PSI Menghina Politik NU
Siapa tidak iri hati dengan NU, kelompok yang
dituduh tradisional, konseravatif, ortodoks yang baru berdiri sebagai partai
tahun 1952, tetapi ketika diselenggarakan Pemilu 1955 bisa menempati urutan
ketiga setelah PNI dan Masjumi. Bahkan yang paling terpukul adalah Partai
Sosialis Indonesia (PSI) yang mengklaim sebagai partai modern, intelek,
progresif dan sebagainya, tetapi terdepak dari gelanggang politik nasional
karena tidak mendapat simpati dari rakyat. Padahal pemilihan sangat bebas dalam
sistem demokrasi parlementer yang liberal.
Bahkan Sjahrir ketua partai itu dengan tegas merumuskan demokrasi ala PSI yaitu demokrasi liberal yang disebut dengan demokrasi parlementer itu mengaku berbeda dengan PKI yang suka kekerasan, partainya berjuang dengan melalui jalur pemilu. Tetapi setelah Pemilu kalah ternyata menempuh jalur kekerasan militer dengan melakukan pemberontakan PRRI, bersekongkol dengan negara-negara kapitalis-imperialis, Amerika, Inggris, Belanda dan sebagainya, mendapatkan pasokan dana, senjata dan logistik untuk menyerbu negaranya sendiri. Ironis Demokrasi Parlemeneter yang diidealkan diubah sendiri menjadi demokrasi militer, demokrasi bersenjata.
Dengan tegas Sjahrir mengatakan bahwa berbeda dengan pemberontakan DI-nya Daud Berueh ataupun DI-nya Kahar Muzakkar yang bersifat kedaerahan, maka pemberontakan PRRI ini tidak hanya pemberontakan daerah Sumatera tengah dan Minahasa saja, tetapi merupakan pemberontakan seluruh rakyat Indonesia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Sjahrir tahu ada pemberontakan PRRI dan mendukung pemberontakan itu. Karena itu sangat aneh kalau para sejarawan hingga saat ini masih mengatakan bahwa Sjahrir ditahan oleh rezim Soekarno tanpa kesalahan. Kesalahan Sjahrir tidak hanya membiarkan, tetapi malah mendukung pemberontakan PRRI.
Bahkan menurut kesaksian KH Saifuddin Zuhri, sebelum PSI dan Masjumi dibubarkan tahun 1960, Sjahrir dipanggil Bung Karno, tetapi tidak pernah mengakui kesalahannya, tidak pula mau mengutuk pemberontakan PRRI. Dalam menghadapi PRRI ini Bung Karno memilih jalan damai, mengajak berdialog mereka, sangat berbeda dengan sikap Bung Hatta. Walaupun pengunduran diri Hatta 1956, sering dijadikan alasan PRRI melakukan pemberontakan. Tetapi Hatta bersikeras PRRI harus ditumpas karena telah mendirikan negara dalam negara, ini tindakan makar yang harus dilawan. Bung Karno setelah gagal negosiasi dengan mereka baru mengikuti saran Hatta untuk membasami pemberontak PRRI. Sjahrir marah pada Bung Karno, tidak marah pada Bung Hatta yang menyuruhnya.
Walaupun terlibat dalam PRRI tetapi PSI masih membiarkan wakilnya duduk di parlemen dan konstituante. Di situ para partai pemberontak itu menjadi bahan sindiran dan cemooh bahkan kutukan dari partai lain yang lebih nasionalis. Sebagai partai yang nasionalis NU juga menggap pemberontakan itu tindakan salah, harus dilawan, karena mengancam keselamatan Negara.
Sementara itu Sjahrir melihat partai yang tidak setuju dengan PRRI, seperti PNI dan Partai NU sebagai partai oportunis yang hanya membonceng pemerintah, takut pada militer dan takut posisinya digeser Presiden Soekarno. Kalau melihat kejanggalan tidak berani protes tetapi hanya menggerutu, begitu tuduhnya. Selama tahun 1960-an di panggung kekuasaan, NU tidak hanya membebek, tetapi berani kritis pada Bung Karno, dan tetap gigih menghadapi dominasi PKI, ketika partai lain sudah terkapar, kehilangan legitimasi, kehilangan hak moral untuk berkuasa lagi.
Tentu saja tuduhan Sjahrir itu mengada-ada dan hanya memfitnah untuk menutupi kelmahannya sendiri. NU duduk di singgasana kekuasaan pada saat itu bukan mendompleng, seperti ketika Sjahrir menjadi perdana menteri yang tidak melalui pemilu, tetapi ditunjuk. Sebaliknya NU tampil di panggung kekuasaan baik sebagai wakil perdana menteri maupun menteri adalah hasil dukungan rakyat, hasil perjuangan selama Pemilu. Jadi atas prestasi sendiri dan dana sendiri, sementara partai pemberontak mendapatkan dana kampanye jutaan dollar dari luar negeri.
NU duduk di kekuasaan bukan atas jasa Soekarno, tetapi hasil perjuangannya sendiri, karena itu kalau kebijakan Bung Karno berbeda dengan NU tidak segan segan NU melawannya. Ketika PKI mengkalim sebagai partainya orang komunis dan orang-orang yang tidak berpartai, NU menetang kebijakan PKI itu dihadapan Bung Karno. NU menolak keras keinginan Bung Karno membentuk kabinet berkaki empat dengan melibatkan komunis. NU juga dengan keras menentang pembangunan menara Bung Karno, karena pembangunan Istiqlal perlu lebih diutamakan, usul itu diterima. Ketika PKI melakukan pemberontakan dan NU menyerang PKI, Bung Karno marah Pada NU, maka pimpinan NU menjawab bahwa bukan NU yang menyerang PKI, tetapi PKI-lah yang selama ini menyerang NU.
Kalaupun suatu saat NU mendukung kebijakan Bung Karno karena membebek atau oportinis, tetapi secara prinsipil tindakan itu benar, seperti pelaksanaan darurat perang, karena Indonesia sedang digoncang pemberontakan seperti DI-TII, termasuk PRRI yang dilakukan PSI. Juga NU setuju kembali pada UUD 1945 serta setuju terhadap pelaksanaan demokrasi terpimpin, karena dirasa demokrasi itu yang dianggap relevan, bukan demokrasi parlementer yang liberal.
Kader NU mesti mengerti sejarah ini secara proporsional, sebab seluruh sejarah dirumuskan berdasarkan perspektif eurocentrism yang selalu merendahkan NU. Cara pandang itulah yang digunakan Sjahrir dan aktivis PSI sampai sekarang. Sejarah harus diluruskan, agar generasi muda tidak terkecoh seperti sekarang ini. Bukan NU yang membonceng, dan hanya bisa mendompleng, hanya bisa menggerutu, mengatakan menempuh jalan parlementer tetapi dalam keadaan terpaksa melakukan pemberontakan. Bukan. Sebagai pendiri dan perumus ideologi bangsa, NU selalu setia membela negeri ini. []
(Mun’im DZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar