Harmonisasi Budaya Jawa
dalam Islam
Oleh: Faiqotun Ni’mah
Sebagai salah satu suku yang ada di
Indonesia, Jawa memberikan tak sedikit sumbang sih budaya terhadap Indonesia
sehingga ia bisa disebut negara kaya budaya. Banyak budaya berasal dari Jawa
yang terepresentasikan dalam bentuk tradisi-tradisi, baik tradisi yang berupa
hiburan, bersifat spiritual, berbau mistik, maupun kolaborasi dari ketiganya.
Contoh tradisi berupa hiburan, misalnya wayang, tari-tarian, dan ketoprak.
Tradisi bersifat spiritual, misalnya tradisi keraton. Tradisi berbau mistis,
misalnya mantera-mantera, azimat, dan ramalan. Sedangkan wayang adalah salah
satu dari sekian banyak varian budaya Jawa yang mengandung ketiganya.
Tradisi Wayang
Sebut saja, para mistikus kejawen, mereka
menjelaskan bahwa pertunjukan wayang bisa dipahami sebagai gambaran dunia.
Allah diibaratkan sebagai dalang dan makhluk ciptaan-Nya (manusia) tak ubahnya
seperti wayang yang bisa pentas di pertunjukan karena ada dalang. Ini adalah
aura spiritual dari dunia wayang.
Dalam pewayangan pun terdapat kisah-kisah
maupun tokoh-tokoh yang sering diharmonisasikan dengan Islam. Sebagai contoh,
tokoh pewayangan Yudhistira; salah satu dari lima Pandawa dalam kisah
Mahabaratha.
Yudistiralah satu-satunya tokoh pewayangan
yang diyakini konversi ke Islam. Dalam mitos konversi ini, Sunan Kalijaga
memainkan peran yang penting. Mitos ini menyebutkan Yudistira tidak mau
berperang sebab kebebasan dan kemurniannya yang sempurna dari nafsu amarah.
Untuk melindunginya, Batara Guru memberinya sebuah azimat yang bernama Serat
Kalimasada. Azimat ini bisa menjauhkan musuh, memelihara stabilitas kerajaan
Pandawa, dan bahkan bisa menghidupkanorang yang sudah mati. Serat kalimasada
itu adalah sebuah teks yang tertulis dalam bahasa yang asing yang tak terbaca.
Karena ia memilki azimat itu ia bisa hidup beberapa tahun setelah para pandawa
lain meninggal, dan ia mengembara sendirian dalam hutan. Setelah waktu yang
begitu lama, ia bertemu dengan Sunan Kalijaga, yang datang untuk menyebarkan
ajaran Islam. Sunan Kalijaga bisa membaca teks tersebut, karena merupakan teks
bahasa Arab. Teks tersebut berbunyi: ”Ashadu alla ilaha illa Allah wa’asyhadu
anna muhammadar-rasul Allah”.
Dengan membaca berulang-ulang kalimat
tersebut dan menerima kebenarannya, Yudistira meninggal sebagai seorang Islam,
yang memang telah ditakdirkan oleh Allah.
Orang Jawa mengakui, istilah Jawa Kalimasada
berasal dari kata kalimat dan syahada (bersaksi/bersumpah). Syahada bisa
digunakan sebagai suatu istilah yang umum dipakai untuk menyebut pengakuan
iman. Mengakui kebenaran pernyataan ini merupakan persyaratan minimal untuk
menentukan seseorang beragama Islam atau tidak. Sebab, syahadat merupakan rukun
Islam yang pertama.
Selain itu, bau mistis bercampur spiritual
wayang dapat dilihat dari beberapa penjelasan mistikus Jawa kontemporer yang
menyatakan bahwa daftar nabi yang tercatat dalam Al-Qur’an hanyalah nama-nama
yang dikenal oleh orang Arab dan Budha, Wisnu dan Krisna adalah nabi-nabi Jawa
pra-Islam.
Membahas mitologi wayang, tentu tak lepas
dari pengaruh budaya pra-Islam yaitu Hindu maupun Budha. Dan sudah tentu
terpengaruh dari budaya India, sebab Hindu-Budha datang di Jawa berasal dari
India. Maka tak heran jika kisah-kisah dalam pewayangan Jawa hampir mirip
bahkan dikatakan sama dengan cerita-cerita yang ada di India, semisal cerita
tentang dewa Krisna, sebenarnya sama dengan cerita pewayangan Jawa mengenai
Prabu Kresna yang terangkum dalam kisah Mahabarata. Hanya beda sebutan nama
saja yaitu di India disebut Krisna tiba di Jawa mengikuti lidah orang Jawa
menjadi Prabu Kresna.
Sebenarnya ada banyak hal positif yang dapat
diambil dari pertunjukan wayang. Sehingga dapat menepis anggapan negatif yang
ditujukan terhadapnya seperti yang dilakukan para kaum reformis yang menganggap
menontot wayang itu adalah perbuatan maksiat.
Sebagai produk budaya, sesungguhnya wayang
diakui keunikannya tidak hanya di kalangan masyarakat Jawa saja, namun juga di
kalangan masyarakat belahan Asia lainnya. Von Grunebaum melaporkan bahwa
“wayang Cina” adalah bentuk hiburan paling umum di kalangan masyarakat Muslim
Timur Tengah pada abda ke-13. Ini berarti wayang pun diakui oleh kaum Muslim
tidak hanya subyektif oleh para mistikus kejawen.
Namun, banyak perdebatan mengenai anggapan
terhadap pertunjukan wayang maupun tradisi budaya Jawa lainnya. Bagi masyarakat
yang sepakat dengan pelestarian budaya dengan tegas menyatakan kita sebagai
generasi penerus harus melestarikannya, dalam istilah Jawa ”nguri-uri”. Namun
bagi masyarakat lain yang lebih “sufi” ber-Islamnya akan menolak dengan tegas
tradisi Jawa yang diakui kebanyakan bersifat mistis karena dikhawatirkan menimbulkan
kesyirikan.
Kasus selain wayang yang lebih banyak di
perdebatkan di kalangan ulama’ Islam Jawa adalah mengenai mantera-mantera atau
do’a-do’a yang pada puncaknya dianggap sebagai ilmu perdukunan atau pun sihir.
Dalam bukunya yang berjudul Islam Jawa Kesalehan
Normatif versus Kebatinan, Mark R. Woodward menjelaskan bahwa pandangan Jawa
kontemporer mengenai hubungan antara kesaktian dan kesalehan Muslim sangat
serupa, dan ada perbedaan antara bentuk sihir yang legal dan ilegal.
Legenda-legenda Sulaiman dan legenda-legenda dari buku Arabian Nights (Seribu
Satu Malam) memberikan preseden yang jelas terhadap pemakaian sihir oleh
kalanagan Muslim yang saleh. Kekuatan-kekuatan magis Sulaiman digambarkan
dengana panjang lebar dalam Al-Qur’an (34: 12). Ia dipercayai menguasai
kerajaan dunia dan mempunyai kemampuan untuk memerintahkan para jin, burung,
binatang, dan angin. Kekuatannya berasal dari suatu cincin bertanda yang
terpahat rahasia nama Allah yang Agung. Tetapi ia juga dikatakn mempelajari
seni-seni sihir itu di Mesir dan menjadi guru ahli matematika Yunani,
Phytagoras. Sulaiman memberikan suatu paradigma bagi pemakaian sihir secara
legal sebab ia seorang nabi sekaligus ahli sihir terbesar dalam sejarah.
Akhirnya, berbagai tradisi yang sudah berlaku
dapat senantiasa dihargai dan dilestarikan. Harmonisasi antara agama dan budaya
pasti akan tercipta. Wallu a’lam bi al-shawab. []
Faiqotun Ni’mah, mahasiswa Tafsir dan Hadits
Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang dan Penerima Beasiswa Unggulan
Monash Institute Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar