Supremasi Wali Songo
Oleh: Fathoni
“Tokoh-tokoh ini, bukan tokoh-tokoh fiktif.
Namun, benar-benar ada secara historis.” Itulah statement Agus Sunyoto, penulis
buku Atlas Wali Songo dalam peristiwa penganugerahan sebagai buku terbaik 2014
versi Islamic Book Fair (IBF) dalam kategori Buku Nonfiksi Dewasa di Gedung
Istora Gelora Bung Karno Sabtu 1 Maret 2014.
Ya, buku Atlas Wali Songo: Buku Pertama Yang
Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah karya sejarawan NU ini meraih
pengahargaan IBF Award dalam pameran buku-buku Islam ini. Melalui proses
seleksi yang ketat, Atlas Wali Songo (Pustaka IIMaN) menyisihkan beberapa
nominasi di antaranya adalah Cak Nur, Banyak Jalan Menuju Tuhan karya Budhy
Munawar Rachman (Mizan), Hijama or Oxidant Drainage Therapy (ODT) karya Azib
Susiyanto, Sy (Gema Insani), Kaidah Tafsir karya Quraish Shihab (Lentera Hati),
The New World Order karya Jagad A.Purbawati (Pustaka Al-kautsar).
Tak sekadar itu, penulis melihat bahwa
penghargaan ini juga sekaligus mematahkan persepsi sekelompok orang yang
menganggap bahwa sejarah tokoh-tokoh Wali Songo tak lebih dari sekadar dongeng
dan legenda. Dengan kata lain, sejarah yang menceritakan mereka adalah fiktif
atau tidak ada.
Dari persepsi inilah yang menjadikan
probabilitas terbesar akan sejarah Wali Songo dalam mengislamkan Nusantara
secara kompromis dan smooth tidak tercantum dalam buku Ensiklopedi Islam
terbitan Ikhtiar Baru Van Hoeve sebagai tokoh-tokoh penyebar Islam di
Nusantara.
Tak hanya itu, menurut Agus Sunyoto dalam
buku tersebut tidak terdapat satu kalimat pun menyebut Wali Songo, tokoh-tokoh
penyebar Islam pada zaman Wali Songo, kazanah kekayaan budaya Islam pada zaman
Wali Songo seperti karya sastra, seni musik, seni rupa, seni pertunjukan, seni
suara, desain, arsitektur, filsafat, tasawuf, hukum, tata negara, etika, ilmu
falak, sistem kalender, dan ilmu pengobatan yang lahir dan berkembang pada masa
Wali Songo dan sesudahnya. Bagaimana mungkin?
Selain faktor berbeda paham, terkadang itulah
kekeliruan bangsa Indonesia dalam memahami sejarahnya sendiri. Kita tidak bisa
mengelak bahwa basis akademik kita belum sampai pada titik jenuh untuk selalu
mengambil referensi paham arab (wahabi) dan keilmuan barat khususnya yang
bersifat postivistik, dapat di nalar dan masuk logika akal atau rasionya dalam
memahami sejarah Nusantara bahkan dalam membaca sejarah para tokoh Wali Songo
yang menurut perspektif mereka penuh dengan mistifikasi dan klenik sehingga
menurut mereka Wali Songo tak lebih dari sekadar dongeng.
Tentu kita tidak bisa memotong batu dengan
menggunakan gunting. Sebab, simbol gunting akan kalah dengan simbol batu yang
diperagakan oleh tangan dalam permainan suit-suitan anak kecil. Artinya, tentu
saja dalam membaca sejarah Wali Songo yang konon penuh dengan dunia metafisik
dan supranatural hendaknya tidak memakai pisau analisis barat dengan ilmuwan
yang berpaham positivistik tadi atau paham Wahabi yang sangat tidak
kompromistik.
Persoalan keajaiban, karomah, ilmu kanuragan,
dan keramat para Wali Songo yang menyebabkan masyarakat pada waktu itu seakan
mengunggulkan tak lebih dari sekadar keistimewaan yang diberikan Allah kepada
hambanya yang begitu ikhlas, taat dan tunduk sebagai media dalam berdakwah yang
penuh dengan tantangan yang tidak teramat ringan.
Respon masyarakat seperti itulah yang
menjadikan kaum Islam fundamentalis Wahabi berasumsi bahwa cerita sejarah Wali
Songo dapat menjurus pada kesesatan akidah dan penuh dengan tahayul sehingga
semua ini adalah mitos, klenik, dongeng, dan lain-lain. Sedangkan paham ilmuwan
barat menganggap ini bukan sebuah peristiwa sejarah sebab tidak bersifat
postivistik.
Nalar postivistik berdampak pada materialisme
berpikir. Paham materialisme selalu menempatkan segala sesuatu dapat dilihat
bentuknya atau berwujud, sebab semua materi pada intinya berwujud. Dalam hal
inilah Islam modernis yang merepresentasikan barat hanya mencenderungkan diri
pada ilmu hushuli yaitu ilmu segala sesuatu yang tampak. Sebaliknya, tidak
meyakini ilmu yang bersumber langsung dari Allah yang disebut ilmu hudhuri atau
lebih populer dinamakan ilmu laduni yang menurut mereka jauh dari kata ilmiah. Ilmu
ini hanya dimiliki oleh manusia yang benar-benar dekat dengan Allah, bahkan
menjadi kekasihnya yang disebut Wali. Dalam hal ini, materialistiknya
fundamentalis wahabi yaitu hanya menyandarkan diri pada al-Qur’an dan Sunnah,
sedangkan materialistiknya barat yaitu berwujud.
Sebetulnya, ilmu yang dimiliki oleh para Wali
Songo tidak serta-merta karomah dari Allah tanpa kecerdasan mereka dalam
berpikir. Jika para Wali dominan dengan ilham dan karomah, sesungguhnya dalam
dunia keilmuan modern juga diakui. Sebut saja ilmu psikologi, dalam disiplin
kelimuan ini ada yang disebut kecerdasan ilhami (intelegensi intuitif).
Kecerdasan ini muncul atas keyakinan bahwa semua adalah petunjuk kebenaran dari
Allah jika baik untuk kemaslahatan umat manusia.
Artinya dalam hal ini, dunia keilmuan barat
pun sesungguhnya mengetahui akan keistimewaan dan karomah seorang jika
benar-benar yakin akan Tuhannya. Sebab itulah, intelegensi intuitif dalam ilmu
psikologi sesungguhnya adalah karomah atau keistimewaan yang lekat kepada para
Wali Songo. Dengan demikian, apakah karomah yang memang di luar nalar manusia
biasa itu adalah sebuah klenik yang tak rasional?
Sesunggunhya pemahman ini tidak akan muncul
jika mereka memahami bahwa para wali membawa risalah Nabi. Nabi dan wali sama-sama
kekasih Allah, perbedaannya bahwa Nabi SAW bersifat ma’shum sedangkan wali
tidak demikian. Nabi menerima wahyu secara langsung, tetapi wali hanya menerima
apa yang disebut ilham. Kemudian, keistimewaan Nabi disebut dengan mukjizat,
sedangkan keistimewaan wali diistilahkan karomah. Kalimatus sawa’-nya sama,
yaitu kekasih Allah.
Maka dengan demikian, mempersepsikan karomah
seorang wali dengan sebuah klenik, tahayul, dan lain-lain sama saja menegasikan
atau menafikan mukjizat Nabi bukan? Sebab, ilmu semua kiai, ulama, dan wali
berasal dari Nabi SAW, merekalah pewaris para Nabi. Al-‘Ulama warotsatu
al-Anbiya. Istilah warisan bersifat sambung-menyambung, tidak putus. Adanya
seorang kiai, ulama, dan wali yaitu untuk memudahkan kita dalam mempelajari
ilmu Allah dan Nabi yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Sehingga jika
tidak berpijak kepada mereka, dapat dipastikan mempersulit diri sendiri dalam
memahami agama Allah.
Dari rasionalisasi inilah supremasi Wali
Songo tegak dalam membungkam asumsi bahwa cerita mereka hanyalah dongeng
belaka. Penghargaan prestisius IBF Award 2014 sebagai buku terbaik dari
kategori Nonfiksi Dewasa pada buku Atlas Wali Songo ikut menguatkan bahwa
sejarah wali songo sama sekali bukan fiktif, namun nyata secara historis dalam
mengislamkan Nusantara dengan segala mistifikasinya.
Jika yang diinginkan oleh kaum-kaum modernis
berpaham postivistik-materilaistik bahwa sejarah itu mesti dapat tangkap nalar
dan berwujud, atau kaum fundamentalis yang menganggap bahwa sejarah Wali Songo
hanya mitos, klenik dan menyesatkan, Agus Sunyoto dalam buku Atlas Wali Songo
telah melakukan penelitian secara ilmiah dengan menyajikan bukti-bukti secara
material berupa naskah-naskah kuno, artefak, dan berbagai situs-situs lain yang
ikut berkelindan dalam perjalanan sejarah Wali Songo.
Tak hanya itu, dalam buku ini Agus Sunyoto
juga menulis dengan sangat rasional untuk membuktikan secara ilmiah bahwa Wali
Songo beserta cerita-cerita yang melingkupinya adalah sebuah fakta sejarah.
Dengan demikian, layaklah jika Wali Songo mendapatkan supremasinya di pameran
buku-buku Islam yang katanya terbesar di Indonesia itu, bukan? []
Fathoni, Mahasiswa Pascasarjana STAINU
Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar