Pendidikan
dan Kebudayaan
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Seorang
siswa dididik agar berbudi daya sehingga ketika tumbuh dewasa dan memasuki
kehidupan sosial mampu memberdayakan akal budinya. Akal budi merupakan anugerah
dan potensi yang amat mahal, tak ternilai, yang hanya dimiliki manusia sehingga
manusia memiliki dua dunia: naturedan culture.
Untuk
bertahan hidup, manusia mesti menjaga nature-nya yang bersifat permanen, tak
berubah seperti nature untuk makan, minum, tidur dan berkembang biak, tetapi
tugas dan misi kehidupannya adalah membangun kultur atau kebudayaan. Tugas guru
adalah mencintai dan memfasilitasi agar anak didik mampu mengenali dan
menumbuhkan potensi akal budinya sehingga dalam bahasa Arab pendidikan disebut
tarbiyah. Kata tarbiyah masih seakar dengan kata Rabb, misalnya dalam kalimat
Rabbul‘alamin. Juga kata riba yang artinya menumbuhkan uang.
Ada juga
kata rabwah, artinya tanah tinggi. Jadi, pendidikan atau educare dalam bahasa
Latin merupakan proses pembelajaran yang bertujuan menumbuhkan dan
mengaktualkan potensi kemanusiaan serta bakat yang tersimpan dalam diri siswa
sehingga pada urutannya mampu hidup mandiri, bahkan berkontribusi dalam menjaga
dan membangun kebudayaan. Oleh karenanya sangat tepat jika pendidik juga
disebut guru, yaitu mereka yang dengan sadar, penuh cinta kasih dan
keterampilan, mengusir kegelapan atau kebodohan.
Dalam
Alquran, para nabi utusan Tuhan itu disebut para guru pembangun kebudayaan
dengan misi ”mengeluarkan manusia dari kehidupan yang gelap, jahiliah, menuju
kehidupan yang terang secara spiritual dan intelektual”. Dalam berbagai ayat
Alquran dikatakan, pengondisian dan pembersihan jiwa (tazkiyah nafsiyah) itu
mendapat urutan pertama, menyusul kemudian materi pengetahuan kognitif. Tahapan
mental conditioning ini analog dengan kinerja petani yang hendak menanam pohon.
Sehebat apa pun jenis bibit pohon kalau tanahnya tidak dipersiapkan lebih
dahulu, bibit pohon tidak akan tumbuh subur. Oleh karenanya sangat tepat
ungkapan yang mengatakan keluarga adalah sekolah pertama bagi anakanak
mengingat keluarga merupakan tahapan conditioningbagi anak-anak untuk belajar
dan berkembang lebih lanjut.
Tiga
Pilar Utama Kebudayaan
Dalam
Alquran Allah menjanjikan untuk mengangkat derajat seseorang atau bangsa karena
tiga hal: iman, ilmu, dan akhlak. Dalam konteks budaya, manifestasi iman adalah
karakter atau integritas. Integritas dan ilmu akan membuat seseorang atau
bangsa akan memiliki nilai lebih, bahkan berlipat-lipat. Contoh paling
sederhana adalah teknologi gadget seperti halnya handphone ataupun komputer.
Meski ukurannya kecil, ringan, harganya mahal karena di dalamnya terdapat
investasi sainsteknologi tinggi yang mampu melayani kebutuhan manusia untuk
berkomunikasi jarak jauh, kapan saja, di mana saja.
Gadget
ini merupakan artifisial body and intelligent. Keterbatasan telinga sangat
terbantu oleh teknologi handphone untuk berbicara jarak jauh. Kelemahan daya
ingat manusia sangat terbantu oleh teknologi yang mampu menyimpan gambar dan
informasi yang sewaktu-waktu dapat ditampilkan ulang. Dengan begitu, yang
membuat harga handphone dan komputer mahal bukan semata karena teknologinya,
melainkan memori-memori penting yang sudah tersimpan di dalamnya.
Dengan
kata lain, iman, ilmu, dan budi pekerti akan mengangkat agar tidak berhenti
menjalani hidup pada tataran nature layaknya hewan, melainkan naik ke tataran
kultur, yaitu hidup yang berbudaya dan berkeadaban. Mari kita amati diri kita
sendiri. Manusia ditakdirkan secara natural tidak pandai terbang, tetapi dengan
prestasi sains dan teknologi manusia mampu menciptakan pesawat terbang yang
jauh lebih besar dan perkasa ketimbang burung apa pun yang ada. Manusia
ditakdirkan tidak mampu berenang menyaingi kehebatan ikan paus.
Namun
atas takdir Tuhan yang menganugerahkan akalbudi, manusia bisa menciptakan kapal
selam. Demikianlah seterusnya, melalui proses pendidikan manusia kemudian
mengembangkan manajemen takdir untuk membangun kebudayaan dan peradaban. Salah
satu fungsi utama ilmu adalah memahami dan mengidentifikasi perilaku alam,
perilaku sosial, dan humaniora. Dengan bantuan pemahamannya yang benar, manusia
menciptakan teknologi untuk membantu penyelenggaraan hidup agar lebih nyaman
dijalani. Tanpa iptek kita sulit menciptakan kesejahteraan hidup bagi miliaran
penduduk bumi.
Namun
ketika memasuki persoalan makna dan tujuan hidup, sebaiknya ditanyakan pada
filsafat dan agama, bukan pada iptek. Di Indonesia, integrasi iman, ilmu, dan
kemanusiaan sudah tercantum dalam Pancasila yang dimulai dengan ketuhanan,
kemanusiaan, dan kemudian bermuara pada kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Untuk mewujudkan kesejahteraan mesti memerlukan keunggulan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Namun untuk menjaga dan menyemai nilainilai kemanusiaan kita
memerlukan sumber yang transenden.
Dua pilar
ini, ilmu, iman dan integritas, sangat vital untuk membangun kebudayaan unggul
dalam rumah besar bangsa Indonesia, sebuah upaya yang mesti ditanamkan dan
diperkenalkan secara sadar sejak anakanak masuk sekolah. Jadi, hubungan
antarapendidikan dan kebudayaan bagi sebuah bangsa dan masyarakat tak dapat
dipisahkan. Jatuh-bangunnya sebuah bangsa sangat berkaitan dengan arah dan
kualitas pendidikannya dan pendidikan sangat dipengaruhi budayanya. Antara
keduanya terjadi hubungan dialektis.
Indonesia
dengan masyarakatnya yang majemuk yang hidup tersebar di ribuan pulau tentu
memerlukan proses panjang untuk membangun sebuah ”negara bangsa” yang solid.
Kata ”Indonesia” sendiri lebih merujuk pada posisi geografis, bukannya
identitas etnis atau ras. Jadi, kekayaan dan keragaman budaya dan agama bisa
jadi kekuatan, keunikan, dan keunggulan budaya kita, tetapi ini merupakan
agenda dan usaha sejarah lintas generasi untuk mewujudkan serta menjaganya.
Medium
paling utama adalah lembaga pendidikan. Namun, disayangkan, pemahaman anak-anak
kita tentang keunggulan dan kekayaan budaya serta alamnya sangat minim. Mereka
kurang mengenal ilmu bumi, sejarah, seni, dan kearifan lokal. Padahal Indonesia
ini rumah kita tempat lahir, tumbuh, dan berkreasi membangun peradaban unggul.
Mengingat kompleksitas peluang, tantangan, dan kekayaan budaya yang ada, pendidikan
mesti memiliki strategi dan pilihanpilihan yang dibutuhkan zamannya. Pendidikan
mesti menangkap the spirit of the nation. Sangat urgen agar para siswa memiliki
pemahaman dan penguatan komitmen kebangsaan.
Mereka
mesti disadarkan bahwa Indonesia sebagai bangsa masih dalam proses menjadi (in
the process of becoming), kondisinya masih rapuh, belum solid. Adalah kewajiban
orang tua dan guru untuk mendidik anakanaknya agar bangga menjadi anak
Indonesia. Dan itu hanya bisa diraih kalau bangsa ini memiliki lembaga-lembaga
pendidikan yang bagus, yang mampu bersaing dalam percaturan global. Untuk
menumbuhkan rasa bangga pada siswa, mesti dimulai dari rasa bangga pada sekolah
dan guru-gurunya. Sebuah tantangan besar dan sekaligus mulia bagi para guru dan
pemerintah mengingat nasib masa depan bangsa akan sangat tergantung pada pilar
pendidikan. []
KORAN
SINDO, 21 Februari 2014
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar