Pilihan
Rakyat Bukan Pilihan Tuhan
Oleh:
Mohamad Sobary
Di dunia
politik, dan melalui peristiwa-peristiwa politik, tercatat nama-nama tokoh,
yang tiba-tiba mendapat dukungan dan simpati rakyat. Ada bahkan dukungan dan
simpati yang pernah melahirkan presiden. Lain soal bahwa yang terpilih melalui
suasana psikologi seperti itu akhirnya menodai kepercayaan rakyat dan membikin
mereka kecewa.
Adagium
demokrasi, yang menyatakan ”suara rakyat suara Tuhan” apa masih cukup tepat
dipertahankan dalam konteks politik seperti ini? Dengan kata lain, ”suara
rakyat” jenis ini masih pantas dianggap ”suara Tuhan”, apa ”suara rakyat” di
sini hanyalah suara yang tersesat? Harus dicatat pula di sini bahwa otomatis
”pilihan rakyat” juga dianggap ”pilihan Tuhan”? Saya kira ”suara Tuhan” itu
kehendak kerajaan langit, yang pasti tidak pernah salah. Tapi mengapa ”suara
Tuhan” kok menghasilkan pemimpin yang sekadar apa adanya, tanggung jawabnya
rendah, hasil prestasinya tak menentu, dan hanya merangsang gejolak perdebatan
tanpa henti, dan hirukpikuk tanpa hasil nyata?
Saya tak
begitu percaya pada adagium itu, meskipun tiap hari saya siap untuk berjuang
dengan susah payah agar bisa menjalani hidup di dunia fana ini secara
demokratis. Untuk sebuah bangsa yang cepat terharu, cepat menangis, cepat
memihak dengan emosi yang tak tertahan, dan siapa saja yang kalah dalam
percaturan politik dan hukum lalu disebut orang yang ”dizalimi”, apa—sekali
lagi—suara rakyat seperti ini bisa dipertanggungjawabkan sebagai suara Tuhan?
Apa kita menganggap Tuhan itu begitu mudah terharu terhadap perkara biasa yang
mengharukan kita?
Apa kita
bermaksud mengatakan Tuhan begitu cengeng, dan cepat menangis menghadapi suatu
keadaan, seperti yang begitu sering terjadi di dalam masyarakat kita? Tuhan
kita posisikan begitu emosionalnya sehingga Dia cepat terpengaruh, dan mau tak
mau langsung menjadi bagian dari apa yang diberi sebutan dengan sikap yang
begitu masokhis: yang dizalimi? Sebentar-sebentar kita menggunakan kata ”yang
dizalimi” ini untuk merajuk, minta perhatian, menarik dukungan dan simpati.
Dengan
cara ini, sebenarnya kita menindas pihak lain dengan menggunakan kelemahan
kita.Apa kata ”dizalimi” di sini punya jaminan kuat, dan pasti merupakan tanda
keimanan? Apakah ungkapan itu hanya bisa keluar dari dorongan jiwa seseorang
yang imannya memang dalam, atau dari komunitas orang-orang beriman, yang begitu
tulus dan mudah menentukan pemihakan politik berdasarkan sebuah kesalehan yang
tak perlu dipersoalkan? Iman seperti apa, dan corak kesalehan macam apa yang
begitu cepat mengubah gejala psikologi menjadi fenomena politik, yang tak bisa
didebat, dan tiap saat hanya menjadi prinsip kaku dan mati: pokoknya suara
rakyat tak bisa diganggu gugat?
Di dalam
konteks politik dan hukum di negeri kita, ”suara rakyat”, yang dipaksakan harus
merupakan ”suara Tuhan” itu kelihatannya lebih merupakan romantisme yang
hidupnya jauh dari dunia yang becek, dan penuh bekas-bekas banjir ini. Melihat
pengalaman ini, sebaiknya kita tak usah aneh-aneh. Sebaiknya kita lugas dan apa
adanya saja. Suara rakyat ya suara rakyat. Tuhan, yang ”tak tahu-menahu” dan
tidak ada urusan dengan persoalan ini, tidak pantas dibawa-bawa. Jadi,
sebaiknya kita menganggap ”suara rakyat” ya ”suara rakyat”.
Lebih
sosiologis. Kita tak usah berlebihan, justru supaya iman kita waras, dan sehat,
dan kesalehan kita tak terluka. Iman yang sehat, dan kesalehan yang tulus, tak
mungkin rela menganggap Tuhan mau diajak berjual-beli suara. Serangan fajar,
yang dengan ambisi kotor membeli suara rakyat, yang siap, dan kemudian menjadi
serakah menerima ”money politics” apa itu berarti Tuhan betul yang dibeli
suaranya? Apa dikiranya Tuhan mau diajak menyimpang? Tuhan disamakan dengan
warga negara, rakyat yang kabarnya berdaulat, tapi jiwanya compang-camping, dan
mau mendukung calon-calon busuk, yang bakal menghancurkan kehidupan rakyat itu
sendiri?
Orang
baik-baik membuat citra serba baik tentang Tuhannya. Mereka yang doyan
menyimpang sebaliknya. Ada orang yang melarang saya mengkritik SBY, karena dia
percaya, dan saya harus juga percaya, SBY dipilih Tuhan, dan menjalankan mandat
langit yang suci. Saya mau percaya bahwa presiden dipilih Tuhan. Tapi apa Tuhan
itu murahan, dan begitu mudah dikecoh? Kalau betul Tuhan yang memilih presiden
itu, kita harus tahu apa pesan Tuhan waktu itu. Saya tidak percaya bahwa Tuhan
berbisik: jadilah presiden, dan berbuatlah sesukamu. Menangis juga boleh.
Menyanyi pun tak dilarang. Tidak mungkin.
Pesan
Tuhan pasti lain, penuh kasih, penuh tanggung jawab: jadilah presiden, dan
jangan selingkuh terhadap hak-hak rakyat. Jangan nodai konstitusi. Menangis
boleh, menyanyi pun boleh tapi kerjakan apa yang harus dan wajib dikerjakan
seorang presiden. Kalau tidak mampu menangani begitu banyak persoalan: biarkan
orang miskin yang menangis, dan serahkan urusan menyanyi dan berkidung-kidung
pada seniman beneran.
Pendeknya,
Tuhan tak bisa dibawa-bawa secara sepele dan penuh penghinaan seperti ini.
Tuhan itu bisa saja menaruh perhatian pada politik Indonesia yang mengenaskan
ini. Tapi saya kira Tuhan tak begitu tertarik membuang-buang waktu terlalu
banyak pada perkara yang sudah dilimpahkan pada semua manusia, para khalifahnya
di muka bumi ini. Bila memang Tuhan yang memilih presiden, dan yang dipilih selingkuh
dari tanggung jawab kerakyatan, saya kira pada tempatnya kalau Tuhan juga
mengirim tukang kritik, untuk menyampaikan berita gembira dan peringatan.
Berita gembira dan peringatan?
Itu
urusan rasul-rasul, dan nabi-nabi. Tukang kritik hanya menyampaikan bahwa yang
tidak baik itu tidak baik, dan mengingatkan bahwa pemimpin tak boleh
mencampuradukkan yang ”haq” dan yang ”bathil”. Ini proses kebudayaan, dan
gambaran bekerjanya kebudayaan di wilayah politik. Bahasa teknis-akademisnya
”kebudayaan politik”. Jadi ”pemimpin” dan ”kepemimpinan” itu fenomena
kebudayaan. Di dalam kebudayaan pemimpin lahir, atau dilahirkan, muncul, atau
dimunculkan sebagai wujud aspirasi, dorongan ideologis, wawasan, sikap dan
tingkah laku warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.
Tiap saat
pemimpin lahir, atau dilahirkan, dan muncul, atau dimunculkan, seperti disebut
tadi tanpa memikirkan kualitasnya secara serius. Memiliki kompetensi teknis
yang diperlukan, atau tidak, hebat betul atau tidak,, sering kita abaikan.
Seolah kita selalu siap untuk kecewa, padahal tidak. Kemudian kita risau.
Memilih pemimpin saja kita terbukti tidak mampu. Ketika baru memilih, optimisme
kita melonjak-lonjak menyundul langit., untuk kemudian berakhir dengan kecewa.
Kita
membawa-bawa Tuhan dalam politik, dan memanipulasi- Nya untuk kepentingan
rakyat. Kita menganggap ”suara rakyat suara Tuhan”, dan apa yang merupakan
”pilihan rakyat” disebut ”pilihan Tuhan”, kelihatannya hanya untuk menunjukkan
bahwa kita tak bertanggung jawab. Kita limpahkan kesalahan pada Tuhan? Ini
sikap kebudayaan yang tak sehat. Kita harus tegas: ”pilihan rakyat bukan
pilihan Tuhan”. []
KORAN
SINDO, 10 Maret 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota
Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan
Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar