Dlawabithul Masjid
(Definisi Masjid)
Deskripsi Masalah
Secara etimologi, masjid berarti tempat
sujud. Selain masjid, ada istilah lain; mushalla, langgar, surau, dan
sebagainya, yang digunakan untuk arti yang sama: tempat untuk sholat yang
identik dengan sujud.
Terminologi masjid inipun di daerah tertentu
memiliki banyak sebutan, misalnya: Masjid biasa (la tuqamu fihil jumu’ah),
Masjid Jami’ (tuqamu fihil jumu’ah), Masjid Raya, Masjid Agung, dll.
Meningkatnya ghirah umat Islam untuk
menjalankan ibadah, melahirkan sebuah tempat yang asalnya aula, lapangan, atau
tempat parkir menjadi tempat untuk sholat –bahkan juga untuk sholat jum’at–.
Belum lagi banyaknya perkantoran, hotel, mall, stasiun, terminal yang
mendirikan tempat ibadah yang difungsikan sebagai masjid, misalnya untuk
jum’atan, i’tikaf, dsb.
Bahkan sekarang ini, dengan jumlah jama’ah
yang makin banyak, jarak antara satu masjid dengan masjid yang lain terlalu
dekat dan tidak memenuhi persyaratan jarak minimal di antara dua masjid
sebagaimana dipersyaratkan imam sebagian mazhab.
Pertanyaan :
1.
Apa kriteria suatu tempat layak
disebut masjid, sehingga tempat itu memiliki keistimewaan, misalnya, untuk
i’tikaf, tahiyattul masjid, larangan orang ber-hadas besar berdiam di dalamnya?
2.
Apakah tahiyyatil masjid berlaku bagi
musholla, langgar, dan surau ?.
3.
Bagaimana pandangan musyawirin
terhadap persyaratan pendirian masjid dikaitkan dengan Peraturan Bersama Menag
dan Mendagri No. 9 dan 8, tahun 2006, di mana persyaratan minimal untuk
mendirikan tempat ibadah harus ada 90 orang jama’ah?
Jawaban :
1.
Masjid adalah sebuah tanah, bangunan,
atau tempat yang diwakafkan sebagai masjid baik menggunakan kalimat sharih atau
kinayah. Apabila tidak diketahui wakafnya, namun pada umumnya orang menganggap
itu masjid, maka tempat itu adalah masjid. Sedangkan menurut suatu riwayat dari
ad-Darimi, bahwa setiap tempat yang digunakan untuk shalat disebut masjid, meskipun
tidak diwakafkan.
2.
Setiap tempat yang dijadikan tempat
shalat disebut masjid. Karenanya, apapun nama atau istilahnya sepanjang
digunakan untuk tempat shalat adalah masjid, sehingga dianjurkan (masyru’)
untuk melakukan shalat tahiyyatil masjid di tempat tersebut. Sementara itu
sebagian musyawirin berpendapat bahwa, mushala, langgar, dan surau tidak
dianggap masjid. Sehingga tidak dianjurkan (ghairu masyru’) shalat tahiyyatil
masjid.
3.
Peraturan tersebut dapat dibenarkan
dan wajib ditaati apabila mengandung kemaslahatan, karena pemerintah memiliki
kewenangan mengatur pembangunan masjid di wilayahnya sebagaimana juga
pemerintah memiliki kewenangan mengatur pembangunan tempat ibadah agama lain.
[]
Sumber: LBMNU Cabang Jombang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar