Tegakkan Kembali Amar
Ma‘rûf Nahi Munkar! (1)
Oleh: Ach. Muzakki Kholil
Apa reaksi Anda ketika misalkan Anda atau
orang-orang terdekat Anda dihina? Atau bahkan harta yang Anda miliki dirampas
semena-mena? Tentu Anda akan membela diri dan bahkan membalas penghinaan itu.
Lalu, apabila misalkan ajaran agama kita
diinjak-injak, diremehkan, dan dilanggar oleh pemeluknya sendiri, bagaimana
reaksi kita? Jawabannya tidak semua orang akan membela agamanya. Bahkan
cenderung menutup mata dan acuh tak acuh.
Ini adalah krisis agama yang memprihatinkan,
dan ini telah banyak menimpa mayoritas umat Islam. Kesadaran untuk membela
ajaran agama dengan amar ma’rûf nahi munkar semakin tipis dalam keberagamaan
kita.
Maka, jangan heran jika kita melihat
terjadinya krisis multidimensi di tengah-tegah umat. Ajaran Islam, mulai yang
terkait dengan aturan ibadah mahdhah sampai yang ghairu mahdhah telah tinggal
namanya saja: tanpa ada implementasi nyata. Orang-orang sibuk dengan urusan
dunia masing-masing, tanpa memikirkan agamanya.
Oleh karena itu, doktrin Islam berupa amar
ma’ruf nahi munkar perlu kita tegakkan kembali. Rubrik Pengajian kali ini akan
sedikit mengkaji tentang amar ma’rûf nahi munkar dengan merujuk pada kitab
an-Nashâ’ihud-Dîniyyah wal-Washâya al-خmâninyyah,
karya al-Quthb al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad.
Amar Ma‘ruf adalah Syiar Agama
Ketahuilah amar ma’ruf nahi munkar menempati
posisi urgen dalam agama. Ia adalah sebagai syiar dan tonggak agama. Dengan
tegaknya amar ma’rûf, ajaran Islam dapat dilaksanakan dengan baik di
tengah-tengah pemeluknya. Sebaliknya, jika diabaikan, ajaran Islam akan
terbengkalai pula. Dan ujung-ujungnya, krisis multidimensi akan menimpa umat:
hak-hak umat banyak tak terpenuhi, kebenaran akan kabur dan kebatilan akan
tampak.
Allah di dalam al-Qur’an dan melalui lisan
Nabi-Nya r telah menjelaskan pentingnya amar ma’rûf nahi munkar. Antara lain
dalam QS Ali Imran [03]: 104, yang artinya, Dan hendaklah ada di antarakamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‘rûf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Yang dimaksud
kebajikan ialah ‘keimanan dan ketaatan’. Sedangkan yang dimaksud ma‘rûf ialah
‘setiap apa yang yang diperintahkan Allah untuk dilaksanakan, dan Allah senang
hamba-Nya melaksanakannya’, dan yang dimaksud munkar ialah ‘setiap apa yang
tidak disukai Allah untuk dikerjakan, dan Allah senang jika hamba-Nya
meninggalkannya’.
Rasulullah bersabda yang artinya: Barangsiapa
di antara kalian melihat kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya
(kekuasaanya), jika tidak mampu, maka dengan lisannya, jika tidak mampu (lagi),
maka ingkar dengan hatinya. Dan demikian ini (ingkar dengan hati) adalah
selemah-lemahnya iman. Dalam Hadis lain disebutkan, Demi Dzat yang jiwaku dalam
genggaman-Nya, sungguh hendaknya kalian memerintahkan ma‘rûf, dan sungguh kalian
meghentikan munkar. Dan (jika tidak), sungguh kalian disiksa dengan tangan
orang yang lalim, atau sungguh Allah akan mengirimkan siksa kepada kalian dari
sisi-Nya.
Antara Agama dan Harga Diri
Amar ma‘rûf nahi munkar hukumnya fardu
kifayah (kewajiban kolektif). Kewajiban ini tidak dapat ditinggalkan dengan
alasan yang mengada-ada. Misalkan dengan alasan: “Jika saya melaksanakan amar
ma‘rûf nahi munkar, orang-orang tidak akan peduli,” atau “Saya akan mendapat
celaan atau ancaman jika saya melaksanakan amar ma‘rûf nahi munkar.”
Alasan-alasan semacam ini hanya timbul dari jiwa yang tidak mempunyai ghirah
(kecemburuan) pada agamanya.
Sungguh mengherankan, jika misalkan harga
diri seseorang atau kerabat dekatnya dihina orang lain, atau harta bendanya
diambil secara sewenang-wenang, maka tentu dia akan membela diri, bahkan dengan
nyawa sekalipun. Dia tidak gentar dan takut demi membela harga diri atau
mengambil kembali hak harta bendanya itu. Lantas, apakah harga diri atau harta
bendanya lebih mulia dari agama?
Yang lebih buruk lagi adalah meninggalkan
amar ma‘rûf nahi munkar karena ingin mendapatkan kedudukan terhormat di mata
masyarakat, atau karena harta. Inilah yang dinamakan mudâhanah yang sangat
dilarang dalam agama.
Orang mukmin sejati tidak akan dapat menahan
diri ketika melihat ajaran agama diinjak-injak. Dia tak akan tenang selagi dia
tidak mengubahnya semampunya. Sebaliknya orang munafik tidak akan ambil pusing.
Dia berpura-pura tidak mampu. Padahal jika harga dirinya dihina, dia marah
bukan main dan membela diri mati-matian. Inilah perbedaan mukmin sejati dan
munafik.
Para nabi, ulama, orang-orang saleh, dan para
wali sering kali mendapatkan terror, baik secara psikis maupun fisik ketika
melaksanakan amar ma‘rûf nahi munkar. Mereka sangat murka jika hak-hak Allah
dilanggar, dan mereka menjadi sabar jika yang diinjak terkait dengan
pribadinya. Jadi, mereka murka karena Allah dan senang karena Allah.
Kewajiban melaksanakan amar ma‘rûf nahi
munkar menjadi gugur apabila sudah nyata akan terjadi sesuatu yang sangat
menyakitkan kepada pribadi yang melaksanakan atau harta bendanya. Atau yakin
ajakannya akan ditolak mentah-mentah. []
Sumber : Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar