Ramadhan, Momentum Bebas dari Korupsi
Oleh: Munawir Aziz*
Ramadhan sejatinya adalah momentum untuk
merefleksikan diri, kembali ke asal dan fitrah sebagai manusia. Fitrah sebagai
hamba Tuhan, sebagai khalifah fil-ardh dan makhluk yang diberi kecerdasan dan
kemampuan berpikir. Akan tetapi, seringkali kemampuan berpikir serta kecerdasan
justru menjadi alat untuk menghancurkan dunia, menjadi instrumen untuk
menggelisahkan sesama.
Hadirnya bulan suci kali ini, dapat menjadi
ruang kontemplasi atas bangsa yang dihujani kasus korupsi. Di negeri ini,
membentang pejabat-pejabat dengan praktek korup entah di pemerintahan, ataupun
pada internal rumah tanggaya. Korupsi tidak hanya pada uang, namun juga pada
motode kerja, prinsip batin, hingga moral diri. Ramadhan dapat menjadi oase
untuk menyejukkan kembali hati yang gersang dan gelisah karena badai korupsi.
Meski merayakan Ramadhan merupakan sebuah
anurgah, namun kenyataan yang dihadapi warga Indonesia dari hari ke hari
semakin pahit. Ramadhan kali ini hadir ketika bangsa ini sedang berduka. Negeri
merdeka ini mengimpikan kedaulatan utuh, akan tetapi yang ada hanyalah
kemerdekaan lahir, belum menyentuh kemerdekaan batin. Bangsa ini belum
berdaulat seutuhnya, kemerdekaan ruhani hanya menjadi simbol semata, hanya
topeng artifisial.
Warga negeri ini masih terbelenggu krisis
jati diri, kebijakan politik yang dipilih pemerintah masih terseok-seok ketika
menghadapi konflik politik. Di ranah hukum, aparatur negara seolah kehilangan
legitimasi, berbagai institusi hukum sengaja dilumpuhkan untuk menjaga ritme skandal
antar pejabat.
Sedangkan, di ranah politik, kasus-kasus
korupsi pejabat hilir mudik mengisi informasi keseharian manusia Indonesia.
Sementara, di ranah agama, radikalisme, pemurtadan, benih-benih terorisme masih
menggurita. Kekerasan berjubah agama semakin sering dijumpai, yang berkebalikan
dengan subtansi agama sebagai lorong menuju kedamaian, menuju cinta. Kedaulatan
negara juga makin tumpul oleh berbagai bentuk kolonialisme ekonomi dan
pengetahuan.
Kesadaran Sosial
Untuk itu, warga Indonesia perlu merumuskan
cita-cita keindonesiaan dalam konteks kekinian, tentu dengan kesadaran dan
keinsyafan. Dengan demikian, ramadhan kali ini dapat memberi seribu hikmah,
serta dapat mendorong kebangkitan Indonesia dari krisis multi ranah. Jika
dihayati secara mendalam, ibadah puasa dapat menghadirkan ketenangan ruhani,
kecerdasan pemikiran dan kejernihan jiwa, sehingga memacarkan sinar kedamaian.
Puasa pada hakikatnya, tidak hanya menahan
diri dari desakan lapar dan sakitnya dahaga. Akan tetapi, pengendalian diri
menjadi kunci suksesnya puasa. Dalam hal ini, Sayyed Hossein Nasr dalam
Ramadhan; Morivating Believers to Action, menuliskan, “Aspek yang paling sulit
dari puasa adalah ujung pedang pengendalian diri yang diarahkan pada hati dari
jiwa hewani, the carnal soul, an-nafs al-amarah dalam al-Qur’an. Ramadhan
menjadi benteng keimanan yang menyelamatnya manusia dari gempuran nafsu dan
godaan syahwat. Manusia dapat terbebas dari terkaman kejahatan dengan
melaksanakan puasa sepenuh hati.
Ibadah puasa juga mampu menekan nafsu
keserakahan, orientasi pekerjaan menjadi semakin fokus. Puasa dapat
menghantarkan manusia meraih sifat amanah, jujur dan bertanggung jawab.
Keinginan untuk menguras harta negara menjadi hilang, sehingga “dosa publik”
semakin berkurang. Hal inilah yang menjadi hakekat puasa sesungguhnya, derajat
ketaqwaan yang disandang akan mampu melecut semangat menuju produktifitas.
Ketaqwaan dengan balutan produktifitas itulah yang dibutuhkan sekarang. Tak
hanya sekedar mempunyai nurani suci, akan tetapi memiliki karakter dan pola
kepemimpinan yang visioner.
Ramadhan hendaknya menjadi jembatan
pembebasan nafsu serakah. Puasa dapat menjadi medium pembebasan nafsu korupsi
yang membelenggu. Maka dari itu, keteguhan hati menjadi modal utama menggapai
berkah puasa. Dalam analisis Syed Ali Asyraf (2000), Puasa harus dilakukan
secara lahir dan batin. Puasa model ini, hendaknya merujuk kedisiplinan
seseorang dalam mencegah nafsu agar tidak dilampiaskan sehingga tidak
terperangkap pada kejahatan.
Standar ketaqwaan manusia yang menjadi
barometer kesuksesan beribadah, dapat menjadi tonggak pembebasan sifat korupsi.
Bangsa ini, harus menjalani “puasa korupsi” agar terbebas dari dekapan krisis.
“Puasa substansial”, yang tak sekedar simbolik, dapat menjadi gerbang
pencerahan jiwa manusia. Dan, Ramadhan kali ini menjadi gerbang untuk
menghantarkan warga Indonesia bebas dari jerat korupsi dan krisis mental
kebangsaan.
* Munawir Aziz
Alumnus Center for Religious and
Cross-Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
(UGM), Jogjakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar