Mas Itok
dan Pejabat Lain
Oleh: Moh
Mahfud MD
Berita
itu sungguh mengejutkan. Anggito Abimanyu, guru besar Fakultas Ekonomi,
Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, menyatakan mengundurkan diri dari
pekerjaannya sebagai guru besar di UGM. Berita itu saya baca melalui SMS dan
Twitter, saat saya sedang duduk di Kereta Api Cirebon Ekspres, dari Jakarta
menuju Cirebon, Senin sore, awal pekan ini.
Sangat
mengejutkan karena mundurnya Anggito itu bukan lantaran kesibukannya sebagai
direktur jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah di Kementerian Agama, melainkan
karena plagiarisme. Ya, Anggito Abimanyu menyatakan mundur dari UGM sebagai
pertanggungjawaban moralnya setelah diketahui dan menyadari dirinya melakukan
plagiarisme, yakni memublikasikan tulisan orang lain di media massa nasional
yang dijadikannya sebagai tulisannya sendiri. Saya sangat terkejut karena saya
mengenal Anggito sebagai kolega saya di UGM sejak lama. Saya dan kawan-kawan
memanggilnya Mas Itok.
Dia
dikenal sebagai intelektual yang sangat populer, cerdas, dan berintegritas.
Menjelang reformasi tahun 1998, saya sering bertemu dalam berbagai forum ilmiah
dengan Anggito. Dia ikut aktif dalam diskusi-diskusi menjelang dan awal-awal
reformasi. Saya sangat mengagumi kecerdasan, kebersahabatan, dan sikapnya yang
antikorupsi. Orangnya supel, sopan, dan tawadhu’. Tiba-tiba dia diberitakan
mundur karena plagiarisme. Saya shocked. Saya minta Asmai Ishak, direktur
International Program di UII Yogya, untuk mengecek, apa benar yang diberitakan
itu Anggito yang kita kenal. Ternyata benar.
Saya
sedih, tetapi juga sedikit bangga. Sedih karena dunia akademik kembali
tercoreng oleh plagiarisme, apalagi oleh orang yang secara akademis dibanggakan
orang banyak. Harus saya akui untuk menaikkan gengsi di dunia akademik saya
sering menyebut diri sebagai kawan dari orang-orang yang punya reputasi tinggi
di dunia akademik, antara lain Anggito Abimanyu itu. Tapi ternyata Mas Itok
terperangkap dalam plagiarisme. Untuk apa itu Anda lakukan, Mas Itok? Meski
begitu, ada sedikit kebanggaan di hati karena Mas Itok tidak berkilah dengan
alasan yang dicari-cari. Dia langsung mengakui kesalahannya dan menyatakan
mundur sebagai guru besar dari UGM. Dengan begitu, di lubuk hatinya yang dalam,
Mas Itok masih menjaga kesucian dunia akademik. Di dunia perguruan tinggi,
plagiarisme menjadi semacam penyakit yang menjijikkan, seperti penyakit kusta
yang penderitanya harus dijauhi.
Itulah
sebabnya banyak akademisi yang menjadi sangat malu, runtuh martabatnya, saat
diketahui telah melakukan plagiarisme. Di Bandung, beberapa waktu yang lalu ada
dosen yang dicopot dari jabatan guru besarnya karena memublikasikan karya orang
lain yang diklaim sebagai karyanya sendiri. Jauh sebelum itu ada ijazah doktor
yang juga dicabut dari seseorang yang ketahuan melakukan plagiarisme. Ada juga
seorang calon doktor yang hanya tinggal selangkah menjadi doktor terpaksa harus
angkat kaki alias dipecat karena plagiarisme.
Bahkan,
beberapa waktu yang lalu seorang menteri pertahanan dari sebuah negara besar di
Eropa mengundurkan diri setelah dewan akademik menemukan sebagian isi
disertasinya mengutip karya orang lain tanpa menyebut sumbernya. Plagiarisme
sampai sekarang dianggap penyakit yang menjijikkan di dunia akademis. Begitu
seseorang ketahuan melakukan plagiarisme atau pelacuran intelektual, rohnya
sebagai akademisi pasti habis dan di kampus takkan berharga lagi. Menurut saya,
orang yang melakukan plagiarisme berarti orang yang tidak jujur terhadap
dirinya sendiri.
Orang
yang tidak jujur terhadap dirinya sendiri pastilah tidak jujur terhadap
masyarakat sehingga tidak layak ikut mengurus kepentingan masyarakat. Saya
berpendapat, orang yang berani melakukan plagiarisme atau pelacuran intelektual
akan berani melakukan korupsi. Belakangan ini muncul gejala penodaan terhadap
dunia akademik dalam corak yang mirip dengan plagiarisme atau bentuk pelacuran
intelektual lainnya. Banyak orang, termasuk para pejabat, yang tergila-gila
pada gelar doktor sehingga menulis disertasinya tanpa standar dan prosedur
akademik yang benar. Ada yang menjiplak karya orang lain dengan hanya mengganti
nama objek penelitian.
Ada
pejabat yang mengikuti program doktor secara instan tanpa ikut perkuliahan atau
penelitian yang sungguh-sungguh. Ada juga pejabat yang disertasinya dibuat
asal-asalan dan promotornya meloloskan hanya karena dia pejabat. Bahkan, ada
juga pejabat yang disertasinya dituliskan oleh staf khususnya atau oleh kepala
bagian penerbitan di kantornya. Celakanya, banyak dosen di perguruan tinggi
yang mengistimewakan pelayanan akademis terhadap mahasiswa kelas eksekutif yang
dibuka khusus untuk pejabat. Kalau para pejabat yang datang berkonsultasi atau
mau kuliah langsung dilayani dengan segala kehormatan, tapi kalau yang mau
berkonsultasi mahasiswa reguler tidak diacuhkan; sang dosen pun sering bolos
dari jadwal kuliah di kelas reguler.
Mungkin
tak salah kalau ada yang berpikir, maraknya kesewenang-wenangan dan korupsi di
negeri ini karena di perguruan tinggi banyak plagiarisme dan pelacuran
intelektual. Banyak pejabat yang lahir dari plagiarisme dan proses akademis
yang menipu. Pikiran seperti ini bisa benar, sebab plagiarisme dan pelacuran
intelektual itu adalah ketidakjujuran pada diri sendiri; sedangkan orang yang
tak jujur pada dirinya sendiri tentulah tak takut untuk tak jujur kepada rakyat
sehingga mudah melakukan korupsi dan berbagai kolusi. []
KORAN
SINDO, 22 Februari 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar