Lawyer
Tua tanpa Pesona
Oleh:
Mohamad Sobary
Perjuangan
demokrasi, keadilan, dan penegakan hukum sudah dirintis sejak zaman Orde Baru.
Di bawah pemerintahan otoriter dengan tentaranya yang bengis perjuangan itu
tidak mudah.
Pada
zaman itu siapa bicara demokrasi langsung dibungkam karena dianggap tidak
sejalan dengan garis ketentuan pemerintah. Siapa menuntut keadilan disikat di
tempat. Atau hilang dan tak pernah ditemukan kembali. Siapa bicara penegakan
hukum dia diancam pistol yang siap meletus. Inilah pemerintahan paling efektif
di dalam sepanjang sejarah politik kita. Tidak ada pemerintahan sebelum dan
sesudahnya yang bisa seefektif itu.
Kita—maksudnya
pemerintah— ibaratnya ”cekat-ceket”, gesit, cekatan, tidak banyak omong, ”rame
ing gawe” bekerja dengan baik, utamakan kerja, lupakan upah, dan pamrihpamrih
lain. Bekerja untuk bangsa tak boleh mengharapkan upah atau disertai pamrih.
”Untuk perintah?” ”Ya, kadang disebut untuk negara. Bahkan sering disebut untuk
bangsa dan negara” ”Siapa pemerintah itu?” ”Pemerintah yapemerintah” ”Itu
konsep dasarnya.
Di
lapangan, orang sering bersikap korup, menggunakan nama pemerintah, padahal dia
sengaja menyimpang. Apa yang disebut untuk ‘pemerintah’, demi ‘pemerintah’
sering pelaksanaannya untuk kepentingan swasta. Kata swasta di sini sangat
sering hanya mewakili segelintir orang kaya yang dekat dengan siapa saja, kaum
sipil, maupun militer yang berkuasa. Apa yang disebut untuk pemerintah itu
ternyata bukan untuk pemerintah sama sekali. Arti segelintir orang di situ bisa
anak pejabat tinggi. Boleh anak pejabat sipil.
Boleh
anak pejabat militer dan boleh saja untuk sahabat para pejabat tinggi yang
berkuasa tadi. Siapa berani tampil ke depan untuk melawan tingkah laku korup
seperti ini pasti dimusuhi. Segenap langkahnya dipersulit. Gerak-geriknya
diawasi ketat oleh intelijen negara. Apa yang diucapkannya dicatat dengan baik
dan utuh untuk dilaporkan atasan. Siapa berani menyoroti tingkah laku itu dari
segi demokrasi atau keadilan dia pasti dibabat. Risiko berat selalu menghadang
para pejuang tadi.
Tokoh
yang melawan di bidang hukum dan di pengadilan berani bersikap blak-blakan, apa
adanya, dia dituduh melakukan suatu ”contempt of court” yaitu menghina pengadilan
atau melecehkan tata tertib pengadilan. Padahal di pengadilan tidak ada barang
disebut ”tata” dan tidak ada pula ”tertib” jika keduanya atau gabungan keduanya
dihubungkan dengan keadilan. Pada zaman itu apa yang pernah adil?
Tapi,
para tokoh hukum yang mentereng luar dalamnya seperti Yap Thiam Hien, Bismar
Siregar, dan Baharuddin Lopa tak pernah mengenal takut. Kalau ketiganya masih
ada sekarang, mereka akan tetap pemberani, mentereng, punya harga diri yang
mengagumkan dan akan berdiri di panggung besar dunia hukum untuk berteriak pada
para lawyer, para hakim dan para jaksa, agar tetap gigih dalam perjuangan
menegakkan hukum, demokrasi, dan keadilan.
Tiga
tokoh itu pasti akan menilai kita dengan cermat adakah kita masih tetap di
garis perjuangan itu ataukah kita diamdiam melacur dan merusak kehidupan hukum,
keadilan, dan demokrasi. Saya kira asyik kalau mereka masih ada dan muncul
bersama-sama di suatu sidang pengadilan. Menangani suatu kasus berat dan besar.
Misalnya kasus orang terpenting dan anak istrinya mereka pasti tak gentar. Pak
Yap sebagai lawyer, Pak Bismar sebagai hakim, Pak Loppa sebagai jaksa. Dunia
hukum dan keadilan pasti geger. Mereka itu ibaratnya seperti malaikat, tak
doyan suap, tak butuh duit kotor seperti itu, dan tak butuh tampil
bermewah-mewah.
Tampil
seadanya, apa salahnya, asal tak punya jiwa pelacur dalam dirinya? Mereka tak
butuh tabungan dalam jumlah besar karena hanya pencoleng yang bisa menumpuk
duit, melalui kerja sungguhan, di bidang penegakan hukum, keadilan, dan
demokrasi. Mereka bukan hanya memiliki etika, melainkan wujud etika itu
sendiri. Tiga-tiganya pasti menangis jejeritan melihat sikap dan cara kerja
generasi penerus mereka masing-masing yang begitu kacau balau. Pak Yap akan
marah sekali melihat lawyer yang gigih membela semua koruptor besar.
Secara
mencolok sekali, memang ada tokoh hukum, lawyer, yang tangkas, ”cekat-ceket”,
cekatan, membela koruptor yang duitnya sangat besar. Tiap muncul koruptor besar
dia muncul sebagai pembela. Posisi seniornya dipakai untuk mencap sana sini
tidak benar dan seolah hanya dia yang membela koruptor besar itu yang paling
benar. Sekarang ini kebenaran tidak ada. Di masyarakat orang tak tertarik sama
sekali bicara kebenaran. Di dunia politik kebenaran dibalik-balik semau
politisi.
Sekarang
kaum rohaniwan pun jarang bicara kebenaran karena mungkin mereka malu pada diri
sendiri. Kebenaran di dalam citarasa para lawyer? Mereka membela seorang yang
diadili, bukankah hanya meyakinkan bahwa keadilan diterapkan pada kliennya
secara tepat? Bukankah dia membela klien agar dia tak diperlakukan semena-mena
dan dia telah mendapatkan perlakuan adil? Bukankah itu filosofi dasar
perjuangan hukum, keadilan dan demokrasi para lawyer? Tapi, mengapa lawyer
sering melebihi porsi itu? Mengapa mereka menggelapkan kebenaran, demokrasi,
dan keadilan dengan membela matimatian orang yang salah agar tidak dianggap
salah?
Dengan
porsi pembelaan seperti itu, apakah pembela koruptor tak dengan sendirinya juga
menjadi koruptor yang tanpa tedeng aling-aling diketahui publik, tapi tidak
malu, bahkan kelihatan merasa bangga akan dirinya? Tidak ada dilema etis yang
mengusik hati nuraninya? Pak Yap, jangan bertanya tentang etika, sesuatu yang
tidak ada lagi di zaman ini, tak begitu lama sesudah Pak Yap pergi. Mereka ahli
hukum yang tahu pasti etika tak punya kekuatan apa pun.
Dia bukan
hukum. Melanggar etika tidak masalah, kecuali bagi orang yang memang punya
keluhuran. Membela koruptor, menjadi sejenis koruptor pula, itu bukan penilaian
hukum, dan dia tidak bisa dihukum dengan aturan hukum kita. Orang hanya akan
berkata, ”ngrasani” mengejek, melecehkan, di belakang. Tak mungkin dia dituntut
secara hukum. Jadi, tidurlah dia dengan nyenyak. Pejuang demokrasi tak harus
hidup demokratis. Pejuang kebenaran apa salahnya melupakan kebenaran?
Pejuang
keadilan tak harus adil. Dia bahkan boleh mengoyak-ngoyak keadilan itu asal
honornya luar biasa besar. Jadi, Pak Yap, kelihatannya dia tak peduli sama
sekali. Pak Yap boleh marah. Boleh menangis dengan air mata darah, tak peduli.
Pak Yap boleh resah di kuburan sana, dia tak peduli. Bagaimana dia mau peduli
pada Pak Yap kalau pada dirinya sendiri dia sudah tak peduli? Membela koruptor
besar bukan suatu cela.
Dia tak
peduli apa kata orang. Risiko apa pun dia tak peduli. Menjadi lawyer tua, tak
dihormati orang, dan kehilangan pesona? Ya, sebagai lawyer tua, tanpa pesona,
apa dia bisa terima? []
KORAN
SINDO, 23 Februari 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk
Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar