Ada Apa
dengan KDRT?
Oleh: Musdah
Mulia
SETIAP 8
Maret, perempuan di seluruh dunia merayakan Hari Perempuan Sedunia
(International Women’s Day). Di Indonesia, kelompok perempuan yang tergabung
dalam Gerakan Solidaritas Korban Kekerasan terhadap Perempuan memilih tema
sentral Akhiri kekerasan sekarang juga! Mengapa tema itu penting? Sebab,
kekerasan terhadap perempuan terjadi setiap hari di berbagai belahan bumi.
Korban dan pelakunya tidak mengenal suku bangsa, warna kulit, agama, dan
kepercayaan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) yang serius dan karenanya menuntut perhatian dan penanggulangan
yang lebih saksama.
Untunglah,
20 Desember 1993 Resolusi Sidang Umum PBB menyepakati perlunya mengakhiri semua
bentuk kekerasan terhadap perempuan. Masyarakat dunia sadar, kekerasan terhadap
perempuan ialah bentuk nyata pelanggaran HAM karena dampaknya sangat buruk bagi
kehidupan masyarakat, teruta ma bagi perempuan sebagai korban. Dalam
konsiderans Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang dirumuskan
PBB disebutkan, “Kekerasan terhadap perempuan adalah perwujudan ketimpangan
historis dari hubungan hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang
telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh laki-laki
dan juga mengakibatkan hambatan bagi kemajuan mereka.”
Data
kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat
drastis. Jika pada 2012 ada lebih dari 600 kasus, pada 2013 tercatat 992 kasus
dengan dominasi kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 372 kasus
dan kasus kekerasan dalam pacaran berjumlah 59 kasus (Data 2013 LBH APIK
Jakarta). Sebuah peningkatan jumlah yang signifikan dan mengerikan. Namun,
bagaikan gunung es, kasus yang terdata hanya sedikit sekali. Itu pun bukan data
dari lembaga negara, melainkan dari NGO yang konsen pada isu perempuan.
Ketiadaan data membuktikan betapa negara masih abai dan belum serius menangani
kasus seperti ini. Padahal, dalam berbagai dokumen PBB, kekerasan terhadap
perempuan dinyatakan sebagai kejahatan HAM yang sistemis dan berdampak luas.
Sangat
kompleks
Bentuk
kekerasan terhadap perempuan secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua
kategori, yaitu kekerasan di ranah domestik (di dalam rumah tangga) dan
kekerasan di ranah publik (di luar rumah tangga). Tulisan ini fokus pada KDRT.
KDRT dapat dibagi ke dalam empat jenis, yaitu a) penganiayaan fisik (seperti
tamparan, pukulan, tendangan), b) penganiayaan psikis (seperti ancaman, hinaan,
cemoohan), c) penganiayaan seksual dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual,
baik dalam pernikahan maupun di luar pernikahan. Jenis keempat ialah pengabaian
kewajiban memberi nafkah material kepada istri atau mengontrol uang belanja.
KDRT
merupakan masalah yang sangat kompleks dan jumlah kasusnya amatlah besar.
Namun, karena kejahatan itu terjadi di dalam rumah tangga, seringkali sulit
dipantau dan kemudian terabaikan. Yang lebih menyedihkan, ada anggapan bahwa
KDRT hanyalah urusan internal keluarga dan merupakan aib jika dibicarakan
dengan orang luar. Akibatnya, KDRT menjadi sesuatu yang dipandang lumrah di
masyarakat.
Dalam
merespons anggapan sesat itu muncul semboyan the personal is political,
persoalan pribadi sekalipun kalau membawa bahaya bagi orang banyak, harus
dibawa ke ruang publik. Tujuannya, menghindarkan orang lain mengalami
penderitaan serupa.
Lenore
Walker, pakar psikologi, mengidentifikasi tiga tahap tindak kekerasan di dalam
rumah yang dilakukan suami. Pertama, tahap `pembentukan ketegangan', kedua
tahap `pemukulan berulang-ulang', dan ketiga tahap `tumbuhnya' (lagi) cinta,
lemah lembut, dan penyesalan mendalam, dan keempat kembali muncul konflik dan
ketegangan, demikian berulang dan berulang.
Tidak
mengherankan, banyak istri teperdaya dan menganggap perilaku suami yang
melakukan kekerasan sebagai suatu kekhilafan sesaat. Bahkan, mereka tetap
percaya suami masih mencintai dirinya atau setidaknya ia sendiri masih
mencintai suami. Sejumlah penelitian mengungkapkan penyebab utama KDRT adalah
ketimpangan gender. Masih kuat anggapan di masyarakat bahwa suami memiliki
kedudukan lebih tinggi dari istri, dan juga mempunyai kekuasaan penuh dalam
rumah tangga. Dengan ungkapan lain, kekerasan terhadap perempuan merupakan
salah satu mekanisme krusial untuk mengontrol perempuan dan menempatkannya pada
posisi subordinat.
Tidak
Memadai
Faktor
penyebab lain, belum tersedianya perlindungan hukum yang memadai. Sistem hukum
yang berlaku sekarang, baik dari segi substansi, struktur, maupun budaya
hukumnya masih sangat lemah dan belum berpihak kepada korban. Aparat penegak
hukum masih kurang responsif terhadap kepentingan perempuan, terutama dalam
kasus-kasus KDRT. KUHP sudah tidak memadai lagi untuk menjangkau realitas
kekerasan yang terjadi di masyarakat. Banyak bentuk kekerasan tidak tertampung
dalam KUHP. Demikian pula sanksi hukumnya dinilai tidak sesuai dengan rasa keadilan
masyarakat.
Malah
sejumlah materi hukum, seperti UU Perkawinan, sangat jelas menempatkan istri
dalam posisi subordinatif dan inferior, membuat istri tidak independen dan
sangat tergantung secara ekonomis kepada suami. Akibat lebih jauh, akses perempuan
terhadap sumber daya ekonomi, politik, dan sosial menjadi terbatas, yang pada
gilirannya kekuasaan dan kedudukannya pun menjadi tidak seimbang di hadapan
suami ataupun di hadapan masyarakat. Dalam kondisi ketergantungan seperti itu
serta dukungan nilai-nilai patriarkat yang dianut masyarakat membuat kekerasan
sangat mudah terjadi.
Faktor
penyebab lainnya ialah dominasi kultur patriarkat. Istilah patriarkat mengacu
bukan hanya kepada masyarakat primitif tempat para bapak berkuasa atas
perempuan, anak-anak, dan budak, melainkan juga mencakup semua sistem sosial,
ekonomi, dan politik yang otoriter dan menindas. Benih-benih pemukulan istri
berakar pada posisi perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki atau berada
di bawah otoritas dan kendali laki-laki. Hubungan perempuan dan lakilaki yang
timpang itu telah dilembagakan dalam struktur keluarga patriarkat dan didukung
lembaga-lembaga ekonomi dan politik serta sistem keyakinan. Akibatnya, relasi
timpang itu tampak alamiah, adil, bermoral, dan suci.
Faktor
lain dan sangat penting ialah interpretasi agama yang bias nilai-nilai
patriarkat, tidak humanistis, dan tidak mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan
universal. Dewasa ini, di saat kesadaran akan kesetaraan dan keadilan gender
menjadi isu sentral, adalah suatu keniscayaan untuk mempertimbangkan suara
perempuan dalam interpretasi keagamaan. []
MEDIA
INDONESIA, 08 Maret 2014
Musdah Mulia ; Direktur Eksekutif Megawati Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar