Anak
Kandung Reformasi
Oleh: Mohamad Sobary
“Di
media, citra KPK makin melambung melampaui gedung-gedung tinggi di Jakarta.”
PADA
mulanya, semua orang gembira melihat kehadiran Komisi Pemberantsan Korupsi
(KPK). Lembaga ini disambut dengan penuh kelegaan sebagai jalan keluar mengatasi
penegakan hukum yang macet total, seperti lalu lintas di begitu banyak bagian
Kota Jakarta.
Dalam
kelegaan itu, kita mengutuk lembaga-lembaga penegakan hukum yang korup—yang
pejabat-pejabat di dalamnya menjadi kaya raya dengan uang haram, rampokan jatah
keadilan bagi seluruh rakyat yang menanti-natikannya dengan penuh harap—yang
selalu mengecewakan. KPK menjadi harapan baru. Lembaga ini pun bekerja lebih
baik dari semua lembaga yang digantikannya.
Penggantian
ini sebenarnya bersifat sementara. Kalau kejaksaan, kehakiman, dan kepolisian
bisa belajar dari apa yang baik, yang disaksikan dalam sepak terjang KPK,
mereka boleh mengambil kembali apa yang untuk sementara dioper ke KPK. Kalau
mereka sudah sembuh, boleh saja KPK dihapus kembali.
Tak
peduli KPK itu mandat civil society dan anak kandung reformasi yang menjadi
andalan, sebenarnya sejak semula ketiga lembaga itu tak rela melihat KPK
berperan baik. Mereka dengki melihat KPK menjadi pujaan publik, sambil setiap
saat media mengutuk mereka bertiga.
Kasus-kasus
besar korupsi, yang untuk waktu lama membuat masyarakat penasaran, bahkan
hingga ke tingkat frustrasi, di tangan KPK segalanya berjalan lancar.
Masyarakat
melihat langsung, pencuri demi pencuri, bahkan perampok demi perampok uang
negara dijaring, ditahan, diadili, dan tanpa kecuali semua dikirim ke penjara.
Kasus demi kasus ditangani, Alhamdulillah, dengan baik. Kasus demi kasus di
tangan KPK membuat kita lega. Memang begitulah hendaknya apa yang semestinya
terjadi sejak dulu.
Di
tangan ketiga lembaga yang sudah sangat lama lapuk, karatan, dan rusak berat
dari dalam karena para pejabat merusaknya, kasus demi kasus korupsi hanya
menjadi “dagangan”, boleh juga disebut “piaraan” menggembirakan.
Para
koruptor diperas sampai mendekati titik kering kerontang. Mereka dihukum ala
kadarnya. Ini hukuman “suka sama suka”. Ternyata korupsi bisa juga dilihat
sebagai kegembiraan dan menjadi sumber penghasilan di luar dugaan para penegak
hukum itu sendiri.
Dalam
konteks politik birokrasi seperti itu, nama KPK makin harum. Otomatis bau
ketiga lembaga itu makin menyengat hidung. Di media, citra KPK makin melambung
melampaui gedung-gedung tinggi di Jakarta, dan nama ketiga lembaga yang
digantikannya makin “nyungsep” dan terus dikutuk-kutuk. Lalu timbul rasa iri.
Jika
ketiga lembaga itu berhasil menangani dengan baik kasus korupsi yang bisa
menyelamatkan uang negara dalam jumlah besar, media senyap. Pengamat bisu. Tak
ada sambutan. Tak ada komentar, apalagi pujian.
Namun,
kalau KPK yang berbuat, biarpun hanya menyangkut hal-hal biasa yang tidak
spektakuler, sambutan media gegap gempita. Masyarakat dibuat menjadi makin lega
dan penuh rasa syukur.
Mula-mula
KPK dipuji. Lalu pelan-pelan, seperti mau dipuja-puja seperti dewa—tak peduli
KPK bukan lembaga suci, tak peduli KPK mengidap banyak kelemahan
internal—kadang seperti sadar dirinya mandi pujaan, lalu berkoar-koar. Kadang
KPK mengumbar janji, kadang meneriakkan kasus si anu akan segera dituntaskan.
Hanya perkara waktu saja.
Perkara
waktu? Di muka Bumi ini waktu sangat menentukan. Jadi, jangan disepelekan.
Kasus yang sangat lama tertunda, padahal sangat dinanti-nantikan masyarakat.
Jawabnya hanya soal waktu? Begitu lama waktu terbuang dan menimbulkan
ketidaksabarn. Jawabnya hanya soal waktu?
Didengki
Prestasi
demi prestasi diraih KPK di atas segenap kekurangannya yang tidak kecil membuat
KPK didengki, seperti disebut di atas. Banyak pihak-pihak yang iri dan berusaha
menjegal KPK. Sejak Tuan Presiden mengeluh KPK ternyata menjadi semacam
superbody, berturut-turut usaha memutus urat-urat nadi KPK dilakukan. Keluhan
Tuan Presiden seolah menjadi komando.
Serangan
orang-orang hebat dan berani nekat mengancam KPK. Ketua KPK dikriminalkan,
hingga sekarang masih ada di dalam penjara, pernah menjadi kasus sangat besar.
Heboh di media membuat kita menyimak dengan mata dan hati terbuka lebar.
Kemudian
kasus Bibit-Chandra yang menggemparkan itu dimunculkan. Ada di antara
orang-orang yang menyerang KPK itu mengaku dengan bangga dekat dengan Tuan
Presiden. Tuan Presiden mengelak mengenal orang-orang itu. Tiba-tiba,
pelan-pelan, alam membukakan sendiri rahasia itu. Ternyata benar, mereka memang
kenal Tuan Presiden.
Serangan
terselubung kepada KPK bermunculan. Seterselubung apa pun, masyarakat
mengetahuinya. Ini kasus terselubung yang terbuka. Ancaman untuk membuat KPK
lemah dilakukan dengan hati yang penuh iri, dengki, cemburu, dan takut karena
KPK keras, tegas, tanpa kompromi. Tangkap, ya tangkap. Tahan, ya tahan. Adili,
ya adili. Hukum, ya hukum. Penjara, ya penjara.
Banyak
cara, banyak ragam mekanisme memotong urat nadi KPK. Ada yang mempersoalkan hak
penyadapan yang dimiliki KPK. Ada yang ditempuh dengan menarik penyidik dari
kepolisian agar KPK timpang. Ada yang mempersoalkan Pengadilan Tipikor yang tak
pernah membebaskan koruptor. Semua unsur yang bisa membuat KPK lemah ditempuh.
KPK harus lemah.
Sekarang,
heboh soal KUHP dan KUHAP. Wah, suara ketua DPR hebatnya bukan main. Begitu
juga suara pemerintah. Dua-duanya melecehkan KPK picik, berpandangan sempit,
seolah mereka lebih pintar. Kalau memang tak ada niat membungkam KPK, apa
salahnya mengakomodasi tuntutan KPK?
Kalau
benar mereka bekerja demi kepentingan bangsa dan untuk persoalan lebih besar,
apa KPK tidak bersikap seperti itu? Rentetan kasus demi kasus pelemahan KPK
mudah dibaca. Alurnya jelas. Strategi dan wujud tindakannya sangat jelas.
Bahkan, niat di balik semua langkah itu pun jelas.
Mereka
mau membunuh semangat reformasi di bidang penegakan hukum. Mereka lupa, KPK itu
anak kandung reformasi yang mengakomodasi aspirasi masyarakat, untuk membuat
negeri kita agak bersih dari korupsi, untuk membuat kita tampak punya niat baik
menata kehidupan. Anak kandung reformasi ini tak boleh diancam demi kepentingan
buruk yang membuat reformasi tak berarti. []
SINAR HARAPAN, 26
Februari 2014
Mohamad Sobary ; Budayawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar