Menumpas
Pemberantasan Korupsi
Oleh:
Bambang Widjojanto
BANGSA ini tampaknya tidak cukup serius melakukan
pemberantasan korupsi. Indikasi atas kesimpulan itu sangat jelas. Revisi Kitab
Hukum Pidana yang disampaikan Presiden kepada DPR pada 11 Desember 2012 telah
mengabaikan dan bahkan mengingkari tuntutan rakyat yang menjadi dasar
spiritualitas ditumbangkannya rezim koruptif dan nepotistik Orde Baru dan
lahirnya rezim Reformasi.
Tuntutan rakyat itu dijustifikasi melalui Ketetapan MPR
Nomor XI Tahun 1998 dan Ketetapan MPR Nomor VIII Tahun 2001 yang menegaskan,
upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun
juga, perlu dibentuk lembaga yang khusus menangani anti korupsi, pencucian
uang, perlindungan saksi, dan pembuatan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Perubahan adalah keniscayaan sehingga revisi atas suatu perundangan adalah hal
yang lazim, tetapi semua revisi itu terbuka untuk disikapi secara kritis dan dikaji
oleh berbagai pihak, termasuk oleh KPK.
Tak jadi rujukan
Lihatlah naskah akademik yang menjadi dasar revisi KUHP
itu, ternyata kedua TAP MPR di atas tidak dijadikan rujukan sama sekali.
Begitupun berbagai perundangan materiil lain, antara lain UU Nomor 8 Tahun 2010
tentang Tindak Pidana Pencucian uang, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, dan perundangan yang mengatur lembaga tertentu
seperti UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor serta perundangan
lain tidak dikaji secara mendalam dan menjadi bagian penting dalam naskah akademik
yang kemudian perlu diserap dalam revisi KUHP.
Yang perlu mendapat perhatian, naskah akademik seperti
tersebut dalam publikasi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) 2012, menurut
jawaban surat Menteri Hukum dan HAM, sudah disiapkan sejak 1982 dan karena itu
rujukan referensinya sebagian besar buku-buku terbitan di bawah tahun 2000-an.
Bahkan, ada buku terbitan lama sekali yang dijadikan rujukan, seperti Studies
Comparative Criminal Law (1874), The Dilemma of Penal Reform (1939), dan
Sentencing in Magistrate Court (1962). Apakah ini mungkin karena buku referensi
tersebut tak tergantikan hingga masih tetap jadi rujukan? Bukankah ada cukup
banyak referensi baru yang memperdebatkan topik seperti dalam buku di atas?
Bersyukur ada buku yang agak baru yang dipakai sebagai rujukan, yaitu Tujuan
dan Pedoman Pemidanaan (2009), meski tidak jelas sudah cetakan yang ke berapa.
Kita belum tahu apakah buku-buku mutakhir mengenai
perkembangan modus operandi kejahatan tindak pidana korupsi dan pencucian uang
serta perkembangan teori pidana dan pemidanaan yang menjadi referensi
rujukannya juga digunakan sebagai dasar referensi naskah akademik. Belum lagi
jika ditanyakan apakah pengalaman dan pengetahuan terbaik dari lembaga
penegakan hukum di Indonesia dan internasional telah cukup digali, dikaji dan
dipertimbangkan, serta diabstraksi jadi kerangka masukan dalam naskah akademik
agar perumusan pasal-pasal revisi bisa kompatibel dan antisipatif atas
perkembangan modus kejahatan yang kian canggih.
Pertanyaan dasar yang perlu diajukan, apakah benar revisi
KUHP tidak mendekonstruksi dan mendelegitimasi sifat extraordinary dari
kejahatan korupsi menjadi tindak pidana umum? Apakah benar UU Tipikor tetap
menjadi UU yang tetap bersifat lex specialis sesuai revisi KUHP?
Kesimpulan dalam naskah akademik menyatakan secara tegas:
”… pembentukan hukum pidana di luar KUHP telah menyimpangi ketentuan umum hukum
pidana… dalam kenyataannya membentuk hukum pidana sendiri di luar KUHP…
mengakibatkan terjadi problem hukum pidana pada level normatif dan praktik
penegakan hukum pidana. Keadaan… diperparah dengan dibentuknya
lembaga/institusi baru yang bersifat independen yang diberi wewenang untuk
melakukan penegakan hukum dan pembentukan pengadilan baru…”. Kesimpulan itu
menegaskan: ”…kebijakan kodifikasi menjadi pilihan yang tepat dan meniadakan
hukum pidana khusus yang dimuat dalam undang-undang di luar kodifikasi…”.
Jadi, sudah disimpulkan bahwa pembentukan lembaga baru,
yaitu KPK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan
lainnya, termasuk pengadilan yang bersifat independen, telah merusak sistem
hukum pidana yang ada. Apakah kesimpulan ini tak terlalu terburu-buru dan
terlalu percaya diri (overconfident) karena diputuskan secara sepihak, elitis,
dan eksklusif hanya oleh tim perumus, tidak melibatkan kalangan ahli yang lebih
luas dengan multiexpertise, para users dalam perundangan ini, dan masyarakat
yang kelak akan mendapatkan dampak dari pengaturan revisi ini. Padahal,
perundangan yang hendak direvisi menyangkut hajat hidup orang banyak.
Apabila kesimpulan di atas dikaitkan dengan pernyataan
halaman 158 naskah akademik yang mengemukakan, ”… kebijakan kodifikasi
merupakan pilihan yang tepat dan meniadakan hukum pidana khusus yang dimuat
dalam undang-undang di luar kodifikasi… ”. Oleh karena itu, yang diambil
kebijakan kodifikasi tertutup dan ditetapkan menjadi pilihan oleh perumus
naskah akademik. Itu artinya revisi KUHP akan melakukan penghapusan tindak
pidana di luar KUHP yang sekaligus penghapusan hukum pidana khusus, termasuk di
dalamnya tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary
crime) yang perlu diatur dalam UU yang bersifat lex specialis. Konsekuensi
logis lanjutannya, bukan tidak mungkin kelak akan dilakukan penghapusan
lembaga-lembaga yang mempunyai kewenangan khusus di bidang pemberantasan
korupsi, termasuk pengadilan tipikor. Dengan demikian, pernyataan Menteri Hukum
dan HAM dan pejabat lain bahwa UU Tipikor akan diatur secara lex specialis
adalah tidak benar. Fakta bahwa pemberantasan korupsi dan lembaga yang diberi
mandat untuk itu dilemahkan dan diamputasi adalah sesuatu yang tak
terbantahkan.
Kodifikasi tertutup
Hal lain yang penting diperhatikan, model kodifikasi
tertutup yang dianut oleh revisi KUHP menegaskan dan menekankan bahwa dalam
suatu hukum nasional hanya ada satu sistem hukum pidana dan serta-merta
meniadakan pengaturan hukum pidana di luar kodifikasi. Perkembangan jenis
kejahatan dan peningkatan modus operandi tidak akan bisa diakomodasi oleh
kodifikasi model tertutup.
Oleh karena itu, KPK memilih kodifikasi model terbuka
karena masih terbuka ruang dan kesempatan untuk mengatur hal-hal khusus yang
tidak cukup diatur dengan adanya perkembangan kejahatan selain dari yang diatur
di kodifikasi. Lebih-lebih kejahatan korupsi yang masih sangat masif dan
bersifat sangat terorganisasi dan kejahatan transnasional, maka dapat
dipastikan dengan penanganan atas hukum acara yang bersifat umum dan strategi
penanganan yang biasa-biasa saja tidak akan dapat ”menaklukkan” korupsi.
Pilihan atas kodifikasi tertutup menyebabkan pengaturan
tindak pidana khusus seperti korupsi, pencucian uang, terorisme, HAM, dan
narkotika diatur di dalam Buku II Revisi KUHP, kecuali tindak pidana perbankan
dan perpajakan. Tim perumus KUHP menggunakan kriteria tertentu untuk menarik
masuk suatu jenis tindak pidana khusus ke dalam kodifikasi, yaitu: (1) suatu
perbuatan jahat yang bersifat independen; (2) daya berlakunya relatif lestari
karena tak berkaitan dengan masalah prosedur atau proses administrasi; dan (3)
ancaman hukumannya lebih dari satu tahun pidana perampasan kemerdekaan.
Pada kenyataannya, tim perumus tidak mendefinisikan secara
utuh dan menyeluruh pengertian pokok yang dijadikan kriteria tersebut di atas;
dan pada konteks tipikor ada banyak tindak tipikor yang terjadinya sangat
bergantung pada pelanggaran norma di bidang hukum administrasi sehingga
memengaruhi penilaian atas terjadinya tindak pidana korupsi. Dengan demikian,
korupsi seyogianya tidak dapat dimasukkan ke dalam kodifikasi Buku II Revisi
KUHP.
Selain itu, ketentuan yang tersebut di dalam Konvensi PBB
Melawan Korupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC) yang sudah
diratifikasi Indonesia dan juga ”katanya” digunakan sebagai rujukan revisi KUHP
tidak hanya telah menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, tetapi juga
menjelaskan dampak luar biasa yang disebabkan oleh kejahatan itu. Misalnya:
runtuhnya kepercayaan publik pada birokrasi pemerintahan dan lembaga penegakan
hukum, rusaknya nilai etika dan keadilan serta prinsip demokrasi, pelanggaran
atas hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat selain menghalangi terwujudnya
masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.
Karena itu, diperlukan upaya dan sarana yang luar biasa dan
tentu saja diperlukan aturan khusus pidana materiil dan hukum acara yang khusus
pula.
Beberapa kemunduran
Ada beberapa hal yang dapat dikategorisasikan sebagai suatu
kemunduran atas pengaturan pasal tertentu di dalam Buku I KUHP, misalnya: (1)
tentang percobaan pidana. Revisi KUHP mengatur perluasan definisi percobaan
bukan hanya permulaan pelaksanaan, melainkan juga hingga perbuatan persiapan.
Perluasan itu tidak diperlakukan untuk tindak pidana korupsi dan justru
diperlukan untuk tindak terorisme; (2) dalam pembantuan. Dalam UU Tipikor, ada
suatu norma bahwa pihak yang melakukan pembantuan diancam sama dengan ancaman
terhadap pelaku tindak pidana, tetapi di dalam revisi KUHP norma khusus tadi justru
dihilangkan.
Kemudian (3) tentang pidana dan pelaksanaan pidana. Pada
revisi KUHP ternyata tidak diatur tentang sanksi pidana pembayaran uang
pengganti sebagaimana dikenal dalam Pasal 18 UU Tipikor. Tujuan esensial dari
UU Tipikor untuk mengembalikan kerugian negara sebanyak-banyaknya tidak
dirumuskan dalam revisi; (4) rumusan Pasal 20 UNCAC yang mengatur Illicit
Enrichment, yaitu peningkatan kekayaan yang luar biasa dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan belum dirumuskan sebagai tindak pidana korupsi; dan Pasal
22 UNCAC mengenai Embezzlement of Property in Private Sector justru dirumuskan
sebagai tindak pidana penggelapan bukan tindak pidana korupsi.
Ada cukup banyak hal yang perlu diajukan dan semuanya ada
dalam kajian KPK atas revisi KUHAP yang segera dipublikasikan oleh KPK.
Akhirnya, seluruh uraian di atas dapat menjawab pertanyaan dasar yang diajukan,
revisi KUHP ternyata dapat mendekonstruksi dan mendelegitimasi pemberantasan
korupsi. Sifat extraordinary dari kejahatan korupsi akan berubah menjadi tindak
pidana umum dan kehilangan sifat lex specialis-nya dan lembaga yang mempunyai
mandat untuk melaksanakan pemberantasan korupsi akan kehilangan dasar
legalitasnya seperti tersebut di dalam revisi KUHP.
Semoga kita tidak bermain-main dengan kata dan pernyataan
atas suatu revisi perundangan yang menyangkut hajat hidup banyak orang dan
kepentingan atas bangsa dan negara ini. Optimisme pemberantasan korupsi harus
terus dihidupkan meski hujan badai dan gelegar petir korupsi terus menghantam
persada dari negeri tercinta. []
KOMPAS,
28 Februari 2014
Bambang Widjojanto ; Komisioner KPK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar