Solusi
untuk Kelistrikan Kita
Oleh: M
Jusuf Kalla
SAAT
pulang ke rumah di sore hari, apa yang dilakukan? Umumnya, menghidupkan lampu,
menonton televisi, dan mengisi baterai ponsel. Semua itu butuh listrik. Di
kantor begitu juga. Apalagi perindustrian, semua mesin dan faktor produksi
beroperasi dengan listrik, karena ekonomi baru bisa tumbuh dengan tersedianya
tenaga listrik.
Kalau
penduduk Sumatera Utara marah dan memprotes kekurangan listrik, hal itu tentu
dapat dipahami karena kehidupan sehari-hari dan ekonomi mereka terganggu.
Itulah, karena dari sisi mana pun listrik sudah menjadi kebutuhan pokok kita.
Hal ini tentu diketahui dan disadari pemerintah, tetapi tak diatasi dengan
baik. Bahkan, daripada bekerja menyelesaikan masalah, menteri lebih memilih
menyalahkan padamnya listrik kepada pemerintah terdahulu. Mereka lupa bahwa
pemerintah terdahulu presidennya SBY juga.
Pada
2005, pemerintah menghadapi situasi sangat sulit. Akibat kenaikan harga minyak,
subsidi energi melebihi Rp 200 triliun, subsidi listrik Rp 50 triliun. Adapun
pada waktu itu kapasitas PLN hanya 25.000 MW, sebanyak 6.000 MW di antaranya
menggunakan diesel yang mahal biaya operasinya. Kebijakan yang ditempuh harus
drastis agar negara keluar dari masalah besar, dengan cara mengurangi subsidi
atau menaikkan harga BBM; mengurangi pemakaian listrik dengan penghematan
besar-besaran, seperti lampu reklame dan jam buka mal dikurangi, pembatasan
siaran televisi hanya sampai pukul 12 malam, AC kantor hanya boleh 25 derajat
celsius sehingga karyawan tidak nyaman lagi memakai jas, lalu beralih ke batik
yang menjadi tren sampai sekarang.
Dengan
upaya itu, ekonomi kita selamat dan bertumbuh baik. Langkah berikutnya,
konversi minyak tanah ke elpiji untuk mengurangi subsidi BBM dan hasilnya
menghemat subsidi Rp 50 triliun per tahun. Dari sisi pembangkit listrik harus
ditambah daya dengan proyek 10.000 MW yang harus dibangun cepat, yakni
membangun PLTU batubara yang biaya listriknya sekitar 7 sen dollar AS per KwH,
menggantikan pembangkit bertenaga diesel yang biaya operasionalnya lima kali
lebih mahal, 35 sen dollar AS per KwH.
Waktu
itu, beberapa anggota direksi PLN meminta pembangunan pembangkit baru hanya
3.000 MW. Namun, saya tegas menerapkan 10.000 MW, yang tahap awalnya (tahap I)
dimulai 2007. Jika kita mau konsisten membangun ekonomi dan memenuhi kebutuhan
masyarakat, kita seharusnya membangun pembangkit dalam jumlah yang sama setiap
tiga tahun. Dengan perhitungan, kebutuhan listrik setiap tahun naik 15 persen
karena pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi, gaya hidup, penyusutan, dan
penghapusan diesel. Di samping untuk ketahanan pasokan listrik, harus tersedia
cadangan daya 30 persen. Karena saat ini cadangan listrik kita hanya sekitar 15
persen, sulit melakukan perawatan pembangkit. Bandingkan dengan Singapura yang
punya cadangan hampir 100 persen.
Mengapa
tiga tahun? Karena pembangunan pembangkit listrik membutuhkan waktu pengerjaan
konstruksi paling cepat tiga tahun. Ketika pembangunan pembangkit listrik tahap
I tahun 2007 dimulai, dana APBN dan PLN tak ada, maka harus pinjam dan crash
program. Saya sampaikan kepada Presiden SBY waktu itu, ”Kalau pembangunan
pembangkit listrik tidak dipercepat, pada akhir masa jabatan 2009 akan terjadi
krisis listrik.”Beliau pun langsung setuju.
Mengapa
buatan China?
Pengadaan
dilakukan melalui tender terbuka dan hanya China yang mampu mengerjakan dengan
cepat serta dukungan kredit berikut harga yang lebih murah. Mengingat
pembangkit China memang tidak sebaik Siemens atau GE, pada saat pemesanan PLN
secara khusus menyewa konsultan dari Eropa untuk menjaga kualitas pembangkit.
Kredit, yang semula semua berasal dari China, oleh menteri keuangan diubah
sebagian ke bank asing dan domestik dengan jaminan pemerintah. Di China
kapasitas listriknya sekitar 600.000 MW dan sebagian besar dengan mesin mereka
sendiri, yang faktanya beroperasi dengan baik. Pembangkit di China seluruhnya
berkapasitas besar di atas 600 MW mengingat kebutuhan industri yang besar dan
mereka umumnya di mulut tambang dan memiliki National Grid.
Kita
negara kepulauan yang kebutuhannya berbeda-beda dan tentu tak tersedia jaringan
transmisi nasional. Sejarah pembangkit listrik buatan China di Indonesia,
pertama kali digunakan sejak tahun 2000 oleh perusahaan listrik Dahlan Iskan di
Kalimantan dan pabrik semen Tonasa yang tetap beroperasi baik hingga kini.
Nasib
listrik 10.000 MW
Rencana
proyek 10.000 MW itu seharusnya selesai tahun 2010/2011, tetapi karena
perhatian pemerintah dan PLN dalam mengatasi masalah seperti lahan dan
teknisnya serta progres kontraktornya tidak maksimal, maka sampai tahun 2014
yang rampung hanya sekitar 8.000 MW. Padahal, dalam kurun waktu sama,
pembangunan PLTU Bosowa di Sulawesi Selatan dapat diselesaikan hanya dalam
tempo 2,5 tahun karena perhatian yang baik.
Tanpa
crash program yang telah dilaksanakan pemerintah sebelumnya, seluruh Indonesia
akan kesulitan listrik saat ini. Sayangnya, kini pemerintah dan PLN kelihatan
kurang serius dengan penyelesaian sisa proyek dan justru memilih menyewa
ratusan mesin diesel yang mahal. Akibatnya, subsidi listrik yang tahun 2009
sudah dihemat hingga hanya Rp 50 triliun sekarang naik menjadi Rp 100 triliun
per tahun. Suatu ironi yang luar biasa sebab artinya terjadi penambahan subsidi
Rp 250 triliun selama kurun waktu lima tahun. Dana ini sekiranya digunakan
untuk membangun pembangkit listrik, negeri ini dapat menambah pasokan listrik
sebesar 20.000 MW dan masalah pun selesai. Namun, apa yang terjadi saat ini,
uang habis dan negara tetap kekurangan listrik sehingga pemadaman bergilir pun
tetap terjadi di beberapa daerah.
Setelah
proyek tahap I tahun 2007 berjalan, tahun 2008 dirancang proyek tahap II, juga
10.000 MW yang seharusnya dimulai tahun 2010 dengan menggunakan teknologi ramah
lingkungan, seperti geotermal, hidro dan gas, agar terjadi bauran energi yang
baik. Tetapi belum banyak diketahui proyek ini dijalankan atau tidak karena
pertumbuhan kapasitas PLN dari tahun 2006 ke 2013 sebesar 8.000 MW sebagian
besar masih merupakan peninggalan proyek 10.000 MW tahap pertama.
Peran
swasta
Di
samping pembangunan PLN, dibuka kesempatan kepada swasta membangun pembangkit
yang produksinya dijual ke PLN. Swasta dipermudah dengan kebijakan harga yang
saling menguntungkan. Kebijakan ini akan menghasilkan investasi swasta yang
baik. Apalagi harga listrik swasta masih jauh lebih murah dibandingkan dengan
pembelian listrik PLN dari Malaysia. Dewasa ini, dengan kebijakan tak jelas dan
rumit, minat swasta bisa menurun, diperparah lagi dengan pembebasan lahan yang
sulit. Tanpa upaya keras pemerintah, target akan sulit dicapai. Lihatlah proyek
listrik 2.000 MW di Batang yang mangkrak. Menurut Bupati Batang Yoyok,
pembebasan lahan dapat dibereskan apabila pejabat pusat membantu.
Menyangkut
hambatan seperti ini, saya teringat kerap keliling dengan helikopter ke daerah
meninjau pembangunan pembangkit listrik untuk membantu mengatasi apabila
terjadi kesulitan. Selain hambatan lahan seperti di Batang, negosiasi panjang
tanpa akhir akibat ketakutan pengambilan kebijakan juga jadi kendala serius.
Dampaknya akan terjadi lagi krisis listrik dalam dua tahun ke depan.
Untuk
mengatasi krisis listrik di Sumatera dapat dilakukan dengan cara seluruh daya
600 MW proyek Inalum yang baru diambil pemerintah sebaiknya dipakai untuk PLN.
Adapun pabrik Inalum untuk sementara dihentikan sambil dilakukan perbaikan
mesin mengingat teknologi Inalum sudah uzur dengan usia 30 tahun. Sewa listrik
600 MW selama tiga tahun dapat digunakan pemerintah untuk membayar lunas harga
Inalum berikut biaya modernisasi mesinnya.
Kasus
penahanan pegawai PLN Sumatera Utara yang merawat pembangkit dan pengusaha
pemasok peralatan tanpa alasan yang kuat akan menjadikan kekhawatiran
tersendiri, dan akan menurunkan semangat staf PLN merawat mesin yang bisa
berakibat fatal untuk operasi. Belum lagi keterlambatan pembangunan transmisi
di beberapa tempat sehingga pembangkit selesai, tetapi tidak bisa dimanfaatkan.
Pada saat yang sama sewa diesel terus berjalan yang memperbesar angka subsidi.
Karena itu, ketidakseriusan dan rasa takut mengambil keputusan/kebijakan serta
membiarkan negara membayar mahal subsidi listrik jadi penghambat kemajuan
ekonomi dan menghalangi pemenuhan kebutuhan listrik rakyat. Sekadar rapat,
mengeluarkan surat keputusan dan berwacana tidak akan menyelesaikan masalah. Pada
akhirnya, hanya kerja nyata dengan program yang jelaslah yang dapat menjadi
solusi atas masalah yang dihadapi bangsa ini. []
KOMPAS,
03 Maret 2014
M Jusuf Kalla ; Wakil Presiden RI Periode 2004-2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar