktivitas lahiriah tanpa menghiraukan batiniah. Padahal, bila hati kotor,
aktivitas lahiriah menjadi kurang berguna. Ibarat seorang yang terkena penyakit
borok. Dokter menyarankan agar menggunakan pengobatan luar dan dalam, tapi dia
hanya menggunakan pengobatan luar, sehingga tampaknya dari luar sudah sembuh
tapi sebenarnya virus penyakit itu masih bersarang kuat di dalam tubuhnya.
Faktor yang menyebabkan seseorang masuk dalam
golongan ini adalah karena mereka tidak mengindahkan sabda Rasulullah swt yang
menjelaskan bahwa sifat-sifat di atas memiliki dampak besar dalam kehidupan
seseorang. Di antara Hadis-Hadis tersebut adalah sebagai berikut :
Artinya: Riya adalah syirik yang kecil
Artinya: Iri hati akan menghapus kebaikan
laksana api yang melalap kayu bakar
Artinya: Gila harta dan kedudukan menumbuhkan
kemunafikan dalam hati bagaikan air yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan
Ketiga, orang-orang yang tahu tentang
sifat-sifat tercela dan faham akan akibatnya, tapi karena mereka bangga dengan
ilmu yang dimiliki dan amal yang dilakukan, lalu mereka mengira sudah terlepas
dari sifat-sifat tidak baik itu. Mereka merasa tidak layak untuk diuji dengan
sifat-sifat itu. Mereka memiliki asumsi bahwa sifat-sifat itu hanya
diperuntukkan sebagai ujian bagi orang-orang yang tidak berilmu.
Orang-orang semacam ini dianggap terpedaya
oleh Imam al-Ghazali karena mereka mengira apa yang dilakukannya bukanlah
kesombongan dan kecongkakan melainkan sebagai penegak agama dan penyebar ilmu
pengetahuan. Mereka lupa bahwa sebenarnya iblis menertawakan mereka. Mereka
juga tidak mengenang bagaimana sikap tawaduk (rendah hati) yang diekspresikan
oleh Rasulullah dan para Sahabatnya.
Keempat, golongan yang memiliki ilmu
pengetahuan dan menghiasi diri dengan nilai-nilai ibadah serta menjahui berbagai
macam kedurhakaan. Mereka tekun ibadah dan tidak memiliki sifat-sifat tercela.
Namun mereka tidak memperhatikan bahwa di relung hatinya masih tersisa
tipu-daya setan yang bisa menghapus nilai-nilai baik yang telah mereka lakukan.
Virus-virus kecil yang mampu menghancurkan nilai bakti yang besar itu adalah
seperti terlintasnya rasa sombong ketika menghindar dari keramaian, menilai
remeh orang lain, dan kadang-kadang memperbaik tatanan dirinya dengan tujuan
agar tidak dinilai sebagai orang tertinggal, dan lain sebagainya. []
Sumber : Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar