Generasi
yang Hilang
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Jam
terbang saya lumayan tinggi dalam memberikan workshop dan diskusi di lingkungan
BUMN atau perusahaan swasta dengan topik kepemimpinan atau masalah kebangsaan.
Dibandingkan dunia parpol ada kesan dan perbedaan mencolok dalam hal regenerasi
kepemimpinan.
Di
perbankan, misalnya, saya bertemu profesional muda dengan jabatan dan tanggung
jawab besar. Mereka memiliki latar belakang pendidikan bagus, sebagian besar
pernah studi diluarnegeri, danrekamjejakjenjang karier transparan. Ketika
dipromosikan, yang menjadi pertimbangan pun jelas. Begitu pun ketika menduduki
jabatan lebih tinggi, tugas dan target yang diemban juga memiliki ukuran jelas
sehingga akhirnya mudah menilai seseorang itu gagal atau sukses. Banyak kolega
saya yang umurnya belum mencapai 45 tahun sudah memiliki posisi amat strategis
dan bertanggung jawab mengelola dana ratusan triliun.
Belum
lagi mereka yang bergerak di dunia bisnis. Kompetensi dan kemampuan
komunikasinya sangat mengesankan, termasuk dengan mitra-mitra asing. Namun,
suasana ini sulit saya temukan di dunia politik dan parpol. Di sana terjadi
kemandekan kaderisasi dan proses rekrutmennya kurang didukung oleh rekam jejak
pendidikan dan prestasi yang bagus di masa lalu. Suasana di lingkungan parpol
dan LSM agak mirip. Siapa yang aktif yang akan lebih berpeluang naik.
Jadi,
aktivisme lebih menonjol, dan idealnya didukung oleh intelektualisme. Tergolong
sedikit jumlahnya mereka yang termasuk aktivis politik sekaligus intelektual
yang berkarakter. Jika kita amati, terdapat indikasi hilangnya sebuah generasi.
Ada mata rantai generasi emas anak bangsa yang hilang dalam rekrutmen politik.
Fenomena ini akan mudah dilihat jika kita bandingkan dengan regenerasi di dunia
bisnis, dunia kampus, dan kalangan profesional. Semula dengan hadirnya era
reformasi dan multipartai kita berharap akan bermunculan kader-kader muda calon
negarawan melalui jalur kepartaian.
Kita
sempat optimistis dengan masuknya para aktivis kampus dan tokohtokoh gerakan
mahasiswa bergabung ke parpol serta duduk di kursi DPR. Ada juga aktivis muda
yang berkiprah di daerah. Namun, bersama berjalannya waktu, optimisme itu
memudar. Tentu saja masih ada beberapa politisi muda yang bertahan di jalan
yang lurus. Namun kesan dan persepsi masyarakat yang lebih menonjol mereka sangat
kecewa bahwa para politisi muda itu pada berguguran di tengah jalan. Sangat
rapuh ketika dihadapkan pada godaan materi. Mereka seakan mabuk dengan jabatan
barunya, popularitas, dan fasilitas.
Padahal,
masyarakat, tetangga rumahnya, dan teman sekolahnya masih ingat dan menjadi
saksi bagaimana kehidupan ekonomi sebelum dan sesudah bergabung ke parpol.
Perubahannya sangat drastis. Sulit dicerna nalar awam, dari mana asal-usul
kekayaan yang tibatiba mencolok, dari mana mobil dan rumahnya yang mewah, dan
gaya hidup keluarga yang berubah. Karenanya, masyarakat tidak kaget, bahkan
mungkin ada yang senang, ketika banyak politisi dan pejabat publik yang
akhirnya berurusan dengan KPK dan penjara.
Hal yang
sangat menyedihkan, mereka itulah yang semula diharapkan menjadi wakil generasi
muda bangsa yang akan mengganti generasi senior sebelumnya. Pertanyaan yang
sering muncul adalah, apakah yang muda tidak tahan godaan dan kagetan, ataukah
yang tua tidak membimbing dan melindungi terhadap kader-kadernya? Lebih memilukan
lagi andaikan yang terjadi adalah sebuah konspirasi dan koalisi busuk dan
murahan antara yang tua dan muda untuk menjarah uang dan fasilitas negara hanya
untuk memenuhi selera dan tuntutan gaya hidup hedonis.
Kemuliaan
politik menjadi rusak. Politik yang awalnya bertujuan menyelenggarakan
pemerintahan untuk melayani, mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat, dibajak
hanya untuk menyejahterakan kelompok. Ini sebuah pengkhianatan yang lebih keji
dari penjajahan bangsa asing di masa lampau. Hilangnya sebuah generasi itu
sangat berdampak jauh bagi masa depan bangsa. Ibarat hutan jati yang ditebang
namun tidak disiapkan generasi pohon yang muda sebagai penggantinya, maka hutan
itu akan mengalami kerusakan panjang dengan berbagai dampaknya.
Demikianlah,
panggung politik ini semakin heboh, seru, mahal ongkosnya, namun miskin kader
dan bintang-bintang calon negarawan yang diharapkan oleh masyarakat yang telah
dahaga untuk maju dan bangkit. Suasana ini akan terasa berbeda ketika kita
masuk di kalangan profesional. Di sana kita tidak sulit menemui anak-anak muda
yang cerdas, gesit, dan mitra serta jaringan kerjanya lintas bangsa. Hanya
saja, dikhawatirkan jangan sampai para profesional muda itu kurang memahami dan
mencintai bangsa dan rakyatnya. Ini merupakan gejala yang mesti kita perhatikan
dengan saksama, karena mereka merasa kurang tertarik dengan panggung politik,
yang memang kurang menarik ditonton dan ditiru. []
KORAN
SINDO, 14 Maret 2014
Komaruddin Hidayat ; Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar